Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Mencari Biaya Perkawinan
Sudah satu tahu aku menjalin benang kasih dengan Yulia, gadis manis yang kukenal lewat facebook. Karena sering berbagi komentar di status membuat kami semakin akrab, dan lewat chatting akhirnya kami merubah status SEDANG MELAJANG menjadi BERPACARAN. Lebih menyenangkan lagi bahwa kami berdomisili saat ini di kota yang sama, membuatku lebih mudah untuk apel setiap malam minggu.
Apelku semakin menggebu pada akhir-akhir ini, hampir setiap hari aku bermain ke rumahnya. Sehari tak bertemu dengan Yulia, serasa ada yang kurang lengkap dalam hariku. Benar kata orang bahwa orang yang tak pernah mencintai dia tidak akan pernah merasa hidup. Aku merasakannya sendiri, sampai pada akhirnya hatiku bergetar, kakiku gemetar pada malam itu. Papanya Yulia menemuiku dengan mimik serius.
“Mas Tio, tiap malam selalu ke sini, semua orang kampung sini sudah tahu hubunganmu dengan Yulia. Bagaimana kalau tiba-tiba hubungan kalian putus? Apa kata orang? Bisa jadi mereka menganggap aku orang yang terlalu lunak anak gadisnya dipermainkan oleh lelaki. Dan bukan mustahil, besok ada yang mempermainkan lagi.”
“Pak, saya bersungguh-sungguh dengan Yulia dan bukan karena iseng,” jawabku pelan.
“Kalau begitu, panggil orang tuamu, mari bicara baik-baik dengan ku. Kalau tidak mau, ya sudah, jangan datang lagi kemari. Pikirkan itu baik-baik ,” berkata begitu papanya Yulia meninggalkanku begitu saja.
Aku termenung. Aku memang serius ingin kawin dengan Yulia, tapi bukan dalam waktu yang cepat seperti ini. Tapi papanya Yulia yang biasanya acuh tak acuh, malam ini sungguh tak kusangka akan membuatku grogi untuk mengambil sikap.
Tak berapa lama Yulia muncul dengan wajah tidak seperti biasanya, ada muram bergelayut di wajahnya. Ia mengajakku pindah ke bawah pohon mangga di halaman depan, ada gazebo yang biasa kami duduki bila aku bermain ke rumahnya. Tempat ini memang romantis buat duduk berdua, di sebelahnya ada kolam ikan dan patung kodok yang memuntahkan air gemericik, dan lampu downlight memancar dari kiri kanannya, cahaya suramnya menambah keromantisan tempat itu untuk berpacaran. Kami bagai ROMEO and JULIET yang berjanji sehidup semati.
“Sayang, kamu kelihatan sedih,” gumamku perlahan, sambil membelai rambut hitamnya yang terurai.
“Banyak persoalan yang akan kita hadapi,” sahut Yulia lirih.
“Ya. Aku tahu, papamu sudah mengatakannya padaku tadi,” jawabku sambil menghela nafas panjang.
“Terus?” tanya Yulia sambil menatapku tajam, begitu tajamnya hingga mampu menembus tulang tengkorakku. Aku tak berani menatapnya. Ku arahkan pandanganku pada rembulan yang tengah bersinar suram tertutup awan lewat. Lalu aku berkata pelan.
“Aku……aku apakah mampu untuk membiayai perkawinan ini. Sebagai sales cat produk baru, gajiku tak cukup untuk itu….”
“Jadi? Jadi kamu cuma main-main saja selama ini denganku mas Tio?”
“Nggak. Aku nggak main-main. Aku serius. Yang bilang aku main-main siapa?”
“Tapi kalau masalahnya cuma uang, kan bisa kita cari. Aku minta kepastian, begitu juga papaku.”
“Sayang, kamu kira cari uang gampang ya? Gajiku hanya 2 juta sebulan, sebagian habis untuk biaya kost dan makan, sementara orang tuaku tidak bisa diharapkan. Mereka hanya buruh tani yang hasilnya pas buat makan saja.”
“Kalau semua itu sebagai alasan, kapan kita bisa menikah? Berusahalah mas, kamu bisa utang ke bosmu atau pindah kerja yang bisa memberikan gaji lebih banyak dari yang sekarang.”
Kata-kata Yulia selalu berdenging di telinga saat aku pulang. Pandangan terasa hampa, antara keinginan dan keadaan membuatku pusing memikirkannya.
Tiba-tiba di sebuah jalan yang sepi ada mobil BMW berhenti di tepi jalan, seorang pria tua nampak sibuk melihat-lihat mesinnya. Aku pun berhenti di dekatnya, aku punya sedikit kemampuan soal mesin mobil, aku ingin membantunya, siapa tahu bisa sebentar melupakan masalah yang kuhadapi.
“Kenapa pak, Mogok?” tanyaku sambil menghentikan motor.
“Iya dik, malam-malam begini cari montir terdekat di mana ya?” jawabnya.
“Coba saya lihat pak, barangkali saya bisa memperbaikinya. Dan pria tua itu mempersilahkannya. Aku keluarkan senter dari korek api yang selalu kubawa. Setelah beberapa saat memperiksanya, ternyata kabel accunya terlepas. Dengan mudah aku memasang kembali. Dan mesin pun distater hidup dengan cepat.
Pria tua itu memberiku uang 20 puluh ribu, tapi aku menolaknya. Aku memang tulus membantu bukan untuk mencari uang. Dengan mengucapkan terima kasih pria tua itu menyalamiku dan memberiku selembar kartu nama. “Kalau ada waktu, silahkan main ke rumahku dik,” katanya ramah. Aku pun mengangguk dan mengucapkan terima kasih kembali.
Biasanya aku sepulang kerja mandi makan dan berangkat ke rumah Yulia, tapi kali ini aku tidak punya keberanian, karena aku belum bisa memberikan jawaban yang pasti. Rasanya sepi menggigit hatiku, bayangan sang kekasih jiwa itu begitu menggebu di pelupuk mata. Cinta memang merupakan buah dari perkawinan, apakah aku pengecut hingga tidak berani untuk memetik buah cinta yang sudah kami tanam ini?
Apakah cintaku akan mengecewakan dan mengabaikan hingga melahirkan rumusan dosa yang tak kupahami. Memang perkawinan akan menutup cerita roman antara pria dan wanita, namun itulah permulaan sejarah hidup dimulai. Perkawinan adalah sebuah perbuatan yang membawa korban dan penuh resiko, beranikah aku menghadapinya?
Untuk mengurangi kesepian ini, aku beranikan diri mendatangi rumah pak Wardoyo, seorang pegawai tinggi sebuah bank swasta di kota ini. Ia dan istrinya menyambutku dengan baik, bahkan ketika mendengar riwayatku, ia memintaku tinggal di rumahnya yang besar ini, daripada kost di tempat lain.
“Tinggalah di sini, kamu bisa merawat mobil-mobilku setelah kau pulang kerja,” kata pak Wardoyo sungguh-sungguh.
Setelah berpikir keras dan menimbang-nimbang untung ruginya, aku memutuskan untuk menerima tawarannya itu. Maka sejak hari ini aku tinggal di rumah pak Wardoyo, tempatnya di kamar atas garasinya itu., terpisah dari rumah induk. Sementara di kamar belakang ada juga kamar simbok pembantu mereka.
Pak Wardoyo yang usianya sekitar 60 tahun itu mempunyai istri yang masih tampak cantik, pasti perbedaan umur mereka jauh. Untungnya keduanya sangat baik dan ramah kepada siapa saja. Suatu waktu aku ingin minta tolong kepada mereka tentang kesulitanku dalam mencari biaya pekawinan ini.
Seperti bisanya aku pulang jam 5 sore, setelah itu aku membersihkan halamannya yang luas, membersihkan
mobil-mobilnya, ya semua itu kulakukan agar tidak mengecewakan keluarga pak Wardoyo. Semua yang kukerjakan ini untuk membalas budi baik mereka mau menampungku dengan gratis. Biasanya simbok yang menyapu halaman, sekarang kuambil alih aku yang membersihkannya.
Sudah hampir seminggu aku tak bermain ke rumah Yulia, begitu juga aku tak menengok facebook. Kadang Yulia SMS atau telpon, aku pun menjawab sedang berusaha mencari biaya, tunggu saja saatnya sebentar lagi pasti tiba. Untuk sementara jangan mengganggu konsentrasiku, jawabku selalu begitu. Ya aku selalu deg-deg-an bila Yulia menghubungiku, tapi aku selalu berusaha tenang dan memberikan kepastian, semua itu agar Yulia jangan merasa ditinggalkan. Padahal aku sendiri belum tahu, dapat biaya darimana untuk perkawinan itu?
Malam pukul tujuh, aku merebahkan tubuh setelah mandi dan makan di kamar yang hangat ini. Tiba-tiba ada suara yang sangat mengagetkanku.
“Belum tidur Tio?” bu Wardoyo sudah berdiri di depan pintu kamarku, mengenakan daster babydoll.
“Ah belum bu, lagi bingung nih.”
“Bingung? Ada apa memangnya? Coba ceritakan kebingunganmu itu, mungkin ibu bisa membantumu,” jawab bu
Wardoyo seraya menyeret langkahnya untuk masuk kamar dan duduk di tepi ranjang.
Aku mendadak grogi, tidak biasanya bu Wardoyo berlaku seperti itu, bahkan ini pertama kalinya beliau masuk ke kamarku. Tapi aku tidak berprasangka jelek, bahkan ini kesempatan yang akan kumanfaatkan untuk berkeluh kesah tentang masalahku menghadapi perkawinan nanti.
“Ayo jangan ragu-ragu menceritakannya, tidak ada orang yang mendengarnya, simbok sudah tidur, bapak menginap ke luar kota untuk beberapa hari,” berkata begitu bu Wardoyo bangkit menutup pintu kamarku.
Bayangan Yulia dan papanya membuatku semakin mantap untuk menceritakan pada perempuan yang masih cantik walau usianya mendekati 40 tahun ini, tuturnya yang lembut membuatku tidak takut.
“Kamu butuh uang?” tiba-tiba bu Wardoyo membuat pertanyaan telak yang membuatku mengangguk.
“Berapa yang kau minta akan kuturuti, tapi kamu harus memenuhi keinginanku.”
“Apa yang harus kulakukan bu?” jawabku mengernyitkan dahi.
“Tio, usia ibu sama usia bapak sangat berbeda jauh. Dalam materi bapak bisa membahagiakan ibu, tapi tidak soal batin……” suara ibu Wardoyo terdengar begitu pilu.
“Maksud ibu?” aku benar-benar tak tahu apa yang dimaksudkan.
“Berapa uang yang kau butuhkan Tio, katakan saja asal kamu bisa membuat ibu senang,” kata bu Wardoyo seraya memegang tanganku, di dekapkannya ke dadanya yang menonjol dengan buah yang ranum itu. Terasa empuk, sepertinya ia tidak mengenakan BH di balik baju tidurnya itu.
Hatiku dag dig dug tak karuan, keringat dingin mulai bercucuran, maklum aku belum pernah melakukan kemesraan dengan perempuan lain selain Yulia kekasihku itu. Itu pun hanya sebatas mencium bibir, tak lebih. Tapi malam ini, aku sungguh menghadapi sesuatu yang baru.
Dengan cekatan tangan bu Wardoyo melepas kancing bajuku satu persatu, ia langsung mendorongku hingga terjatuh di ranjang. Ia memelukku, mencium bibirku dengan rakus.
“Ja…jangan bu….aku….aku takut….” kataku setengah berbisik. Tapi bu Wardoyo sudah tak menghiraukan lagi. Ia semakin kuat menciumiku, melepaskan celanaku dengan cepat, dan kelelakianku tak dapat lagi menyembunyikan tugu monasnya. Bu Wardoyo sudah melepas baju tidurnya, kulitnya putih bersih, wangi dan buah dadanya begitu ranum, montok serta mengundang setiap lelaki untuk tak melewatkannya begitu saja. Dan kepalaku sudah berada di antara gunung kembar itu untuk mengecupnya dengan lembut, lenguhan yang panjang membuat malam semakin dalam.
Menekan nafsu tidak akan mungkin berhasil selama di dalam diri masih berkecamuk nafsu itu sendiri. Penekanan hanyalah akan menghentikan timbulnya nafsu itu sementara waktu saja, akan tetapi bukanlah berarti bahwa nafsu itu sudah mati. Sewaktu-waktu, jika penekanannya berkurang kuatnya, tentu akan meledaklah nafsu yang ditahan-tahan. seperti api dalam sekam , sewaktu-waktu dapat membakar.
Demikianlah yang dialami bu Wardoyo, digerogoti oleh NAFSU BIRAHI yang masih bercokol di dalam batin, bukanlah mencari pelarian, bukanlah melarikan diri dari segala macam nafsu, melainkan membebaskan diri dari nafsu berahi. Dan kebebasan ini hanya dapat terjadi apabila kita mengerti benar, mengenal benar diri sendiri, mengenal nafsu berahi yang membakar kita, dan tak mungkin kita dapat mengenal tanpa kita mempelajari, mengawasi, mengamati dengan seksama tanpa usaha untuk mendudukannya! Dengan pengamatan ini maka segala akan tampak jelas, segala akan kita kenal dan dari pengamatan akan timbul pengertian, dari pengertian akan muncul suatu tindakan yang berlainan sama sekali dari tindakan palsu pelarian.
Dan perkawinanku tinggal menghitung hari, soal biaya sudah bukan masalah lagi.
231110
SEKIAN
Semoga Bermanfaat Walau Tak Sependapat
Illustrasi : dalimunthe.com, comparestoreprices.co.uk, melonproperty.com,
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat
- Tante Paku's blog
- Login to post comments
- 3630 reads
wedew...
tumben tante paku bikin blognya kurang bagus.. Kaya blog cerita panas murahan he he
(ngetest komen lewat mobile version sesuai pesanan Ari Thok)
Semut,bangsa yang tidak kuat, tetapi yang menyediakan makanannya di musim panas, Amsal 30:25
Tulisan lama
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat
Temen Tante...
Yulia we are you?
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat
Tugu Monas
Weleh, bu wardoyo pasti sueneng banget pas ngeliat tugu monas. Biasanya cuman kebagian es potong yang lembek...
Dapat menyebabkan kanker
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat