Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
OBAT DEWA
"Beritahu temanmu apa yang saya jelaskan tadi. Obat dewa saat ini masih dipegang Dia," jari telunjuknya menunjuk ke atas. "Jadi kalau mau sembuh dari sakit, datangi Dia dulu sebelum ke dokter."
Tadi pagi karena kuatir istri lupa memberitahu dokter nama obat yang selama seminggu ini diminum oleh cucu kami karena pilek, aku menyusul masuk ke ruang periksa. Di ruang periksa aku melihat selembar poster di dinding. Ternyata daftar mereka yang mendapat A.Bakrie Award 2009, termasuk dokter ini. Di antara deretan prestasinya adalah perintis cangkok sumsum tulang untuk penderita thalassemia dan leukemia, perintis cangkok hati dan sel punca (stem cell). Ketika ia menulis resep di atas meja marmer bundar kecil, aku ikut duduk di sampingnya menemani istri.
"Dok, saya baca poster Bakrie Award 2009 itu. Boleh saya tanya tentang sel punca?"
"Boleh," jawabnya sambil tetap menunduk menulis resep racikan.
"Apa betul sel punca itu obat dewa?"
Dia menegakkan badan. "Obat dewa bagaimana?"
"Teman saya waktu anaknya lahir, dia menitipkan sel punca anaknya itu di rumah sakit Singapura. Katanya, kalau nanti waktu dewasa anak ini kena penyakit berat, katakanlah kanker, maka sel punca itu bisa menyembuhkannya. Ada juga teman yang menitipkannya di rumah sakit Jakarta."
"Biar dia kaya, apa dia diberitahu berapa biayanya untuk membiakkan sel punca ini - yang paling banyak hanya 70 ml yang disimpan - menjadi obat?"
"Berapa Dok?"
"Dua em."
"Dua em tidak ada artinya bila bisa menyembuhkan kanker, tentunya bagi orang kaya."
"Dua em itu tidak menjamin pembiakan ini berhasil. Di Jakarta ada seorang Ibu sampai menangis ketika tahu biaya yang tinggi ini masih punya potensi kegagalan untuk membiakkannya menjadi obat untuk ditranplantasikan ke anaknya."
Dia berdiri meninggalkan mejanya membuka-buka sebundel catatan di rak belakangnya. Kertas resep baru ditulisnya 3 baris. Celaka kalau gara-gara bincang-bincang ini dia lupa nama racikan berikutnya. Cucuku bisa jadi korban.
Dia menunjukkan bundel yang baru diambilnya. Ternyata halaman-halaman hasil print-out dari powerpoint. Dia menunjuk ke sebuah slide "Sebentar lagi saya mau pergi memberi kuliah. Lihat, ini daftar macam transplantasi” Aku cuma tahu cangkok sumsum tulang belakang karena semua pakai istilah kedokteran yang aku tak tahu artinya.
Lalu dia tunjuk slide di bawahnya, "Setelah stem cell itu berhasil dibiakkan, baru kemudian dicangkokkan. Keberhasilan proses sebuah pencangkokan, belum berarti pasien pasti sembuh karena dia akan menghadapi sederet kemungkinan komplikasi ini. Dan yang ini paling gawat,” katanya sambil menunjuk ke sebuah kalimat yang aku tak tahu artinya kecuali kata 'neuro'.
“Kalau ini yang muncul, pasien tewas. Transplantasi sel punca itu masih dalam penelitian karena masih banyak yang belum sempurna. Tanya temanmu apakah dokter menjelaskannya waktu dia titip stem cell anaknya. Memang dunia medis bisa berharap sekian tahun ke depan ketika anak itu sudah besar dan membutuhkannya, proses pencangkokan stem cell yang paling aman telah ditemukan."
"Dok, selain praktek di rumah ini, Dokter juga bekerja di sebuah rumah sakit, yang memasang poster tentang stem cell yang bisa membentuk opini itulah obat dewa. Padahal dokter sendiri tidak sependapat."
"Masa dokter bisa mengalahkan direksi?"
"Dokter ‘kan juga profesor."
Dia tertawa. "Profesor masih punya rasa takut dibeginikan," jawabnya sambil menusukkan jarinya ke perutku.
"Beritahu temanmu apa yang saya jelaskan tadi. Obat dewa saat ini masih dipegang Dia," jari telunjuknya menunjuk ke atas. "Jadi kalau mau sembuh dari sakit, datangi Dia dulu sebelum ke dokter."
"Ya Dok, terima kasih," jawabku sambil menerima resep yang disodorkannya.
(the end – 13.09.2012)
Catatan: 2 minggu setelah bincang-bincang ini aku tak melihat lagi poster promosi Stem Cell di rumah sakit tempat beliau bekerja.
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 4372 reads