Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Wangi Buku

PlainBread's picture
"Mister, buku gue gak ditanda tangan. Kesel gue. Iri sama si ***"
 
Demikian sms yang barusan aku dapat. Dari adikku. Katanya setelah menunggu dua jam lebih, yang didapat hanyalah tatapan langsung sewaktu beliau berpidato. Dan jabatan tangan?
 
Sebelumnya aku balas dengan sms ini:
 
"Elu udah alumni, inget umur lah gencet2an sama anak kampus. LoL."
 
Tapi dia tidak peduli. Katanya peristiwa sekali dalam sejarah.
 
Keniscayaan.
  
Padahal aku juga dulu begitu. Setidaknya turut mengalami.
 
Teringat sewaktu aku dipaksa ikut oleh temanku untuk menghadiri kampanye si bocah Menteng Dalam sekitar 2 tahun yang lalu. Aku malas pergi sebenarnya, karena tahu akan betapa ramainya suasana kampanye presiden. Walaupun belum seterkenal beberapa bulan sebelum terpilih menjadi presiden, namun namanya sudah menjadi bisik-bisik di kalangan banyak pelajar dan mahasiswa.
 
"Momen itu penting. Bahkan kerbau pun jika dicalonkan partai demokrat, kemungkinan akan terpilih. Ini karena rating presiden Bush anjlok. Jadi ada kemungkinan besar orang hitam terpilih jadi presiden." Demikian kata kawanku. Padahal dia juga orang hitam. Kenapa dibandingkan dengan kerbau? Sungguh rendah hati dirinya.
 
 
Wangi buku itu indah sekali rasanya. Betul. Aku tidak salah tulis. Mungkin anda tidak tahu bahwa warna bisa dicium, dan nada musik bisa dibaui. Tidak semua orang memiliki kemampuan seperti itu. Panca indera punya varian dan campurannya masing-masing. Itulah indahnya dunia ini.
 
Itulah yang aku rasakan, ketika memegang buku tersebut. "Dreams of My Father", judulnya. Bukan. Itu bukan bukuku. Tapi buku temanku. Itu sebabnya dia memaksaku untuk menemaninya ke sana.
 
 
Aku masih ingat saat itu. Antriannya panjang, seperti mengantri untuk mendapatkan beras. Tangan kami pun dicap, teringat kenangan tiap kali kami pergi ke Dunia Fantasi. Seru juga. Bukan seru karena acara yang akan berlangsung. Tapi melihat orang-orang yang ada di dalam antrian. Ada orang-orang hitam berambut afro. Sebagian dari mereka malah bernyanyi:
We shall overcome
We shall overcome
We shall overcome
some day

Oh, deep in my heart
I do believe
We shall overcome
some day

We shall all be free
We shall all be free
We shall all be free
some day
 
Aku hampir menangis mendengarnya. Lagu itu mengingatkanku pada kampusku yang pertama. Lagu pertama yang aku nyanyikan dengan ribuan mahasiswa di kampus tersebut, ribuan kilometer dari tempat tinggalku sekarang. Lagu tersebut membuat banyak orang menangis. Orang-orang yang merindukan kemerdekaan dan perdamaian. Dan aku akhirnya menangis.
 
 
"Dammit! I couldn't get him to sign my book!"
 
Aku tertawa mendengarnya. Temanku yang dari awal memang ingin orang tersebut menandatangani bukunya. Buku yang sama yang juga setahun kemudian dibeli oleh adikku.
 
Sebegitu pentingnyakah untuk seorang pembaca supaya sang penulis mau membubuhkan tanda tangannya di bukunya? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku suka wangi buku. Tempatkan aku di perpustakaan, aku akan betah berjam-jam di sana. Bahkan silakan tempatkan aku di Pasar Senen, tepat di trotoar jalan depan Bioskop Rivoli atau bahkan di belakang pasar itu sendiri, dan aku akan seharian duduk dan berjalan membaca buku-buku yang ada di situ. Bahkan tidak terhitung berapa banyak plastik buku yang aku robek di toko-toko buku besar karena aku tidak tahan ingin membaca isinya. Tentu setelah mencium wangi buku-buku tersebut.
 
 
Kertas yang mahal katanya tidak berbau. Syukurlah kalau begitu. Karena aku menyukai aroma kertas. Baik itu kertas dari buku-buku baru maupun lama. Koran pun juga begitu, walaupun aroma kertas koran terlalu sengit buatku. Kadar aroma buku yang menurutku tepat untuk dibaui. Wangi tinta yang dipakai untuk mencetak tulisan di buku-buku, seperti garam di sebuah masakan. Menambah indahnya aroma buku-buku. Betul. Aroma buku itu indah, bukan enak. Tapi tidaklah penting untuk beberapa orang. Bahkan masakan pun bisa dibilang enak, atau dibilang nikmat. Itulah yang dikatakannya ketika dijamu di Istana Negara: "Semuanya enak."
 
Beberapa sms sudah masuk ke handphoneku. Isinya hampir seragama. Memuji betapa beruntungnya diriku memiliki presiden seperti dirinya. Tidak seperti presiden yang mereka miliki sekarang. Bisanya cuma mengeluh ke rakyat, kata mereka. Pemimpin yang baik, kata mereka lagi, seharusnya menyemangati dan memberikan harapan.
 
Tapi, kataku dalam hati, kalian bisa bilang begitu karena kalian tinggal di sana. Di sini, orang yang kalian puja itu habis dimaki dan diserang oleh banyak media dan komentator. Agak mirip dengan apa yang dialami presiden kalian. Cuma memang bedanya. Pemimpin kami di sini tidak suka menyanyi. Bagi banyak dari kami, alunan suaranya sewaktu berpidato bagaikan alunan lagu kepahlawanan yang mengiringi langkah kami setiap hari. Yang mengingatkan kami bahwa hari esok bukan hari-hari omong kosong, melainkan hari yang penuh harapan dan masa depan.
 
Namun itu juga yang kadang dikatakan oleh beberapa komentator di televisi. Presiden kami dinilai hanya bisa jago pidato, tapi tidak jago memimpin. Tapi salah satu dari kalian berteriak dengan lantangnya,"Pemimpin kalian bisa memimpin, pemimpin kami hanya bisa dimimpi'in."
 
"Bacalah buku saya jika ingin tahu jawabannya." Itu yang dikatakan mantan pemimpin kami. Dia baru saja merilis buku, yang katanya mengisahkan bahwa perang Irak dan cara menginterogasi tawanan perang menurutnya sudah dipikirkan matang-matang. Walaupun banyak dari kebijakannya yang aku tidak setujui, namun jika ditarik keluar dari konteks, kalimatnya tersebut benar adanya. Bacalah buku.
 
 
Itulah yang aku ingin teriakkan dari atas gunung. Tentu bukan Gunung Merapi. Aku ingin bilang, bacalah buku. Anda ingin tahu kenapa si bocah Menteng Dalam itu sukses? Bacalah bukunya. Anda akan temukan jawabannya.
 
Tentu jawabannya bukan hal-hal yang manis. Tetapi soal penderitaan hidup. Soal belajar dengan cara yang keras, terjemahan saklek dari learning the hard way. Aku tentu tidak ngomongin soal Gladiator, di mana mesti bertarung dengan singa setiap hari. Itu terlalu keras untuk hampir semua orang. Tapi tentu hidup tidaklah lembek.
 
Itu yang aku sayangkan dari dirinya, ketika berpidato di kampus megah tersebut. Kesan yang aku dapat dia hanya ingin memuji sang tuan rumah. Mungkin dia tidak mau terkesan menggurui. Tapi mister, ajarlah kami. Kami butuh pemimpin yang keras. Supaya kami tidak cengeng.
 
Tidak semua orang punya bakat berpidato seperti dirinya. Namun setiap orang punya pilihan untuk belajar dengan lebih keras dan lebih keras. Lebih pintar dan lebih pintar. Jika dulu aku tidak bisa berbahasa perancis, aku bisa memaklumi karena lidahku dan bahasa ibuku bukan bahasa Perancis. Tapi belajar 6 jam setiap hari selama berminggu-minggu hanya dengan mendengarkan kaset-kaset belajar bahasa Perancis membuatku mendapatkan nilai A. Kebanggaanku di situ bukan karena nilai. Tetapi karena pilihan yang aku buat untuk menyayangi diriku. Supaya aku tidak jadi orang yang gampang-(an). Tidak mudah menyerah.
 
 
"Mungkin karena negara empat musim itu lebih makmur karena mereka dididik oleh alam dalam bekerja keras sehingga tidak cengeng," demikian kata seorang temanku suatu hari.
 
Masuk akal, pikirku. Tapi bagaimana dengan Singapura?
 
 
Ah, aku bisa menulis buku jika untuk membedah hubungan antara musim dengan kemakmuran suatu negara.
 
Buku. Aku suka aroma mereka. Wangi mereka. Salah satu kebiasaanku, membuka buku dengan cepat seakan mereka seperti kartu remi, tepat di depan hidungku. Sehingga aku bisa menghirup wangi yang disebarkan halaman-halaman di dalamnya. Mungkin harus dibuat istilah baru, seseorang yang mengalami gangguan mental karena posesif dengan wangi buku.
 
Aku sedang membuka salah satu buku yang sedang ramai dibicarakan beberapa orang sampai hari ini. Wanginya indah. Betul. Indah. Bukan enak. Indah.
 
Halaman pertama dari buku itu dulunya kosong. Sekarang sudah berisi. Tanda tangan si penulis yang ditorehkan dengan tangan kirinya. Kedua inisial nama lengkapnya tertera jelas dan khas, huruf B yang bulat sekali dan bahkan membentuk seperti jari telunjuk, dan huruf O yang terpotong di tengah oleh sebuah garis vertikal.
Samuel Franklyn's picture

Supaya tidak cengeng ...

Supaya tidak cengeng mungkin kamu perlu mama yang memaksa kamu bunuh diri. He he he.

http://www.sabdaspace.org/mamaku_memaksaku_bunuh_diri

PlainBread's picture

@SF thank you

Thank you linknya. Menarik cerita si hai-hai.
Purnomo's picture

SF, memancing ikan piranha?

Supaya tidak cengeng mungkin kamu perlu mama yang memaksa kamu bunuh diri. He he he
Kalau cengeng mungkin kamu perlu mama yang memaksa kamu membunuhnya? Ho ho ho ho.
Purnomo's picture

Kerbau pun bisa jadi presiden, apalagi jadi nabi?

Bahkan kerbau pun jika dicalonkan partai demokrat, kemungkinan akan terpilih.
I like the above statement very much. Tak ada rotan akar pun jadi, tak ada pipa besi pipa pralon pun jadi, tak ada pendeta aku pun jadi asalkan dicalonkan oleh sinode.