Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kristenisasi di Wilayah Bencana?
Spanduk di lokasi bencana
Saat menjadi relawan untuk bencana Merapi, saya terusik dengan poster sebuah acara bursa buku yang tertempel di berbagai tempat di kota Jogja. Setelah itu, ada lagi spanduk dengan nada yang hampir sama terpampang di lereng Merapi, perbatasan Jogja dan Klaten. Isinya tentang peringatan “bahaya Kristenisasi.”
Setengah tahun sebelumnya, kami juga pernah mengalami peristiwa pahit. Saat membangun 36 rumah bagi korban gempa, proyek kami dihentikan oleh laskar “tiga huruf” karena dianggap dapat merusak akidah (Namun setelah melalui pendekatan persuasif, proyek ini akhirnya selesai).
Kegelisahan itu saya tuangkan dalam sebuah tulisan di Kompasiana. Sebenarnya saya agak ragu-ragu dan was-was untuk menuliskan topik sensitif ini. Akan tetapi saya meneguhkan hati untuk berbicara secara blak-blakan saja daripada cenderung menyangkali fakta ini, tetapi membicarakannya sambil berbisik-bisik di belakang.
Poster di kota Jogja
Rumah Inti untuk korban gempa di Ciamis, Jawa Barat
Pertama, gereja itu tidak monolitik. Ada banyak sekali aliran di dalam gereja. Saya mencoba membagikan sudut pandang dari relawan gereja protestan yang menganut teologi calvinisme. Kami memiliki keyakinan bahwa keselamatan manusia itu merupakan anugerah atau rahmat dari Allah, bukan hasil usaha manusia. Gereja adalah kumpulan orang-orang yang dirahmati Allah dengan keselamatan. Oleh karena itu orang Kristen selalu mengucap syukur karena sesugguhnya mereka adalah orang berdosa dan tidak layak, namun diselamatkan karena kebaikan hati Allah.
Salah satu ucapan syukur ini adalah dengan melakukan kebaikan kepada sesama manusia. Situasinya dapat digambarkan begini:
Pada akhir zaman, Tuhan membagi manusia menjadi dua kelompok. Kepada kelompok di sebelah kanan-Nya, Tuhan berkata: “Masuklah ke dalam Kerajaan yang sudah disediakan bagi kalian sejak dunia diciptakan. Karena, ketika Aku lapar, kalian memberi Aku makan; ketika Aku haus, kalian memberi Aku air; ketika Aku menjadi orang pendatang, kalian mengajak Aku masuk ke dalam rumah kalian; ketika Aku bertelanjang, kalian memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit dan berada di dalam penjara, kalian menengok Aku.”
Kelompok yang ada di sebalah kanan itu menjadi heran. “Kapan kami melakukan itu?” Tanya mereka.
Tuhan menjawab, “Ketika kalian melakukan hal itu kepada salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, maka sebenarnya kalian melakukannya kepada-Ku.”
Kemudian Tuhan berpaling kepadaorang-orang yang di sebelah kiri-Ku serta berkata, ‘Enyahlah kalian, hai orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang sudah disediakan untuk setan dan roh-roh jahat. Karena, ketika Aku lapar, kalian tidak mau memberi Aku makan; ketika Aku haus, kalian tidak mau memberi Aku minum; ketika Aku menjadi pendatang, kalian tidak mau menyambut Aku; ketika Aku bertelanjang, kalian tidak mau memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit dan di dalam penjara, kalian tidak mau menengok Aku.”
Orang-orang yang ada di sebelah kiri-Nya kaget setengah mati. “Tuhan, kapan kami pernah melihat Engkau lapar, atau haus, atau menjadi pendatang, atau bertelanjang, atau sakit, atau dipenjarakan dan kami tidak menolong Engkau?”
Tuhan akan menjawab, ‘Ketika kalian tidak mau menolong salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, maka sebenarnya kalian tidak mau menolong Aku.”
Kisah ini hendak menyatakan bahwa ketika kami melakukan pelayanan atau berbuat baik kepada orang-orang yang terpinggirkan itu, sebenarnya kami melakukan-Nya untuk Allah.
Kedua, kekristenan adalah agama yang misioner atau dalam terminologi Islam disebut syiar. Sebagai orang yang mendapatkan hadiah atau anugerah, maka tak elok kalau orang Kristen tidak membagi-bagikannya kepada orang lain. Dalam film “Independence Day”, diceritakan bahwa tentara Amerika berhasil menemukan cara untuk melumpuhkan pasukan luar angkasa yang menyerbu bumi. “Sebarkan berita ini ke seluruh dunia,” perintah panglima tertinggi. Dalam film itu, jika Amerika menyimpan sendiri metode itu, maka mereka akan dicap sebagai bangsa yang egois (terlepas dari kenyataannya bahwa Amerika sering begitu).
Demikian juga dalam kekristenan. Orang yang sudah mendapatkan rahmat dari Allah biasanya tidak tahan untuk tidak menceritakan kabar gembira itu kepada orang lain. Hal itu dapat digambarkan seperti seorang janda yang kehilangan uang di dalam rumahnya. Dia lalu menyalakan pelita dan mencari uang yang sangat bernilai baginya itu. Ketika menemukannya, maka dia tidak tahan untuk tidak menceritakan kegembiraannya itu kepada tetangga-tetangganya. Itu sebabnya kitab suci orang Kristen disebut “Injil”, yang artinya “Kabar Gembira.”
Orang Kristen mendapat mandat dari Tuhan untuk menceritakan kabar gembira itu pada orang lain. Jika tidak melakukannya, maka orang Kristen itu disebut egois. Soal penerimaan orang lain terhadap kabar gembira itu, kami tidak pernah risau sebab seperti yang saya sebutkan di atas, kami yakin bahwa keselamatan itu rahmat dari Allah. Jadi sekalipun kami ngotot habis-habisan meyakinkan seseorang supaya menerima kabar gembira itu, tetapi jika Allah tidak merahmati orang tersebut, maka usaha kami sia-sia. Sebaliknya, jika Allah memang ingin memberikan rahmat kepada seseorang, maka Dia dapat melakukan cara apa saja, bahkan mungkin dengan cara-cara yang tak terduga.
Itu sebabnya, gereja kami (sekali lagi aliran kami), tidak menggunakan iming-iming sesuatu supaya seseorang menjadi Kristen. Sekali pun kami menggelontor seseorang dengan mie instan satu pick up, jika memang hati orang itu tidak digerakkan oleh Allah, maka tidak ada efeknya. Lagipula masyarakat sekarang sudah sangat cerdas. Lihat saja praktik politik uang dalam pemilu dan pilkada. Calon pemilih menerima uluran uang dari parpol atau kandidat, tapi ketika masuk ke bilik siapa yang dapat mengontrol pilihannya?
Saat melakukan penghijauan di lereng Merapi, kami bertemu dengan mantan pengungsi yang pernah tinggal di tempat pengungsian yang kami kelola. Kata-kata pertama yang muncul dari mulutnya adalah, “bapak ini yang pernah mentraktir sate pada kami ‘kan?” Saya mengangguk (dalam hati berkata, ‘saya cuma menyalurkan kok. Biayanya dari orang lain’). Perhatikan, mereka lebih ingat “satenya” daripada nama saya atau lembaga saya. Bagi banyak orang, yang diingat adalah aksi dan bantuannya. Mereka tidak mengingat ideologi, ajaran atau siapa yang memberikan bantuan.
Kesimpulannya: orang Kristen diperintahkan untuk menceritakan kabar baik ini kepada semua orang, tapi hasilnya terserah pada Allah. Dalam melakukan ini, iming-iming dengan hadiah itu tidak banyak efeknya.
Ketiga, dalam kebencanaan dikenal prinsip non-proletisi. Undang-undang no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada pasal 3, disebutkan bahwa salah satu prinsip dalam penanggulangan bencana adalah ‘nonproletisi’ [butir i]. Menurut bagian penjelasan UU dimaksud yang nonproletisi adalah larangan untuk menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana. Hal yang sama dirumuskan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi empat. Dalam kamus ini “proletisi” dirumuskan sebagai “pemberian sumbangan dengan menyebarluaskan agama atau keyakinan pemberi sumbangan.”
Dalam situasi bencana, penyintas berada dalam posisi yang sangat rentan. Daya tawarnya sangat lemah karena sedang membutuhkan uluran tangan. Sedangkan pemberi sumbangan berada pada posisi yang sangat kuat. Dia bisa bebas menentukan kepada siapa akan mengucurkan bantuan dan seberapa banyak akan diberikan. Begitu kuatnya posisi ini sehingga kita seolah-olah dapat berperan sebagai tuhan. Bayangkan, kita dapat menentukan nasib seseorang dengan keputusan kita. Apalagi jika hal itu menyangkut persoalan hidup atau mati.
Dengan demikian, memberikan bantuan disertai niatan untuk mengubah keyakinan si penerima bantuan adalah hal yang tidak etis dan melanggar Undang-undang. Itu sebabnya, sebagai relawan, kami menerapkan prinsip non-proletisi dan non-diskriminatif dalam memberikan bantuan. Alas yang digunakan semata-mata demi kemanusiaan. Tidak ada yang lain.
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- Login to post comments
- 5856 reads
@PK: fenomena psikologis
Fenomena psikologis itu sepertinya mas. Dari perspektif Teori Disonansi Kognitif, semakin banyak orang yang menganut keyakinan tertentu, akan semakin tampak benar keyakinan tersebut. Jika pengikut keyakinan tadi berkurang (beralih), maka orang-orang yang memegang teguh keyakinan itu akan terganggu kognisinya (disonan).
Dalam kasus-kasus seperti yang mas Wawan paparkan, tidak dipungkiri, walau tidak diniatkan untuk itu, ada beberapa yang kemudian beralih keyakinan. Soal apa penyebabnya, itu urusan lain. Tapi yang jelas, hal ini tentu sangat menggelisahkan pihak-pihak dari kelompok keyakinan tertentu, seperti yang saya terangkan di atas.
Ok, maju terus dalam pelayanannya mas.. :)
(...shema'an qoli, adonai...)
Berpikir Positif saja
Pada banyak kesempatan hal semacam itu sering saya temukan dalam berbagai media seperti spanduk, poster, dsb. Pada awalnnya saya 'gerah' juga. Tetapi kemudian saya berkata pada diri sendiri:
luar biasa yang bapak dan rekan2 bapak lakukan.
Saya jg menyayangkan sikap sebagian dari "teman2" kita yang melihat bantuan dari umat kristen ada udang di balik batu. Seperti menyamakan bantuan tersebut seperti pemberian dari partai2 politik sebagai bagian dari kampanye. Saya mendukung aksi yang bapak dan rekan2 bapak lakukan, biarlah orang lain menilai dan menghakimi bapak (dan rekan2) sesuai dengan apa yang mereka mau. Saya percaya Tuhan yang tau isi hati bapak (dan rekan2). GBU.
masih dalam tahap membaca, memperhatikan dan mencerna
Katanya...
Katanya sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui....hahahaha
Dunia di mata Wapannuri.com
Mas Wawan.
Mas Wawan,sepertinya kecurigaan itu tetap ada walaupun tujuan kita sebenarnya murni untuk membantu.Bahkan terkadang apa yang kita lakukan tidak dihargai oleh pihak-pihak yang berwenang untuk itu.
Saya teringat kejadian di tahun 1998.waktu itu ada LSM bernama World Vision International (WVI) yang mengadakan kegiatan amal di kepulauan Banggai.
Mereka menyantuni keluarga yang tidak mampu dengan uang tunai,susu dan bahan makanan yang dibagikan setiap bulan bagi mereka yang tidak mampu lewat data dari setiap desa di kepulauan Banggai.Selain itu juga mereka memperbaiki Sekolah rumah penduduk dan bangunan lainya yang sudah tidak layak digunakan.
mereka ditentang habis habisan oleh para pemuka agama karena dicurigai membawa misi Krsiten.Bahkan aparat pemerintah pun pernah keberatan dengan kegiatan mereka yang memberi bantuan langsung kepada yang berhak menerima.Pemerintah kecamatan waktu itu lebih suka bantuan disalurkan lewat kecamatan.
Beberapa waktu kemudian terjadi gempa yang berpusat di Taliabu Maluku.
Ketika terjadi gempa di Taliabu maluku yang berbatasan langsung dengan Banggai,salah satu pulau kepulauan Banggai yang sangat dekat dengan Taliabu Maluku yaitu pulau Timpaus mengalami penurunan atau sedikit tenggelam dari permukaan laut yang mengakibatkan rumah-rumah penduduk terendam air laut.
Kabarpun tersiar sampai ke ibukota kecamatan Banggai yang dibawa oleh para nelayan dimana penduduk Timpaus memerlukan bantuan segera.
Saya lalu berkoordinasi dengan WVI dan pemerintah kecamatan untuk bersama melakukan evakuasi penduduk di Timpaus.Bersama aparat kecamatan,anggota polsek dan koramil serta syahbandar Banggai,kamipun berangkat menuju lokasi.Dibutuhkan 7 jam perjalanan dari Banggai sampai ke lokasi.Sekitar 300 orang dapat dievakuasi dan kamipun kembali berlayar menuju Banggai.Setelah sampai di Banggai sayapun melaporkan kegiatan kami ke Jakarta,bahkan Jakarta menginstruksikan saya untuk memberikan bantuan uang tunai.
Beberapa hari kemudian koran Banggai pos memberitakan proses evakuasi penduduk dengan memuji-muji WVI dan pemerintah kecamatan setempat tanpa secuilpun menyinggung akan keterlibatan kami yang merupakan aktor utama dan sudah mengeluarkan daya dan dana yang tidak sedikit dalam proses evakuasi tersebut.Meskipun agak gundah membaca berita tersebut namun saya hanya tersenyum dan bersyukur karena kami boleh terlibat menyelamatkan penduduk Timpaus.
@pak wawan
ada seorang bapak jatuh dilumpur hisap, kemudian kebetulan ada seorang janda lewat dan langsung menolong bapak itu....akhirnya muncul berita yang terbit dari seorang ibu A dari desa itu.....
Ternyata sibapak itu sengaja untuk menceburkan diri ketika si janda kembang itu lewat deket situ kemudian berteriak minta tolong...ada skenario bapak itu ingin selingkuh...dan memang janda itu janda ikan asin...kata ibu A
kira2 apa yang salah ya...?
menurut saya yang salah adalah otaknya si ibu A desa itu
mualafisasi di mentawai?
...harusnya juga dibahas mualafisasi di mentawai pak...atau yg saya dengar sekedar isu belaka?
orang menyembah Tuhan yg sejati kok disebut murtad?
:)
Soal di Mentawai saya tidak
Soal di Mentawai saya tidak tahu sama sekali.
------------
Communicating good news in good ways
sekedar info
Soal di Mentawai saya tidak tahu sama sekali.
===
sekedar informasi saja pak Pur, jaringan gereja kami mendapatkan fakta bahwa banyak anak-anak yg orangtuanya menjadi korban bencana alam, dibawa oleh orang2 Padang yang beragama muslim ke daerah mereka masing2....(mualafisasi)
sehingga gereja kami yang sangat kecil itu, mengalang dana untuk program anak asuh bagi sekitar 20 anak-anak yang orang tuanya menjadi korban bencana bisa tetap melanjutkan hidup di Brastagi di gereja jaringan kami juga yang kecil (upaya pencegahan kemurtadan?)
smoga info ini bisa membawa manfaat terhadap perspektif dalam blogs bapak ini
apakah TUHAN bisa dibatasi dengan yg namanya agama? justru orang2 yg beragama adalah orang yg jauh dari TUHAN
salam
Kalau informasi itu faktual
Kalau informasi itu faktual dan akurat, maka orang Islam itu telah melanggar prinsip Non-Proletisi dalam Pasal 3:2 butir i dalam UU no 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah "dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana."
------------
Communicating good news in good ways
faktualnya....
faktualnya mereka mengadopsi anak-anak yang tadinya Kristen, menjadi ....... saya rasa belum ada UU yg melarang anak adopsi untuk ikut agama orang tua angkatnya...
tapi semua sudah ditentukan oleh TUHAN siapa-siapa kepunyaannya, agama tidak akan bisa menghalangi-Nya
salam