Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Deles [mulai] Indah
Bonus yang didapatkan oleh relawan Merapi adalah kesempatan melihat pemandangan Merapi yang menakjuban. Tidak setiap hari Merapi menampakkan figurnya secara kasat mata. Dia lebih banyak menyelimuti dirinya dengan kabut atau mendung yang tebal. Hari ini, Senin 17 Januari, kami mendapat kesempatan menikmati keindahan lekuk-lekuk Merapi sepuas-puasnya.
Pukul setengah delapan pagi kami sudah meluncur dengan dua mobil ke arah Kemalang. Agenda kami adalah men-survei kondisi alam sekitar tempat wisata Deles Indah paska erupsi. Kami memiliki rencana untuk menanami lagi wilayah tersebut. Setelah sarapan pagi di Karangnongko, tempat mangkal sopir truk pasir, kami menemui mas Sukarno lebih dulu. Dia adalah anggota Banser NU di kecamatan Kemalang yang akan memandu kami dengan sepeda motor Beat-nya. Dengan lincah, mas Karno meliuk-liuk menghindari lobang di jalan mengarah ke Deles. Wilayah yang masuk di bawah radius 10 km dari puncak Merapi ini sudah dihuni kembali. Warga sudah beraktivitas normal. Kegiatan belajar-mengajar sudah berjalan seperti biasanya. Truk-truk pengangkut pasir juga mulai menjejali jalan, terseok-seok kelebihan muatan menapak turun.
Namun saat masuk tempat wisata Deles Indah, suasananya masih sepi. Portal besi masih melintang di jalan, yang artinya pengunjung umum belum bisa masuk. Penginapan dan villa belum beroperasi. Di pinggir sungai Kali Woro di Deles ini kami pernah memberi makan monyet-monyet liar yang kelaparan. Kawanan ini berhasil lolos dari sergapan awan panas. Selepas hutan wisata, kami mendaki menuju wilayah hutan perhutani yang sudah menjadi padang terbuka. Hampir tidak ada lagi pohon keras yang tetap utuh.
Jalan untuk menuju lokasi sudah diaspal tipis, tetapi kecil dan curam sehingga kami pesimis apakah truk pengangkut bibit punya nyali sampai di lokasi atau tidak.
Perjalanan kami terhenti karena ada batang pohon besar rebah menghalangi jalan. Padahal masih ada desa di seberang bukit yang harus kami survei. Setelah mengambil gambar seperlunya, kami memutuskan untuk mengambil rute alternatif, meskipun lebih jauh. Dengan dipandu mas Karno, kami menuju desa Tegalmulyo. Desa ini adalah base camp terakhir untuk jalur pendakian menuju Merapi.
Base camp pendakian
Jika biasanya kami hanya melihat figur Merapi seperti tumpeng, kali ini kami bisa melihat detil puncak Merapi. Urat-urat Merapi menonjol dengan perkasa. Batu-batu besar menghias sepanjang jalur lahar dingin menuju kali Gendol dan kali Woro. Bibir Merapi terlihat "cuwil" besar. Bahkan kami bisa melihat pergerakan kepulan asap. Benar-benar sebuah pengalaman yang menakjubkan.
Pohon besar mati
Kami merencanakan akan menanami wilayah ini pada hari Sabtu, 22 Januari 2010. Warga setempat bersedia terlibat dalam aksi ini. Selain itu kami akan menggandeng kembali pasukan Banser NU, pemuda GKI, pemuda GKJ dan FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama). Jika Anda berminat bergabung, silakan hubungi saya (0812-273-1237 atau email purnawank@gmail.com).
Video klip puncak Merapi
Rambu
Angin kencang masih melanda wilayah ini. Lihat daun pisang yang tercabik-cabik oleh angin.
Pethakilan
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- Login to post comments
- 3851 reads
@PK: Nice..
Mantap shotsnya mas..
Btw gambar yang terakhir kok banyak noisenya ya mas (di bagian kaki dan wajah)? Pake High ISO ya?
(...shema'an qoli, adonai...)
Lupa setting
Gambar terakhir itu begini ceritanya: Sebelumnya saya menurunkan bukaan dafragma sampai F20 untuk mendapatkan detil landscape Merapi.
Saat mengambil gambar ini, langit sedang mendung, dan saya lupa menaikkan bukaan (atau menurunkan F stop). Rupanya secara otomatis kamera mengkompensasi dengan menaikkan ISO.
------------
Communicating good news in good ways
@PK: met, met.. :)
Sama, saya juga masih sering lupa setelan diafragma...
F/20? Nggak takut kena difraksi mas? Itu lho, yang bikin gambar justru jadi nggak tajem-tajem amat..
Saya juga belum begitu lama tahunya. Dulu dengar-dengar dari kawan-kawan senior, kelemahan kamera bersensor agak kecil (seperti punya mas'e dan saya juga), kalau distopdown lewat f/11 rawan kena difraksi. Beda dengan yang bersensor fullframe (ukuran sensor kurang-lebih sama dengan film). Makanya kamera-kamera digital saku, yang ukuran sensornya lebih mini lagi, lebih rawan kena difraksi.
Efeknya bervariasi dari lensa ke lensa, tapi umumnya antara f/8 dan f/11 boleh dibilang status SIAGA MERAPI, f/16 AWAS MERAPI, f/22 dan seterusnya resiko ditanggung sendiri. Kalau nggak dishoot ukuran maksi, nggak kentara perbedaannya. Saya coba eksperimen sendiri, memang hasilnya begitu. Padahal foto-foto landscape bagusnya dishoot dengan f/stop kecil-kecil, supaya kedalaman ruangnya luas..
Sori agak cerewet nih mas, hehe. Soale saya senang dengan fotonya. Apik. Sayang kalau kena difraksi..
(...shema'an qoli, adonai...)
Ilmu Baru
Wah, saya malah baru tahu soal ini. Soalnya menurut teori fotografi yang pernah disampaikan oleh dosenku KRMT Roy Suryo, yang sekarang jadi pakar upilmatika, semakin rendah f stop maka semakin luas bidang kedalaman (depth of field). Namun setelah saya tanya dengan mbah Google, memang fenomena difraksi ini adalah peristiwa fisika yang lumrah.
------------
Communicating good news in good ways
@PK: Roy Suryo Fans Club...
Hehehe, mas Wawan seorang "penggemar" Roy Suryo juga yah?
Memang seru juga video upil dan "hu...hu..hu..."nya itu.. Kata temen-temen, do'i sebenernya bukan ahli telematika. Tapi kok jasanya dipake terus ya? Terakhir kasus Hantu Majalengka itu. Wagu...
(...shema'an qoli, adonai...)
Difraksi VS Kedalaman Ruang
(Ngikutan nggak mao kalah pro ah)
Tul pak wawan, ini emang trade-off di landscape photography. Mao semuanya in-focus (f-22), tapi jadinya nggak tajem gara2 difraksi.
Biasanya, lensa paling tajem kalo f-stopnya disetel 2-3 stop dibawah widest aperture. Contoh: Lensa saya widest aperturenya f-2.8. Nah, kalo mao gambar yang super tajem (dibagian yang in-focus), saya mesti setel f-5.6, karena:
f2.8 -> f-stop paling lebar dari lensa saya
f4 (-1 stop)
f5.6 (-2 stop) -> paling tajem (when in-focus), karena 2 stop dibawah f2.8
Nah, kalo situ punya compact camera (bukan DSLR), f5.6 paling OK buat landscape. Kalo situ punya DSLR, ini jelas2 masih terlalu lebar. Nah, saya biasanya pake wide angle (17mm), terus f8 ato f11 (best tradeoff buat Depth of Field and Diffraction). Tergantung subjek juga sih (berapa beda subjek terdekat dan terjauh).
Kalo mao teknisnya secara lengkap, go to http://www.dpreview.com/lensreviews/canon_18-55_3p5-5p6_is_c16/page3.asp (Canon lens)
PS: stop2an apaan sih, just go to http://en.wikipedia.org/wiki/F-number