Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Empat Sahabat yang Bahagia (?)
Yang terdengar hanyalah suara bising “Dancing in The Moonlight” versi house club. Dentuman musik lengkap dengan gemerlap lampu diskotik ampuh menyuntikan atmosfir ekstasi ke seluruh ruangan! Hampir semua pengujung bar memenuhi “dancing floor”, tak terkecuali temanku Hedi.
“Ayo teman-teman, ini malamku. Bersenang-senanglah bersamaku” Teriaknya dengan semangat 45.
Tapi, berhubung sadar dengan usahanya yang hanya akan berakhir sia-sia, dia kembali berjoget penuh gairah dengan pria yang kurasa baru saja dikenalnya. Dia menatap kami, mengedipkan satu matanya, lalu senyuman genit menghias wajahnya. Isyaratnya, “Ini sangat menyenangkan!!! Ayo kesini.”
Percuma saja sebab bagi kami bertiga kenikmatan sesungguhnya adalah menertawakan dan memberi komentar panas tentang “cacing-cacing kepanasan” di lantai disko itu.
“Lihat Hedi, bahagia banget ya!” Ujar Hilda.
Jika kami ikan salmon, maka pertanyaan tersebut adalah pancingan yang sempurna. Aku terlalu mengenal sahabatku Hil yang maha-apatis ini sehingga aku tahu arah pembicaraannya. Ini pasti akan jadi topik perdebatan yang hebat.
“No. No. salah besar! Justru aku kasihan sama dia.” Ujar Rose.
“Kebahagiaan semacam itu mah hanya akan bertahan sementara. Kalau dia bersenang-senang terus, apa nikmatnya kesenangan. Kalo dia berpusat pada masa kini saja, jadi apa teman kita nanti? ‘No pain, No gain’ itu prinsipku! Bekerja keras untuk meraih cita-cita. Itulah kebahagian sesungguhnya!“
Aku tahu bahwa Rose benar-benar terpaksa, berat hati, dan super-gelisah berada di sini. Kalau bukan karena Hedi yang mengundang kami semua ke diskotik serba mewah ini untuk merayakan ulang tahunku yang ke-25, dia pasti akan menolaknya mentah-mentah. Tak ragu dia akan memilih berdansa bersama bukunya atau bersenang-senang di laboratorium dan merampungkan penelitiannya. Hey, kenalkan temanku, Rose, calon menteri atau presiden kelak!
“Hei, bicarain gue ya?!” Teriak Hedi yang sedikit terengah-engah duduk di kursi kami.
“Sudah bersenang-senangnya?” Ujar Hilda sedikit menyindir.
“Dah bosan!” Jawabnya.
Rose menyungging, “Sudah kuduga. Kebahagiaan yang sementara seperti ini sia-sia! Makanya Hed, kamu tuh perlu benar-benar merancang masa depanmu sesempurna mungkin. Banyak prestasi-prestasi besar yang sedang menunggumu saat ini. Nah, peluk dong prestasi-prestasi itu, masak hanya cowok-cowok gj aja yang kamu pelukin?! Nanti kalo kena batunya, yang tersisa bukannya kebahagiaan, PENYESALAN!”
“Rose, sahabatku sayang, lu perlu menikmati hidup. Sekarang ya sekarang donk. Gue gak mau mikir muluk-muluk atau paranoid berlebihan kayak gitu! Diskotik terkadang membosankan, tapi perpus tuh selalu membosankan sohib!” Ujar Hedi defensif.
Aku melirik ke arah sahabatku Hilda, si penyulut api. Kami berdua tahu bahwa walau diam, kami masing-masing menikmati perdebatan itu. Hanya saja dia diam bukan sebagai pengamat suasana seperti aku. Temanku, Hilda sedang menyusun sebuah nuklir apatis yang dapat meredam keduanya. Satu persatu, serangan itu dilontarkannya,
“Hed, kamu benar, tapi juga salah. Aku setuju bahwa buku, penelitian, prestasi itu sangat membosankan!
“Aku yakin Rose, dengan segala kejeniusan, ketekunan dan kedisiplinanmu, kamu pasti akan melimpah dengan harta di masa depan. Tapi, apakah kamu bakalan bahagia dengan apa yang kamu miliki nanti?
“Kalau kamu punya uang, mobil, rumah yang dihuni keluarga shakinah, vila nan megah di pulau pribadi sekalipun, terus apa? Apakah materi-materi itu cukup membuatmu bahagia? Tidak! Karena kamu hanya mengejar sesuatu yang jauh di luar, masa depan.
Tapi kamu salah juga Hed. Hidup hanya untuk dinikmati sekarang??? Itu neraka namanya.” Lanjut Hilda panjang lebar.
“Lho, bukannya lu sendiri penggemar clubbers?” ujar Hedi tak terima.
“Itu dulu! Bener kata Rose, kenikmatan tuk saat ini sia-sia. Aku nggak mau nikmati lagi kehidupanku seperti yang dulu karena aku muak! Coba bayangkan 10 tahun kamu terus bersenang-senang seperti ini. Kamu gonta-ganti cowok, bercinta terus, foya-foya terus. Awalnya memang senang, tapi kesenangan pun menjadi biasa dan binasa. Daripada hidup seperti itu, aku lebih milih neraka Hed!”
Dan nuklir itu pun meledak, “Tidak ada kebahagiaan di dunia ini. Semuanya nihil, nol, sia-sia!”
…
Kami bertiga bengong selama beberapa menit: Rose dan Hedi saling tatap-tatapan. Aku serasa tertusuk panah tajam, tapi aku tidak bisa terus diam. Aku harus mencabut anak panah tajam ini. Ini mungkin hadiah yang tepat untuk umurku yang ke 25.
“Salah total Hil. Kebahagiaan adalah sebuah makna,” ujarku.
“Makna kebahagiaan adalah membuat hidup kita bermakna. Mungkin ini persoalannya: Hilda yang terlalu dibayangi dengan trauma masa lampau; Hedi yang terlalu berpusat pada hari ini; sedangkan yang Rose terlalu berpusat pada masa depan.
"Bukankah kebahagiaan akan datang dengan sendirinya jika kita menyeimbangkan ketiga lorong waktu itu? Kita jadikan masa lalu pembelajaran, masa kini kita syukuri, dan masa depan untuk suatu visi yang bermakna. Membuat masa kini masa lalu yang bermakna sekaligus nikmat untuk masa depan.”
Kami berempat tertegun merenung... Apakah benar?
…
“Ehm, sendirian ya?” ujar seorang pria mendatangiku, “Saya traktir minum ya?“
“Saya lagi merenung dengan tiga teman saya.”
“Tiga?” Ujarnya bingung.
“Ah, Lupakan saja, Mas.” Menyadarkan diri bahwa aku hanya seorang diri di diskotik yang ramai itu.
“Saya segelas martini Mas untuk kebahagiaan.” Ujarku tersenyum.
…
- psikologila's blog
- Login to post comments
- 5115 reads
wong edan
Wong edan
==lho kok tahu saya orang medan?==
Sinting!
==lho ko tahu marga saya Ginting?==
".... ...."
@ miyabi
hihihihi... humor dari "pemerkosaan" fonetik tuh
Thanks ^^
nice story
Endingnya nendang ^_^
Emang bingungin sih supaya hepi tuh gimana. Akhirnya ya drpd mikir2 capek2 ya uda jalanin aja sebae2nya dan seiklas2nya. Kalo ditanya orang ntr mau jadi apa, baru deh pusing2 ngarang2 goal yg keren. hahahaha
imprisoned by words...
@lapan
thanks...
Setuju... jalani kehidupan dengan kebaikan dan keikhlasan ^^
Tapi, semoga "goal" hidup yang keren itu tidak hanya berupa sebuah karangan, tetapi tujuan untuk menjadikan kehidupan sebuah makna
MPD
Ini cerita soal MPD (multiple personality) atau terbayang tempat dan orang yang lain?
Martini setau saya tidak pernah untuk simbol kebahagiaan, tapi represent pressure, challenge and surprises (James Bond, Churchill, Ian fleming, Mr n Mrs Smith, anyone?). Kalimat terakhir yang bagus, buat saya itu ending yang ironis. Seperti menemukan 2-3 olives di dalam segelas martini.
@ Plain
Yang pertama Plain, tokoh ini sedang bergulat dengan "personalities" yang berbeda-beda dalam dirinya, walaupun dia bisa membedakan realitas.
Setuju dengan pengamatan "unplain" Anda Plain, as paradox as life indeed... thanks ^^
soulmate - pilem indo
ceritanya jg gitu yah.. ada multi personality, dian sastro kalo ga salah yg maen ^^
@dReamZ
Yup, pernah nonton dReamZ :) Salah satu film Indonesia favoritku ^^