Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Istrinya Tergeletak Bersimbah Darah
Jadi bagaimana, jika di antara mereka ada yang tidak setia, dapatkah ketidaksetiaan itu membatalkan kesetiaan Allah? (Roma 3:3)
Tahun baru, baru saja beranjak. Rintik hujan menetes bagai sajak, pelan dan semakin menderas. Lelaki bernama Dewabrata termenung lewat celah kaca jendela. Pikirannya menerawang menembus berjuta dimensi angan. Cita-citanya sebentar lagi kandas karena desakan tanggung jawab yang membentang di depan mata. Ia sudah mematok hatinya untuk tidak menikah. Keinginannya menjadi seorang ROMO yang mampu melupakan urusan keluarga, sirna karena ia calon tunggal penguasa tertinggi Negeri Srawantipura. Sebagai penguasa secara politis ia harus mempunyai pendamping, sebagai syarat tak tertulis namun harus.
Dewi Ambika nama calon istrinya, putri Prabu Darmamuka, memang cantik. Rambutnya Halus licin laksana sutera harum melambai.Matanya indah, kerling tajam menggunting jantung, bulu mata lentik berkedip mesra membuat bingung .Hidungnya mungil, halus laksana lilin diraut. Kupingnya tipis bergerak mesra menambah harmonis wajahnya.Tak heran Dewabrata akhirnya menerima sebagai istrinya. Lelaki lagi GOBLOK kalau menolak wanita seperti itu untuk dijadikan istrinya.
Maka Dewabrata mulai melancarkan rayuan mautnya, seakan sudah lupa akan cita-cita mulianya.
“Bibirmu merah basah menantang. Bentuknya indah seperti gendewa terpentang. Hangat lembut mulut juwita sepert sarang madu sari puspita. Senyum dikulum bibir gemetar tersingkap mutiara indah berjajar segar sedap lekuk di pipimu seakan mengawal suara merdu sang dewi.”
“Ih lelaki kalau ada maunya pasti pinter merayu deh!” sahut Dewi Ambika tersenyum. Dewabrata tertawa sambil merangkul sang istri dengan mesra.
Keharmonisan rumahtangga baru itu tak berlangsung lama, kecantikan dan ketampanan memang bukan jaminan hidup berumahtangga selalu bahagia. Suatu hari mereka terlibat pertengkaran mulut yang sengit.
“Lantas apa alasan kakang tidak memperbolehkan aku menyertaimu?!”
“Kumohon padamu diajeng jangan menyertai kepergianku kali ini.”
“Tidak bisa! Kalau kangmas tidak memberikan alasan yang pasti, aku akan tetap mengikutimu kemana saja!”
“Sssst, jangan keras-keras, malu didengar Blogger Oon,” ujar Dewabrata dengan jari telunjuk ditempelkan ke bibir.
“Biarin!” ketus Dewi Ambika menjawab.
“Jangan keras kepala begitu to. Tak biasanya kamu marah-marah seperti itu. Biasanya kamu tuh LEMBUT, SABAR, tapi kini, mana tuh kelembutanmu? Kesabaranmu?”
“Mana bisa sabar kalau kangmas ditanya tidak memberikan jawaban yang pasti. Sepertinya kangmas menyembunyikan sesuatu. Atau barangkali kangmas punya SIMPANAN (WIL = Wanita lain) ?”
“Sudahlah diajeng, kepergian kangmas bukan untuk hura-hura, bukan mencari wanita, dan bukan pula untuk mencari harta. Tapi kangmas pergi untuk mencari ILMU SEJATI. Ilmu yang mampu menembus dimensi hidup ini.”
“Apapun alasan kangmas, seorang suami tidak baik meninggalkan istri terlalu lama. Bukankah ilmu yang kangmas cari itu memerlukan waktu bertahun-tahun. Mending kalau kangmas bisa lulus CUM LAUDE. Itu saja rasanaya tetap kurang pas bila aku tidak mendampingimu.”
“Diajeng, aku ingin konsentrasi penuh, tak kuinginkan siapa pun yang menggangguku, tak juga kau istriku.”
“Aneh?! Kangmas ini keinginannya ada-ada saja! Apakah kangmas tidak memandang sebelah pun sama istrimu ini? Bagaimana nanti anggapan saudara-saudaraku, orang tuaku, juga teman-temanku? Mereka tentu menuduhku wanita yang tidak becus mengurus suami. Suami pergi tidak didampingi, tidak dilayani, istri macam apa aku ini. Mau kutaruh di mana mukaku ini kangmas?”
“Katakan saja pada mereka yang SOK TAHU urusan keluarga kita itu, kalau kangmas menuntut ilmu TEOLOGI untuk mendapatkan gelar profesor, kenapa mesti malu berterus terang diajeng?”
“Alasan apapun mereka pasti tidak mau terima. Adat negeri ini lain dengan negeri tetangga kangmas. Di sini suami pergi lebih dari setahun harus didampingi istri!”
“GOMBAL! Itu sudah KUNO. NORAK! Ketinggalan zaman!”
“Masa bodo, yang jelas aku tetap ikut kangmas ke mana saja pergi. Akan kutunjukkan bahwa aku isrti yang setia, yang tak ingin tertimpa gosip murahan.”
Dewabrata tampak cemberut. Helaan nafasnya terlontar keras. Istrinya juga menampakkan raut yang sama. Keadaan itu berlangsung hingga di bawa ke kamar tidur. Dalam tidur saling beradu punggung, meski masih satu selimut. Mata mereka berdua sama-sama tak terpejam, dalam temaram lampu tidur. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Suasana benar-benar hening. Cecak di dinding pun seakan takut mengusik mereka, merayap begitu lamban agar tak menganggu keheningan itu.
Entah dorongan dari siapa, tiab-tiba Dewabrata membalik dan merangkul punggung istrinya sambil berbisik.
“Yaang, kamu jangan marah gitu doong…”
“Habis kalau kangmas tetap tidak memperbolehkan aku ikut, aku akan tetap marah.” jawab sang istri tegas.
“Baiklah, saya membatalkan saja kepergianku ini. Biarlah kangmas di sampingmu terus,” bisik Dewabrata sambil mengecup pipi istrinya itu.
“Lho kok gitu? Apa tidak lebih baik kangmas tetap menuntut ilmu dan aku mengurusi segala kebutuhanmu itu.”
“Tidak bisa diajeng, kalau kau ada di sampingku terus, konsentrasiku bisa buyar. Soalnya ilmu yang akan kutuntut ini memerlukan konsentrasi tingkat tinggi!”
Dewi Ambika diam saja. Sepertinya ia sudah bosan mendengar alasan suaminya itu. Dalam hatinya ia akan tetap ikut kalau suaminya jadi pergi. Tapi lain dengan Dewabrata, sikap diam istrinya itu dianggapnya dia sudah memaklumi alasannya. Dalam benaknya, ia sudah merencanakan akan berangkat besok pagi.
Pagi-pagi benar Dewbrata sudah berkemas, sementara sang istri kelihatannya masih pulas. Maka dengan santainya ia mengeluarkan Baby Benz-nya dan terus melaju meninggalkan rumahnya yang megah itu. Namun baru berjalan 3 km, matanya terkesiap, dari kaca spion ia melihat Porsche warna merah yang biasa dikendarai istrinya tampak menguntit. Seketika ia menghentikan mobilnya dengan pelan ke tepi.
Mobil sang istri pun ikutan berhenti di belakangnya.
“Kamu mau kemana diajeng?”
“Mengikuti kangmas!” jawabnya terus terang.
Marah itu mudah, tiap orang pasti bisa, kalau ada orang yang tak bisa marah, pastilah diragukan kewarasannya. Tapi marah dengan orang dan pada saat yang tepat, untuk maksud dan cara yang benar, itu bukan kemampuan setiap orang yang sama mudahnya.
Hati Dewabrata sudah dipadati emosi tinggi, dicabutnya REVOLVER yang selalu ia bawa dari dashboard, dihampiri sang istri untuk mengancam dengan pistol itu.
“Diajeng pulang atau kutembak?!”
Dengan masih memegang kemudinya, ia menjawab : “Kalau kangmas mencintaiku, tidak seperti itu cara kangmas. Apapun bentuk ancaman kangmas, aku TAK TAKUT!” Orang yang unggul tidak cemas dan juga tidak takut, demikianlah yang dilakukan Dewi Ambika menghadapi ancaman berat suaminya itu.
Entah bagaimana perasaan Dewabrata mendengar jawaban istrinya itu, tahu-tahu jarinya sudah menarik pelatuk hingga terdengar suara DOR! Dan istrinya sudah tergeletak bersimbah darah, melihat itu Dewabrata hanya melongo, seolah tak percaya dengan kejadian yang barusan ia lakukan. Sedetik kemudian ia meraung serta menubruk mayat istrinya.
Kemarahan bukan tak pernah tanpa punya alasan, tetapi jarang dengan alasan yang baik.Kejadian itu menjadi penyesalan Dewabrata yang takkan pernah dimaafkan oleh dirinya sendiri. Sampai pada akhirnya ia menjadi seorang RESI, dan namanya menjadi RESI BISMA.
Semoga Bermanfaat Walau Tak Sependapat
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat
- Tante Paku's blog
- Login to post comments
- 3214 reads
@TP: kok mirip ya?
Walau nggak tepat sama, saya juga punya pengalaman yang hampir mirip dengan kisahnya TP..
Walau masih kul dulu, saya sempet nyambi jadi wartawan tabloid kampus. Gara-garanya karena setiap penerima beasiswa harus punya kegiatan ekskul. Saya, karena nggak punya kebisaan apa-apa, nyambut gawenya ya itu aja. Singkat cerita, pernah saya nyelipin satu foto cewek (cakep) ukuran 4R di Alkitab saya. Masih anak kampus juga. Sampai hari ini pun saya masih sering bingung sendiri, kok bisa-bisanya waktu itu saya selipin di situ ya? Kok nggak di album portfolio aja seperti biasanya? Mungkin karena terburu-buru atau apa, saya pun sudah lupa..
Naaahh, sekali tempo mantan pacar datang ke kos kumuh saya (putri sulung saya bilang bau anjing, bayangin aja, 50rb/bln, hehehe...), kedapetan ama do'i. Trussss.. (di sinilah miripnya dengan cerita di atas), saya dipaksa mengaku kalau itu WIL saya. Kalaulah memang iya. Fasrah. Kalau bukan? Lha ini saya dipaksa ngakuin yang bukan perbuatan saya? Jadilah perang besar Armageddon waktu itu..
Sekarang sih do'i udah nggak gitu-gitu lagi, terutama setelah saya sering ngajakin dia jadi asisten di lapangan. Malah jadi sering ketawa-ketiwi kalau inget-inget peristiwa itu. Katanya itu kan tandanya cinta (saya inget cakeeeepp betul facenya pas ngomong begitu, senada dengan hitam manisnya.. ). Namun saya juga tidak pernah lupa, bagaimana dalam suasana seperti itu, memang kita hanya 1 cm saja dari melakukan tindakan yang tidak rasionil dan tidak berperikemanusiaan, walau kita tidak pernah meniatkannya. Terima kasih, waktu itu Tuhan masih mengisi hatiku dengan kebaikanNya..
Pelajaran yang sangat berharga...
PS: Simpati saya yang sedalam-dalamnya, untuk pihak-pihak terkait dalam contoh kasus di atas.. Tuhan memberkati..
(...shema'an qoli, adonai...)
Untung nggak bawa pistol
Pengalaman yang menarik, untung waktu itu kang Ebed nggak bawa/punya pistol, cuma kamera ya, kalau ada apa nggak pake acara nodong juga tuh he he he he..............Untung saja pistol yang di bawa cuma PISTOL GOMBYOK, jadi kalau ditongolin paling sang pacar jadi........julurkan tangan, dan secepat kilat GREMEKKK!!!
Nah, lho?
Salam gemes.
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat