Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Home: Diaz dan Vero

anakpatirsa's picture

        Jika penilik sekolah menuduh kakakku korupsi karena menemukan meja sekolah di rumah—meja yang ada tipe-ex Roni Tuti—meja itu akan kuangkat dan kulemparkan ke kepalanya.

        Hanya itu harta Diaz dan Vero. Jam lima pagi Vero sudah menyuruh ibunya menghidupkan laptop yang ada di atas meja. Itu jadwalnya menonton SpongeBob dan Dora the Explorer. Jadwal yang terbentuk karena di Pangkalan Bun, sekali sebulan ia menonton kartun yang sama jam lima pagi di Global TV. Diaz bangun setengah jam kemudian dan mendapat sisa ruang kosong di atas meja. Ia langsung menambah keributan sehingga tidak mungkin aku bisa tidur lagi. Bisa kulihat, belajar di samping laptop yang memutar film kartun membuatnya lebih sering menggambar pesawat atau Sandy si tupai temannya SpongeBob daripada belajar ”Ini Budi”.

        Beberapa hari lalu aku tiba, Vero yang berdiri di tengah pintu hanya memandangku. Aku berjongkok di depannya, berkata, “Sapiii...” Ia hanya diam. Kuulangi lagi, “Sapi... babi ... meong...,” ia tetap diam. Makin erat memegang bonekanya, memandangku seperti melihat orang gila yang berbicara sendiri. Diaz lebih parah lagi, ia hanya berpaling sedetik dari laptop. “Diaz, ingat ini siapa?” kata ayahnya. “Om yang di tempat kakek meninggal,” jawabnya tanpa berpaling lagi.

        Tidakkah mereka berdua tahu? Aku bisa berangkat dari Solo jam 10 dan tidur siang di Palangkaraya jam 12. Ibu mereka yang membuat pantatku kapalan di jalan. Bahkan aku baru akan tiba di Palangkaraya yang masih berjarak 600 km seminggu lagi. Itu hanya gara-gara sebuah pesan: Kalau pulang, ke tempat kami dulu, ya? Biar ketemu Vero dan Diaz.

        Aku duduk di samping Diaz, “Trasformer 2, ya?”

        “Ya, Revenge of the Fallen. Om pernah menontonnya?”

        “Wuiss... gaya Diaz,” kata ayahnya. “Sudah nggak tahu lagi berapa kali ia ulang itu.”

        Rasanya baru kemarin—sebelum adiknya lahir—kakak membawanya menempuh 1200 km supaya bisa memamerkan kenakalan yang mengalahkan kenakalan masa kecilku. Aku ingat, waktu itu ibunya membawa setumpuk VCD Teletubbies. Kartun yang sama sekali tidak Diaz sentuh karena sibuk mengebor dinding rumah.

        “Robot kakek sudah keluar?” pertanyaanku sekaligus menjawab pertanyaannya.

        “Belum, Sam dan pacarnya belum ke tempat pesawat.”

        “Wuiss... Diaz,” kata ayahnya, “pacar segala.”

        Kayaknya iparku juga ikut lupa kalau anaknya sudah besar. Sudah kelas satu SD.

        “Nanti robot kakek ada jenggotnya. Kayak Om.”

        Paling tidak aku tahu, ia memperhatikanku detik pertama tadi.

        Vero tidak boleh kudekati. Lengkingannya lebih kuat dari yang setengah tahun lalu. Kenangan jalan-jalan keliling kampung sudah ia lupakan. Sogokan itu tidak laku lagi, ia tidak tertarik kugendong melihat pohon kelapa di kampung sepi yang penduduknya berada di tengah laut.

***

        Kakak tinggal di halaman sekolah. Tentang rumahnya, ia mengirim SMS: “Jangan kaget nanti, rumah kami prihatin, kecil sekali.” Aku melihat sendiri perumahan guru itu, satu ruang tamu (berisi meja sekolah itu), satu ruang tidur dan satu dapur. Plafonnya penuh lubang karena atap yang bocor.

        Kedatanganku memberi hiburan tersendiri bagi Vero dan Diaz, bisa menggangguku memperbaiki kabel listrik yang malang melintang. Pekerjaan yang cepat selesai bila keduanya tidak ikut campur. Waktuku habis hanya untuk mencari obeng, tang dan isolasi yang selalu perpindah. Sekali aku harus menyusul Diaz yang berburu di hutan kecil belakang sekolah. Aku membutuhkan senjata potongan pipa paralon yang dibawanya. Sekali aku harus kembali lagi ke loteng, mencari obeng yang ternyata ada di bawah boneka Vero.

        Mereka boleh menggangguku, tetapi aku tidak boleh mengganggu mereka. Entah darimana mereka mempelajari aturan seperti itu.

        Dan aku hanya diam ketika kulihat Vero duduk dekat tasku. Aku pura-pura tidak melihatnya. Kemarin kupamerkan CPU yang panjang dan lebarnya tidak sampai sejengkal dan tebalnya hanya seukuran kelingking. Ia ingin melihatnya lagi, pikirku. Aku tetap diam ketika ia mengeluarkan buku corat-coretku lalu pergi. Kupikir tidak perlu menyusulnya. Aku tahu dimana harus mencari buku itu nanti, di dekat bonekanya.

        Aku melanjutkan pekerjaanku sampai ia muncul sepuluh menit kemudian.

        “Ini, Om.”

        Kuperhatikan raut mukanya, tanpa rasa bersalah sama sekali. Kuperhatikan buku corat-coretku, bentuknya sudah tidak karuan. Kulihat tangan kirinya, memegang gunting. Ingat cerita kakak ketika Vero belum genap dua tahun. Anaknya membawa gunting, berkata, “Mah, potong rambut Vero!” Ibunya tidak bisa berkata apa-apa, Vero sudah memotong sendiri poni kecilnya sebelum berkata, Mah, potong rambut Vero.

        Aku juga tidak bisa berkata apa-apa. Itu catatan perjalanan. Aku menulis selama perjalanan, dan cerita-cerita itu sudah jadi potongan-potongan kecil. Masih kuingat pembukaan salah satu cerita, tentang pemuda yang kutemui di Bandara. “Mau kemana, Mas?” tanyaku, yakin kami minum air sungai yang sama. Ia mengangkat tangan tanpa menoleh. Aku mengerti, kakek atau neneknya sudah berkata, “Jangan meladeni orang asing di Jakarta. Banyak orang jahat.” Di pesawat ia duduk di kursi 7A, dan aku di 7B. Begitu duduk, ponselku berbunyi. Mendengar bahasaku, ia bertanya, “Handak guang kueh ikau.” Aku hanya mengangkat tangan, berkata dalam hati, “Satu -- satu.”

        Aku tinggal memperindahnya. Tetapi sekarang, bayi tiga tahun menyerahkan potongan cerita itu dalam bentuk potongan kertas. Tanpa rasa bersalah. Aku tidak bisa melakukan apa-apa, kecuali membungkuk. Berusaha menggendongnya. Tetapi lengkingan itu kembali terdengar. Padahal aku pikir, aku yang seharusnya melengking.

        Setelah itu, aku duduk di teras, memperhatikan anak-anak sekolah. Kakak mengajar SMP di desa kecil di pinggir sebuah teluk. Desa tanpa ponsel dan televisi. Sudah delapan tahun ia dan suaminya mengajar di sini. Kulihat anak-anak sedang membersihkan alang-alang. Kemarin aku lihat pengumumannya: “Besok Selasa, semua siswa wajib membawa parang ke sekolah.” Ini tidak akan kutemui di Solo atau Jogja, harus membawa parang ke sekolah.

        “Adiknya Bu Tiara?” seorang guru mendekatiku.

        “Ya.”

        “Mau lihat laboratorium kami? Siapa tahu Adik bisa membantu.”

        Tadi malam kakak sudah mengatakan nanti ada guru yang memintaku melihat laboratorium komputer.

        “Ya,” jawabku.

        “Ikut Vero?” kata guru itu. Vero yang sedang bermain di ruang tamu sama sekali tidak menoleh.

        Aku tidak perlu mencemaskannya. Satu menit ia ada di sana, satu menit berikutnya ia bisa saja sudah ada di ruang guru.

        Ada lima CPU di dalam. Semua kabelnya sudah lepas. Kubuka CPU yang di dekat pintu. Kucabut kabel yang dari power supply ke mainboard. Kusambungkan kabel hitam dan hijau, begitu listrik kupasang kipasnya berputar. Berita buruk, pikirku, bukan masalah power supply mati. Aku segera menemukan berita yang jauh lebih buruk. Mainboard mati. Aku tidak tahu, apakah seseorang telah membeli atau seseorang telah menjual ronggsokan. Rongsokan yang bahkan tidak ada tulisan apa-apa di prosesornya.

        Kuperhatikan sekeliling labs, tepatnya bekas labs.

        Dindingnya penuh karton besar karya siswa. Ada lukisan halaman utama Microsoft Word dan nama-nama bagiannya seperti Toolbar, Menubar, Statusbar, dan lain-lain. Ada juga lukisan sebuah menu, Menu Insert. Siapapun yang melukisnya, lupa menambah garis di bawah huruf I.

        Bisa kulihat, komputer rusak membuat seseorang mengganti pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi dengan pelajaran Kesenian.

        “Terima kasih, ya,” kata guru itu saat mengunci pintu.

        Aku berharap ada lowongan untuk Petrus—penembak misterius—saat aku mengucapkan “Sama-sama”.

        Tiga harian kemudian aku pulang. Vero menangis sekeras-kerasnya. Bukan karena aku pergi, tetapi karena ayahnya pergi mengantarkanku sampai Pangkalan Bun.

coldwind's picture

Salam kenal

Salam kenal, Anak Patirsa.

Dengan adanya blog ini berarti Anda sudah kembali ke peradaban :)

anakpatirsa's picture

Trims

Salam kenal juga,

Masalahnya saat menulis komentar ini saya sudah mau berangkat ke kampung kelahiran, jadi baru minggu depan kembali melihat "peradapan."

Karena itu menyempatkan ke warnet sebentar. Baru seminggu lagi bisa melihat yang namanya SS.

Terima kasih atas komentarnya.

 

dReamZ's picture

@anakpatirsa, vero gemesin banget..lucu.. ^^

abis baca disini, gw baca blog elo jg judulnya vero...

taru picnya dunk disini, pasti lucu banget anaknya ^^

anakpatirsa's picture

Foto Vero

Terima kasih,

Mau kenal Vero? Inilah fotonya:

dReamZ's picture

anakpatirsa, vero cantik ...

thanks yah dah dikasi liat pic nya ^^

niwei skrang lagi sama2 vero ato ga sih?  abis ditulis diatas lagi pulang kampung. gitu ga sih hehehe ^^