Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Pahlawan?
Setiap musim bendera, kakek selalu membawaku ke Lapangan Tugu. Ia berdiri di depan tugu, aku duduk di undakannya. Setelah aku masuk sekolah, kakek selalu berangkat sendirian. Ia berdiri di depan tugu, aku berdiri di barisan. Setelah ada televisi, kami sama-sama tidak pergi ke Lapangan Tugu. Ia duduk kursi, aku tiduran di lantai.
Kami sama-sama menonton televisi.
Zaman bisa berubah, satu tidak. Mata kakek selalu berair setiap kali bendera naik pelan ke puncak tiang. Baik itu zaman ketika ia masih menuntunku di jalan, maupun zaman ketika aku sudah berdiri dalam barisan. Memang tidak bisa kulihat matanya, tetapi saat kudatangi, berharap ia ingat tahun lalu ia belikan aku es lilin, kulihat sepasang mata itu merah. Dan pada zaman ketika kepalanya hanya berjarak setengah meter dari layar televisi, upacara yang lebih khidmat membuatnya menitikkan air mata dari awal sampai akhir acara.
Saat-saat seperti itulah aku melihat kakek menjadi orang lain. Bukan kakek yang minta permainan diulang sampai ia menang bila kukalahkan main catur. Ia tidak pernah bercerita kalau pernah ikut berperang. Bila upacara bendera tujuannya untuk memperingati kemerdekaan, kakek tidak pernah bercerita kalau ikut memperebutkan ataupun mempertahankan kemerdekaan itu. Aku juga tidak pernah tahu, apakah ia pernah menebas kepala tentara Belanda dengan mandau yang tergantung di kamarnya. Atau apakah ia pernah menyumpit pantat tentara Jepang dengan sumpit kotor yang tersandar begitu saja di dinding dapur.
Kalau kakek pernah memanggul senjata, itu mungkin senapan kayu dari ulin yang tergeletak begitu saja di tengah loteng. Bila ia pernah bercerita tentang perangnya, itu hanya sebuah kisah yang begitu ia banggakan. Sekali ia menyerang pos Belanda. Bukan dengan mandau atau sumpit, apalagi senapan. Tetapi mengendap-endap seperti maling, lalu mengencingi dinding belakang pos jaga pasukan Belanda.
Kakek sudah meninggal. Polisi berdiri di pinggir makamnya, menembak ke atas. Apakah itu tembakan penghormatan karena kakek pernah mengencingi dinding belakang pos jaga pasukan Belanda? Aku tidak tahu. Apakah itu karena ia bisa menitikkan air mata setiap kali bendera naik ke puncak tiang? Aku juga tidak tahu. Ia tidak pernah bercerita tentang membunuh tentara Belanda atau Jepang. Ia hanya bercerita tentang petualangannya mengencingi dinding belakang pos pasukan Belanda.
Lapangan Sanaman Mantikei, 17 Agustus 2011
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 4320 reads