Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kisah Sepotong Tahi

anakpatirsa's picture

        Sepotong tahi mengapung.

        "Tahu kisah Sangumang dan Maharaja?" tanyanya.

        Aku tahu. Pemuda miskin memeras raja gara-gara sepotong tahi. Seperti Abunawas dan Raja, Kisah Sangumang dan Maharaja bercerita tentang seorang rakyat jelata miskin dan seorang raja tolol.

        Raja tolol yang mempunyai putri yang sangat cantik.

        Suatu hari, Maharaja buang air besar di lanting kerajaan. Sangumang yang duduk di belakang jamban melihat sepotong tahi bergerak mendahului tahi yang lain.

        "Kuberitahu orang, Maharaja membuat tahinya jadi kapal layar," teriak Sangumang.

        Maharaja yang iseng menancapkan bulu ayam pengorek kuping ke tahi itu ketakutan. "Jangan!" teriaknya.

        "Kuberitahu orang, Maharaja membuat tahinya jadi kapal layar."

        "Jangan! Jangan kau beritahu."

        "Kuberitahu orang, Maharaja membuat tahinya jadi kapal layar."

        "Jangan!" teriak Maharaja. "Putriku boleh kau pinang."

        Sangumang mengangkat pancingnya. Sudah lama ia jatuh hati pada sang putri, tetapi Maharaja pernah menampik, "Orang yang kerjanya seharian hanya memancing di belakang jamban tidak mungkin bisa menikahi putriku."

        "Tidak kuberitahu semua orang, Maharaja membuat tahinya jadi kapal layar," teriak Sangumang.

        Ia pun menikahi putri Maharaja, tetapi cerita tahi yang bisa bergerak seperti kapal layar tetap tersebar.

        "Kau ingkar janji," kata Maharaja sambil menghunus mandau.

        "Aku tidak pernah ingkar janji," jawab Sangumang. "Waktu itu aku berkata, 'Tidak kuberitahu semua orang, Maharaja membuat tahinya jadi kapal layar.' Aku tidak ingkar janji, aku tidak memberi tahu semua orang. Aku hanya memberitahu satu orang, ibuku. Ia juga pasti tidak memberi tahu semua orang."

        Itulah Kisah Sangumang dan Maharaja yang kuketahui. Kisah tentang sepotong tahi yang ditanyakan oleh pemuda di sampingku. Aku bertemu dengannya di Bandara Soekarno-Hatta tadi pagi. Bukan dalam perkenalan yang indah. Aku yang lupa di Jakarta tidak boleh sok akrab bertanya, "Mau kemana, Mas?"

        Ia tidak menoleh. Tangan kanan yang memegang saku belakang celananya terangkat. Isyarat yang kumengerti sebagai jangan ganggu. Kakek atau neneknya di pedalaman sana pasti berpesan, jangan meladeni orang yang mengajak mengobrol di Jakarta, kota yang jahat itu.

        Lalu di pesawat, ia duduk dekat jendela, tempat kesukaanku.

        "Handak akan kueh ikau nah, Le?" tanyanya.

        Ia tidak bakalan menanyakan tujuan perjalanan dan memanggilku 'Le’, teman, bila tidak mendengar bahasaku ketika menerima telpon. Pantat baru menyentuh kursi sampingnya ketika ponselku bergetar. Dalam bahasa daerah, kujawab kakakku, "Baru naik pesawat, hp harus kumatikan." Ponsel kupegang dengan tangan kiri, dan tangan kanan kugunakan untuk memberi manusia pedalaman di sampingku isyarat jangan ganggu.

        Satu-satu, batinku. Puas.

        Pesawat bergerak ke landasan pacu, tetapi aku tidak sudi melihat ke arah jendela. Lampu bertuliskan Fasten Seat Belt padam di atas awan, tetapi aku tetap tidak sudi mengajaknya berdamai. Kami seberangi Laut Jawa tanpa satu patah kata pun. Ketika pramugari membagikan kotak makanan, jatah kuambil dan langsung kubuka, tetapi jatah manusia pedalaman itu tidak kuambilkan. Harumnya parfum pragumari bisa kucium saat ia terpaksa mencondongkan badan untuk menyerahkan jatah musuhku.

        Aku senang bisa menunjukkan siapa yang berkuasa.

        Aku sudah duduk di atas lanting ketika ia menapaki jembatan dermaga. Aku jengkel karena ia langsung mengambil tempat duduk di sebelahku. Bersamanya di satu pesawat sudah cukup, aku tidak bermimpi satu perahu lagi dengannya. Satu patah kata ia ucapkan, tangan kananku pasti melambaikan isyarat jangan ganggu lagi.

        Sepotong tahi mengapung. Ia bertanya, "Tahu kisah Sangumang dan Maharaja?"

        Sepotong tahi membuatku mau berdamai.

        Ia juga menghabiskan masa kecilnya di pinggir sungai. Ia juga akrab dengan tahi hanyut. Ia tahu, bila dua orang saling tidak mengenal duduk di pinggir sungai, satu orang tinggal melihat ke air. Mencari tahi mengapung. Bila ada, tinggal berkata, Tahu kisah Sangumang dan Maharaja? Itu sama seperti orang Inggris yang melihat ke langit dan berkata, It's a beautifull day, isn't?

        Bagiku, pertanyaan itu berarti, "Sudahlah, kita sama-sama lahir dan dibesarkan di sungai yang sama."

        Tanpa berpaling aku berkata, "Waktu kecil, kami suka menebak pemilik tahi yang lewat. Kalau besar milik Pak Lurah, kalau kecil milik Haji Ibram, orang paling pelit sekampung. Dari kecilnya yang ini, aku yakin pasti keluar dari pantat kempes."

        "Itu milik seorang gadis," katanya, "cantik, putih, tinggi, dan berambut panjang."

        Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat ke arahnya. Aku lebih tua darinya, tetapi hanya besar perut orang yang bisa kutebak dari ukuran tahinya. Teman baruku berani menebak panjang rambut seorang gadis dari tahinya.

        Aku tidak percaya.

        "Karena kecil dan warnanya kuning?"

        "Bukan," jawabnya, "tadi kulihat ia masuk jamban sebelah sana."

        Aku mulai menyukai pemuda ini.

         "Acara apa di Jakarta?" tanyaku.

        "Transit saja. Pulang dari Pontianak."

        Tiga tahun lalu mantan teman sekampus menelpon. Berkata, tebak! Aku dimana? Tidak mood main tebak-tebakan, aku bertanya, kamu dimana? Aku di Kalimantan, jawabnya, ayo main ke sini. Kemana? Aku bertanya lagi. Pontianak, jawabnya. Aku tertawa sekeras-kerasnya. Ia pikir Kalimantan seperti Jawa dan Pontianak seperti Jogja, mau ke Surabaya tinggal pergi ke Giwangan. Ini Kalimantan, kataku, dari Palangkaraya ke Pontianak harus pergi ke Jakarta dulu. Pulang-pergi dua bulan gaji. Ia ikut tertawa, membuatku malah ingin menangis.

        Transit di Jakarta? Tidak heran di Jakarta ia duduk dengan ransel di perut dan tangan memegang kantong belakang celana. Sekarang, ransel yang tadi ia peluk teronggok begitu saja di tengah lanting. Ia sudah mendengar tentang Jakarta, kota yang jahat itu. Kota yang penuh kecurigaan, musuh ada di kiri, kanan, depan, dan belakang. Jakarta, kota yang jahat itu, bisnya penuh orang duduk terkantuk memeluk erat-erat tasnya.

        "Kata orang, di Jakarta semua harus bayar," kata teman baruku. "Bahkan untuk berak pun kita harus bayar."

        "Di sini pun, di WC umum, kita harus membayar seribu rupiah untuk buang air besar."

        "Ya, tetapi tidak separah Jakarta," katanya. "Kata orang, di sana kita harus membayar berdasarkan jumlah potongan tahinya."

        Aku tidak ingin membuatnya kecewa dengan membantah gosip yang ia dengar.

        "Di sini masih banyak tempat berak gratis," lanjutnya, "di atas lanting orang."

        Tidak ada tulisan "kencing 500" dan "berak 1000" di atas lanting. Tidak perlu minta ijin naik lanting orang untuk berak di jambannya. Aturan yang pernah mengganggu karena lanting kami ada di bagian sungai yang airnya dalam. Di awal musim kemarau lanting-lanting tetangga mulai kandas sehingga mereka pindah ke lanting kami. Sebelum musim kemarau berakhir, lanting kami juga berada di atas tanah. Penuh lalat karena tetap saja ada yang memaksa berak di jambannya. Kami pindah ke kebun kopi. Naik salah satu pohon, berjongkok di dahannya sambil berpegangan pada dahan yang lain. Penemu kertas toilet pasti juga pernah membersihkan pantatnya dengan daun.

        "Aku kira tidak ada lagi orang berak di atas lanting." kataku. Kloset memang penemuan luar biasa, penemunya juga pasti pernah berak di atas pohon.

        "Kata orang, Jakarta lebih parah lagi," katanya. "Kakakku pernah melihat sopir taksi yang kencing di jalan raya sambil menutup burungnya dengan pintu mobil."

        "Lima ratus rupiah berharga di Jakarta," kataku, "Aku pernah melihat sopir taksi melakukan hal yang sama di depan Monas."

        "Tidak ditegur petugas Monas?"

        Ia pikir kencing di depan Monas benar-benar mengencingi Tugu Monas.

        "Itulah Jakarta," kataku.

        "Kalau berak?"

        "Mereka tidak berani buang air besar sembarangan," kataku, "Orang buang air besar hanya sekali sehari saja. Jadi, sebelum berangkat kerja, orang Jakarta berak di rumahnya. Menghemat biaya. Kalau ada yang terpaksa berak di WC umum, itu karena salah makan. Di Jakarta tidak ada gundukan tahi di pinggir jalan."

        "Takut ditancapi lombok?"

        Benar-benar asli kampung. Gundukan tahi bisa ada di mana saja. Orang yang sakit perut bersembunyi di balik pohon. Preet! Memetik dua atau tiga daun, lalu pergi begitu saja meninggalkan bubur sampah. Di malam gelap gulita orang takut ke sungai. Duduk di pinggir jalan setapak. Pup... pup... pup, terbentuklah gundukan kecil. Ketika menemukan gundukan seperti itu, kami langsung mencari lombok. Lombok yang ditancapkan ke gundukan tahi membuat panas dubur pemiliknya.

        "Tidak!" kataku. "Tetapi orang Jakarta percaya tahi bisa jadi bom."

        "Aku tahu yang itu," katanya. "Gas metan."

        Sok tahu.

        "Bukan itu maksudku. Tahu asal kata Betawi?"

        Mulutnya terbuka, tetapi aku tidak memberinya kesempatan.

        "Tentara Mataram mengepung benteng Belanda. Tentara yang bertahan di dalamnya kehabisan peluru. Bahkan Si Jangkung, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen sampai mati. Katanya karena Kolera. Tentara Belanda sudah kalah, tetapi mereka tidak kehabisan akal. Mereka buka septic tank, isinya diambil dengan ember lalu dituang ke dalam meriam. Tentara Mataram yang kena tembak bukannya mati, malah menutup hidung sambil berteriak, 'Bau tahi ... bau tahi...' Itulah sebabnya tempat itu menjadi Betawi. Bau tahi."

        "Ngarang!" katanya. "Betawi berasal dari Batavia, kota di Belanda."

        Sok tahu.

        "Itu… Dia sudah keluar."

        Kualihkan pandangan ke lanting sebelah, tiga puluh meter dari lanting tempat kami menunggu kapal. Cantik, putih, tinggi, dan rambutnya panjang.

        Mungkin menyadari keberadaan dua pasang mata yang memperhatikannya, gadis itu menoleh. Ia tersenyum malu. Mungkin ia menyadari kami membicarakan apa yang tadi hanyut.

        Ia berjalan di balok titian dengan keseimbangan sempurna, sesempurna peragawati berjalan di atas catwalk. Ia menginjak anak-anak tangga yang menuju tebing tanpa keraguan sama sekali. Hanya orang yang menghabiskan masa kecilnya di pinggir sungai yang mampu melakukan gerakan seperti itu. Ia lenyap di tebing tanpa pernah menoleh ke arah lanting dermaga lagi.

        Aku memandang ke sungai lagi, tahi itu juga sudah tidak kelihatan.

Rusdy's picture

Seharusnya Masih Betawi

Tul juga, 'Jakarta' seharusnya dinamakan betawi dari dulu, wong masih bau ta*i dari dulu sampe sekarang...

anakpatirsa's picture

Mau Pindah

Dan mereka mau memindahkan betawi itu ke sini.
PlainBread's picture

AP, setuju?

Anda setuju kalo ibukota di pindahkan ke sana?
anakpatirsa's picture

PB, Tidak Setuju

Tidak!

Alasannya?

Pertama, Belanda berada di bawah laut garis permukaan laut, tetapi mereka bisa mengalahkannya.

Kedua, saya tinggal dikota ini. Saya sudah melihatnya. Bila mau melihat parahnya KKN, kota ini salah satu contoh hidup. KKN yang memang tubuh begitu subur akan mendapat pupuk terbaik dari Jakarta. Atau sebaliknya, aura KKN itu memupuk KKN yang dari Jakarta. Birokrasi? Kota ini memuja Birokrasi. Kota ini penuh orang-orang di belakang meja yang berkata, "Terserah mau kasih berapa." Untuk sebuah tanda tangan.

Ketiga, saya jengkel karena gara-gara isu itu, beberapa orang bertindak seolah-olah kota ini akan menjadi ibu kota. Harga tanah mulai naik.

Keempat, [mungkin] gara-gara isu itu, nama jalan ke bandara menjadi Jalan Ir. Soekarno. Keluarga pemilik lama nama jalan itu protes. Dan akhirnya palang "Jl. Ir. Soekarno" dipindahkan ke jalan yang menuju Banjarmasin. [Mungkin] karena ada yang protes lagi, akhirnya palang "Jl. Ir. Soekarno", itu menjadi nama jalan yang belum jadi. (Jalan belum jadi, tetapi palang nama yang diprotes di mana-mana itu ditancapkan di sana). Mengapa mereka memaksakan nama Ir. Soekarno? [Mungkin] karena Ir. Soekarno-lah yang mencetuskan kota ini dulu menjadi ibu kota. Supaya orang Jakarta ingat (bila menuju Bandara untuk kembali ke Jakarta), Soekarno dulu berniat membuat kota ini menjadi ibu kota. Tetapi ini dugaan saya saja.

ferrywar's picture

karakter

 Tulisan anda berkarakter kuat. Saya suka sekali.
SAMMY SIGA's picture

Kesempatan kopdar ada

Saya pengen dapat tanda tangan anda.
__________________

anakpatirsa's picture

Kopdar?

@ferrywar:

Terima kasih atas pujiannya.

Selama ini saya selalu menganggap ferrywar hanya membaca blog-blog yang berhubungan dengan masalah Alkitab saja. Senang Anda juga ikut menikmati sebuah cerpen di blog ini.

@SAMMY SIGA:

Judulnya, "Kesempatan Kopdar Ada". Kesan saya ketika membacanya, Anda mau mengatakan sekarang ada kesempatan kopdar karena kita berada di kota yang sama. Tetapi saya akhirnya menyimpulkan, maksudnya "Kalau ada kesempatan kopdar."

Ketika di Solo, saya hanya sekali menolak undangan kopdar dan menyesalinya. Kalau kita bisa kopdar, saya akan senang bertemu dengan Anda.

Tentang tanda tangan. Anakpatirsa bukan siapa-siapa, malah merasa malu bila harus menanda tangani sesuatu.