Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Prasangka --- Versi Paranoia

KEN's picture
Prasangka adalah suatu SIFAT atau suatu sikap yang mencurigai sesuatu atau orang lain yang berlebihan. Saya tambahkan pengertian prasangka ini menjadi lebih luas yaitu, prasangka adalah suatu sifat atau suatu sikap yang mencurigai sesuatu atau orang lain yang berlebihan yang sudah memasuki ranah MENUDUH/MEMFITNAH.
 
Kakek saya punya kakek sering berkata: "Memfitnah lebih kejam daripada membunuh".
 
Curiga adalah hak paten setiap orang, namun prasangka bukan hak apalagi prasangka yang begitu buruk ditujukan kepada orang lain, baik yang sudah kenal apalagi yang belum kenal. Karna, jika kita mau bicara dalam konteks pribadi masing-masing maka, siapakah kita, sehingga kita menganggap orang lain lebih buruk dan BANGSAT ketimbang kita? Atau siapakah kita sehingga menganggap diri lebih suci dan lebih baik ketimbang orang lain?
 
Prasangka juga dapat saya artikan suatu pikiran picik yang tak manusiawi, tak berpendidikan, tak bermoral dan yang tak tahu diri.
 
 
 
Nama saya Denny Wongso, seorang pengembara, yang pernah tinggal, hidup dan mengalami bagaimana rasanya kehidupan negara Jepang Atheis yang tenteram dan sejahtera selama empat tahun setengah. Saya seorang imigran gelap bagi mereka, seorang yang terkesan lemah dan tak mampu, seorang yang terkesan seolah-olah memelas dan meminta tolong kepada mereka. Namun apa yang mereka lakukan? Orang Jepang datang menolong dengan tangan terbuka, seperti tanpa pamrih dan dengan lapang dada, penuh penerimaan apa adanya tanpa memandang status diri saya, baik sosial, asal negara yang miskin, maupun secara ekonomi.
 
Saya sering membandingkan, merenungkan, dan memikirkan, seandainya ketika saya di Jepang, tanpa ada angin dan hujan, saya datang dengan ketulusan dan niat baik untuk bekerja (HANYA UNTUK BEKERJA) di negri mereka, namun belum apa-apa saya seolah-olah ditolak, memandang saya dengan sinis dan penuh prasangka, saya tak mampu bayangkan bagaimana nasib saya di sana, apakah saya mati kelaparan dan tertindas?
 
Namun, tidak demikian yang saya alami, awalnya saya berdecak kagum dan bahagia, biasanya, ketika saya masih di negara asal, sikap yang saya terima selalu dianggap nihil. Namun tidak bagi mereka, saya merasa menjadi sesuatu bagi mereka, saya begitu berharga dan tak pernah terbesit sedikitpun di benak maupun di pikiran mereka bahwa saya adalah seorang pemerkosa, pembunuh ataupun perampok dan atau seorang pembuat kejahatan-kejahatan yang lain.
 
 
 
Kita kembali ke Indonesia beragama atau diri kita masing-masing. Siapakah kita? Apakah Indonesia itu? Tahyul dan dongeng apa yang telah meracuni pikiran manusia Indonesia yang selalu berprasangka buruk terhadap orang lain? Apakah tahyul dan dongeng itu berupa, bahwa "apapun dia dan siapapun dia, aku lebih baik dan lebih suci daripada mereka"?
 
Jikalau demikian adanya, lalu siapakah manusia yang baik itu di mata kita? Apakah manusia yang mampu menjilat kita? Yang mampu menciumi bokong kita? Ataukah manusia yang rela berlutut dan yang rela menyembah di kaki kita?
 
 
Biarlah tulisan ini menjadi sebuah renungan panjang dan dalam.
Rusdy's picture

Merindukan 'Moralist Society'

"Tahyul dan dongeng apa yang telah meracuni pikiran manusia Indonesia yang selalu berprasangka buruk terhadap orang lain?"

Dari sisi spiritual, ya absennya kasih. Dari sisi praktikal, menurut saya, ini beberapa faktor, misalnya:

  1. Statistik dari tingkat kejahatan: Ketika saya berjalan di jalanan publik Jakarta, saya akan selalu awas dan berprasangka bahwa saya akan kecopetan. Ini berarti saya sudah menuduh ada beberapa di sekitar saya akan mencopet saya. Belum lagi ditambah faktor selanjutnya:
  2. Persepsi penegakan hukum yang rendah: karena saya merasa tidak aman dengan mengandalkan aparat pemerintah, maka mau tak mau saya harus mengandalkan diri sendiri untuk mengamankan dompet saya supaya tidak kecopetan. Alhasil, saya harus lebih awas ketika berjalan di publik, termasuk mall, memegangi dompet saya di kantong lebih sering (karena menuduh ada beberapa di sekitar saya "DIA PASTI TUKANG COPET").

Nah, dari pengalaman saya di atas, apakah saya:

  1. Bijaksana, karena berjaga-jaga supaya tidak kecopetan, atau
  2. Hidup dalam kepahitan, karena kenyataannya saya belum pernah kecopetan tapi sudah menuduh sekitar saya "DIA PASTI TUKANG COPET!"?

Contoh di atas bisa dikembangkan untuk kehidupan berkeluarga, bahkan sampai bergereja. Kenyataannya, saya sering mendengar pengalaman teman dan saudara/i sendiri yang dikhianati teman dekatnya (atau saudara/i-nya sendiri) karena hanya masalah uang. Apakah salah jika mayoritas orang Jakarta (saya tak tahu daerah lain) menjadi 'bijaksana' (baca: hidup dalam 'kepahitan') karena pengalaman-pengalaman tersebut?

Contoh lain: Ketika saya berkunjung ke Jakarta, selama sebulan saya mengemudi dengan 'as corteous as possible' sebagai social experiment. Alhasil:

  1. Saya selalu disalip mobil dan ratusan motor, karena mereka pasti berpikir "Ah, bego amat nih sopir, kasih jalan terus sama orang laen, ha ha, kapan lagi, ayo masuk teruuuus"
  2. Suatu hari, ada pengemudi motor yang mengendarai motornya dari arah yang berlawanan di jalanan satu arah, alhasil saya hampir menabrak dia. Lalu, saya buka kaca untuk mengecek keadaanya apa dia terluka atau tidak. Sebelum saya ngomong sepatah kata, dia langsung meludahi saya dan berteriak "BEGO BANGET SIH LU JALAN APA NGGAK PAKE MATA?". Saya menganggapnya berlalu saja walau ibu saya lalu mengomeli saya setelah itu "LU BEGO AMAT SIH BUKA KACA?"

Lain ceritanya di negara maju. Saya rasa itu yang Ken alami. Ketika Ken bilang:

"...tak pernah terbesit sedikitpun di benak maupun di pikiran mereka bahwa saya adalah seorang pemerkosa, pembunuh ataupun perampok dan atau seorang pembuat kejahatan-kejahatan yang lain."

Mungkin karena tingkat kejahatan di tempat Ken tinggal, dan penegakan hukum memang tinggi, jadi orang tak perlu berprasangka buruk?

Nah, yang jadi diskusi, apa solusinya untuk kita, bangsa Indonesia, supaya tidak berprasangka buruk terus. Saya pikir, ya ini butuh solusi spiritual, lalu solusi praktis.

Solusi spiritual, ya dengan kasih, otomatis tingkat kejahatan, kesenjangan sosial akan terurus sendirinya (change of heart). Solusi praktis, ya butuh koordinasi dari pemerintah bagaimana mengimplementasikan semuanya ini, dari pajak, pemberantasan kesenjangan sosial, penegakkan hukum, de el el.

Yang bikin saya "Biarlah tulisan ini menjadi sebuah renungan panjang dan dalam":

Andai (andai loh yah), ada komunitas moralist yang sempurna dengan menjalankan hukum 'mengasihi sesama manusia' dengan sempurna, tapi sama sekali tidak mengasihi Tuhan. Komunitas ini sudah tak ada lagi prasangka buruk, karena tak ada kesenjangan sosial, hukum berjalan dengan baik, de el el. Komunitas ini tentunya akan sangat tergoda, "Ah, ternyata kita tidak butuh Tuhan"...

lapan's picture

Kepentingan ttg istilah tuhan

Apakah hanya kalau kacau baru kita butuh tuhan?
 
Berarti kekacauan itu baik karena dgn demikian kita jd mencari tuhan? 
__________________

imprisoned by words...

KEN's picture

Rusdy: Silakan pilih

Pertanyaan pertama. Apakah pertanyaan dari lapan sudah cukup jelas?
 
Pertanyaan kedua. Anda pilih yang mana? Mau yang baiknya atau tetap seperti kondisi ini?
KEN's picture

Rusdy; Jepang itu Atheis

Di Jepang tak ada istilah spritual bung, yang ada teknologi, sekali lagi, teknologi! Yang penuh spritual itu bukannya Indonesia? Lalu mengapa negara yg hampir tanpa bacot sripritual itu bisa aman? Sebaliknya negara yang apa2 bacot ttg spiritual malah tak pernah aman?
 
Rusdy, semenjak Jepang membuka diri terhadap dunia luar, kriminalitas sering terjadi, dan beberapa kasus dilakukan oleh orang2 Indonesia. Sebelum Jepang membuka diri terhadap dunia luar, negri mereka bagai sorga.
Huanan's picture

Spiritual...

Ken : Lalu mengapa negara yg hampir tanpa bacot sripritual itu bisa aman? Sebaliknya negara yang apa2 bacot ttg spiritual malah tak pernah aman?
 
Sebaiknya kita memiliki pola pikir bahwa di Negara kita yg ber ke Tuhanan yg Maha Esa saja masih ngak aman.. apalagi kalo negara Indonesia rakyatnya ngak percaya adanya Tuhan, bukankah lebih kacau balau?. Ibarat orang yg sakit, minum obat saja belum sembuhnya susah banget , apalagi ngak minum obat.
 
Ken, menurut saya kayaknya masalah Spiritual ngak ada hubungannya dgn aman atau ngaknya suatu negara. Itu tergantung daripada pemerintahnya. kalo pemimpin suatu negara bisa membawa rakyatnya ke arah kemakmuran yang merata, Kejahatan2 kriminal, korupsi, dll. at least bisa di kurangi.  Andaikan Jepang pemerintahnya juga sama seperti Indonesia sekarang ini. yah.. sama saja tidak bisa aman..malahan mkn lebih kacao balau karena mereka Atheis. :-)
 
 
 
__________________

Huanan

KEN's picture

Huanan: Spiritual

Saya tak pernah bilang spiritual berhubungan dengan aman. 
 
Mengapa tidak memulai sekarang saja untuk mengandaikan pemerintah Indonesia juga sama seperti pemerintah Jepang?
Huanan's picture

@Ken: Harusnya sudah dari dulu

Ken: Mengapa tidak memulai sekarang saja untuk mengandaikan pemerintah Indonesia juga sama seperti pemerintah Jepang?
 
Sebenarnya kalau saja pembangunan negara kita memang BENAR2 ditujukan untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat (bukan kepentingan golongan atau pribadi), dan di mulai sejak jaman pemerintahan Orba, maka negara ini akan menjadi negara besar, dan aman dilihat dari kekayaan alamnya. Bandingkan dgn Singapore yang sama sekali tidak memiliki sumber kekayaan alam .Negara China dalam 15 tahun terakhir ini memiliki pertumbuhan ekonomi yg sangat cepat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia 15 tahun terakhir ini sepertinya tidak mengalami banyak perubahan berarti.
 
__________________

Huanan

KEN's picture

Huanan: Masa lalu

Yang lalu biarlah berlalu. Mulailah dari sekarang! Berminat?
Rusdy's picture

@lapan & Ken: Kekacauan

lapan: "Apakah hanya kalau kacau baru kita butuh tuhan?"

Butuh Tuhan setiap saat, dalam kekacauan dan kedamaian. Sayangnya, mengambil contoh Israel, ketika damai, tentram dan sejahtera, malah lupa Tuhan. Ketika lupa penciptaNya, ya jadi kacau lagi deh.
 
lapan: "Berarti kekacauan itu baik karena dgn demikian kita jd mencari tuhan?"

Short answer: yes. (harap berhati-hati dan membandingkannya dengan Roma 3:11)

Orang sakit yang butuh dokter, bukan yang sehat kataNya (Lukas 5:31-32). Ketika kita sadar kita sedang berada di 'kekacauan' (atau sakit), barulah kita mencari dokter.

Menurut saya, Ken terlalu cepat dalam menyimpulkan:

"Sebelum Jepang membuka diri terhadap dunia luar, negri mereka bagai sorga"

Dalam konteks damai, tentram, dan sejahtera, ya, ini mungkin benar: Rakyat bahagia, pemerintah berlaku adil, burung-burung berkicau, bunga-bunga Sakura berkembang dan berguguran pada musimnya.

Sepertinya kita cepat terbuai oleh godaan Iblis dengan rasa 'aman'. Andai (andai loh yah), bangsa Indonesia berhasil maju dalam bidang pendidikan, teknologi, hak asasi manusia, tapi melupakan penciptaNya, "Apa untungnya bagi seseorang kalau seluruh dunia ini menjadi miliknya, tetapi ia merusak dan kehilangan hidupnya?" Lukas 9:25

Lalu, Ken bertanya "Anda pilih yang mana? Mau yang baiknya atau tetap seperti kondisi ini?", merujuk ke "...negara yg hampir tanpa bacot sripritual itu bisa aman? Sebaliknya negara yang apa2 bacot ttg spiritual malah tak pernah aman?"

Menurut saya, dua-duanya sama 'kacau'nya. Negara 'aman' yang melupakan penciptaNya sama buruknya dengan negara yang mengaku menyembah Tuhan tapi tidak melakukan perintahNya. Menggunakan Alkitab, mengasihi Allah dan mengasihi sesama adalah perintah yang tak terpisahkan. Kalau menggunakan standard John Lennon, ya negara maju (atau aman), OK lah, ngapain sih mesti pake janji2 surga sama ancaman neraka? Katanya:

Imagine there's no heaven
It's easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today...

Saya memproposisi membangun spiritual sebagai prioritas (Matius 6:33), praktisnya pasti mengikuti. Kalau kita membangun praktisnya dahulu, tanpa fondasi yang benar, apa gunanya kalau nantinya hanya untuk dihancurkan ketika penghakiman? Iya iya, sekarangnya sih udah enak, ngapain pusingin nanti sih? Lagi, etika John Lennon.

Terus terang saya kesulitan memberi contoh konkret bagaimana melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks saya, mungkin bekerja lebih giat dan stop berkomentar panjang lebar seperti ini di waktu kerja :).

Miyabi's picture

@Rusdy

Nasib suatu bangsa cuma bisa diubah oleh bangsa itu sendiri.  Maju atau merosotnya peradaban suatu bangsa terjadi secara gradual. Bukan cuma devisa yang musti dikumpulkan sedikit demi sedikit, tapi juga kapital sosial dan kapital budaya.
 
Jauh sebelum Indonesia merdeka, Tan Malaka sudah prihatin soal perkapitalan ini. Kita ga punya apa-apa. Sriwijaya sudah lama runtuh. Majapahit merosot oleh perang saudara berkepanjangan. Kerajaan-kerajaan Islam belum sempat berdiri lama dan memantapkan pranatanya dan keburu datang penjajah. Yang punya ketahanan sosial dan budaya cukup kentara adalah Bali. Sumatera Barat menurut saya lumayan, namun beberapa dekade ini pun mengalami krisis.
 
Belum seabad Indonesia merdeka, dan sudah keburu mengalami beberapa kali benturan peradaban: sisa-sisa imperialisme, lalu persaingan ideologi, dan sekarang globalisasi.
 
Kita baru dua dekade belajar demokrasi lagi. Sekarang sedang taraf belajar kritis, semuanya dibongkar, semuanya dicurigai, semuanya dipertanyakan.
 
Nanti kalo sudah bosen kritis, bangsa ini akan belajar untuk kreatif. Tapi ga ada jalan pintas. Memang harus dilalui setahap demi setahap. Kita musti sabar. 
 
Oya, untuk mengubah bangsa Israel, Tuhan membunuh sekian generasi di padang gurun, sesaat sebelum masuk tanah Kanaan. 
__________________

".... ...."

KEN's picture

Rusdy: Paranoia

Hahahaha.....
 
Lihat! Judul yg saya pampangkan, benar kan? Saya sudah antisipasi komentar semacam ini, oleh sebabnya saya pampangkan di judul --- versi paranoia.
 
 
Rusdy, Anda paranaoia. Siapa bilang membangun tidak melaksanakan perintah Tuhan? Untuk urusan hari penghakiman, urusan nantilah, yang sekarang jalani dulu. Koq kesannya mendahului Tuhan ya?
 
Rusdy, saya sedang bicara membangun dalam hal "fisik", bukan "rohani". Sekalipun Anda mau bicara membangun fisik sekaligus rohani, ayo, rohani apa yang sudah anda bangun sehingga fisik itu ikut2an? Apakah setelah Anda membangun rohani, serta merta fisik itu tidak dibangun dan bermalas-malasan? Bukankah itu berarti perintah Allah yang berbunyi: "kuasailah Bumi". Itu tidak ada artinya sama sekali?
lapan's picture

@Rusdy, saran bagus

Dalam konteks saya, mungkin bekerja lebih giat dan stop berkomentar panjang lebar seperti ini di waktu kerja :).
>> Like this lol... satu sisi saya setuju, satu sisi saya merasa tertohok =p
 
 
hmm mengenai diskusi ini saya permios aja deh, soalnya hubungan antara Tuhan dan kekacauan selalu bikin otak saya keriting sendiri. 
 
Issue lama @_@
 
 
__________________

imprisoned by words...

Rusdy's picture

@Ken & Miyabi: Saya Memang Paranoia

Gara-gara saya seorang pesimist, saya memang takut (paranoia) kalau bangsa Indonesia hanya melihat sisi praktisnya saja. Lagi, dengan alasan Lukas 9:25, apa gunanya maju kalau spiritualnya kendor?

Saya tipe orang yang tidak keberatan tinggal di kampung tanpa teknologi dan terbelakang, tapi mengasihi yang di atas dan sesama :)

Ken, saya kira ini membahas masalah spiritual juga, soalnya lapaknya penuh sarat spiritual, bukan praktis.

OK, we all in the same page then...

---o0o---

Komen berikut ditambah setelah dipost:

Masalah "Apakah setelah Anda membangun rohani, serta merta fisik itu tidak dibangun dan bermalas-malasan?" sepertinya memang acute problem di Indonesia. Sepertinya, bangsa Indonesia kekurangan 'Practical Theologians'.

OK, saya ngaku saya juga jeblok di bidang ini. Tapi, tubuh Kristus memang saling melengkapi. Dalam hal ini, saya mengagumi:

1. Purnomo: membaca tulisan2nya, saya benar kagum atas kekonsistenan antara hati, pikiran dan tangan. Contoh: bagaimana membantu lansia di gereja dengan tabungan simpan pinjamnya, ditambah pengorbanannya untuk hal ini. Di negara maju, ini dilakukan negara. Di gereja dia, berhubung pemerintah belum melakukan hal ini, dialah yang mempeloporinya. Belum lagi sekolah gratis, dsb.

2. iik: practical evangelism. Saya suka cerita2nya bagaimana dia membimbing orang2 sekitarnya untuk mengenal Yesus, sangat praktis and down to earth

KEN's picture

Rusdy: Negara dan Gereja

Negara dipegang dan dipimpin oleh manusia.
 
Gereja, seperti dalam contoh pak Purnomo, dipelopori oleh manusia.
 
 
Apakah bisa, negara berjalan sedemikian rupa, tanpa adanya satu pemimpin yang bernama manusia?
 
Apakah bisa ide pak Purnomo berjalan sedemikian rupa, tanpa adanya pelopor yaitu manusia pak Purnomo?
 
 
Jadi, apa bedanya? Bukankah keduanya sama-sama melayani Tuhan dan manusia?