Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Tour de Cangkem at Puerto Qerto [Day Two]

Purnawan Kristanto's picture

Hari kedua di Purwokerto, kami disambut selimut kabut. Mas Arie sudah lebih dulu bangun dan asyik bersaat-teduh di depan laptopnya. Sebelum sarapan, aku menyambar kamera untuk sarapan mata lebih dulu. Pukul 6, jalan mulai dipadati kendaraan. Aku putuskan untuk mengunjungi Taman Makam Pahlawan "Tanjung Nirwana," yang hanya berjarak 500 meter dari hotel. Gerbang utamanya digembok. Mustahil untuk masuk ke dalam.

Makam ini dibagi menjadi dua bagian yang dipisahkan lagi oleh tembok. Bagian depan adalah tanah kosong dengan tugu serupa menhir di bagian tengah. Barangkali di sini sering dipakai untuk upacara. Sedangkan di bagian belakang adalah wilayah pemakaman, namun sayangnya tidak terlihat karena tertutup pagar tembok. Di sekeliling pemakaman ini, terdapat perkampungan yang cukup padat.

13111830951604664398

Melalui celah-celah pagar, aku melihat papan pengumuman terpancang. Isinya beberapa perintah dan larangan: Pengunjung harus hormat kepada arwah. Batinku, bagaimana sih cara menghormat pahlawan? Apa dengan melingkari makamnya dengan pagar terkunci itu membuatnya dihormati? Pengunjung juga dilarang mengembangkan payung dan berkacamata hitam. Hmmm....sampai saat ini aku belum paham alasan larangan ini. Apakah payung hitam dan kacamata hitam itu melecehkan pahlawan? Bukankah payung akan melindungi pengunjung dari terik dan kacamata melindungi mata dari silau matahari? Dengan demikian maka pengunjung lebih berkonsentrasi dalam "menghormati" pahlawan?

Karena masih diselimuti kabut, tak banyak yang dapat dinikmati secara visual. Aku pun melangkahkan kaki pulang. Di sepanjang jalan, aku mencoba merekam detil-detil unik yang barangkali tidak disadari oleh orang Purwokerto sendiri.

 

Nama gang yang mengagungkan Tuhan

 

 

 

Kurang tinggi? Di sini badan pasien langsung ditarik. Hi.......

 

 

 

Muncul lagi? Sebelumnya kemana?

 

Generasi apa kamu? Di sini Generasi Knalpot!

 

 

Sesampai di hotel, sudah terhidang teh manis, telur rebus dan garam. Aku jadi ingat teringat pengalaman KKN di Kalimantan Selatan. Ada mahasiswa yang masuk ke warung makan. Dia memesan nasi sayur. Lauknya telur asin. Saat dimakan, mahasiswa ini heran karena telurnya berasa tawar.

"Saya tadi memesan telur asin, lho," protes mahasiswa pada pemilik warung.

"Itu telurnya, ini garamnya," kata pemilik warung sambil menyorongkan segelas bubuk garam. Olala...ternyata pengertian tentang telur asin di Jawa itu berbeda dengan di Kalimantan Selatan.

Karena alergi telur, aku tidak menyentuhnya. Aku hanya menyeruput teh manis. Sebagaimana kebiasaan waktu kecil, aku tidak terbiasa sarapan. Jadi tidak begitu risau bila tidak ada makan lagi. Pukul 9, kami bersiap di GKJ Purwokerto.

GKJ Purwokerto termasuk gereja yang sudah tua. Menurut sejarah, kekristenan di kabupaten Banyumas disebarkan oleh orang awam yaitu Ny. Van Oostrom Philips, seorang pengusaha batik pada tahun 1858. Dari pemberitaan ini, ada ada sembilan orang yang terpanggil dan kemudian menerima baptis suci pada tanggal 10 Oktober 1858 di Semarang. Mereka inilah merupakan "cikal-bakal" dari GKJ Banyumas. Akan tetapi baru tujuh tahun kemudian pemerintah Belanda memberikan izin penyebaran agama Kristen di wilayah Karesidenan Banyumas. Hal ini menunjukkan bahwa tidak benar bahwa agama Kristen itu dibawa oleh penjajah. Memang benar, agama Kristen disebarkan oleh gereja dari Belanda, namun mereka tidak ditugaskan atau diutus oleh pemerintah. Di berbagai tempat, pemerintah Hindia Belanda justru sering melarang dan menghambat penyebaran agama Kristen di wilayah mereka karena dikhawatirkan akan mengganggu kepentingan ekonomi dan politik penjajah.

Kekristenan di Purwokerto sendiri bermula dari desa Grendeng pada tahun 1885  yang dirintis oleh guru Injil bernama Yosua Dangin. Orang-orang Kristen di Grendeng kala itu mengikuti kebaktian di Purbalingga. Karena jarak yang jauh maka mereka berangkat pada hari Sabtu menginap di Purbalingga dan pada pagi harinya mengikuti kebaktian.
Kelompok orang Kristen di Grendeng semakin bertambah, maka pada tahun 1915 ditempatkan seorang Guru Injil bernama M. Ngirat Asah. Pada bulan Agustus 1919 Pepanthan Grendeng ini ditetapkan menjadi Jemaat yang Dewasa. Sementara itu kelompok orang-orang Kristen di kota Purwokerto yang merupakan pepanthan dari Gereja Grendeng juga semakin berkembang. Salah seorang yang giat dalam memajukan Jemaat adalah R. Urip Simeon. Pada tanggal 3 Februari 1929 pepanthan Purwokerto ditetapkan menjadi jemaat yang dewasa. Tempat kebaktian di gedung Gereja yang terletak di Jl. Kauman Lama yang dibangun sekitar tahun 1926/1927 (sekarang gedung Gereja itu dipakai untuk TK/SD Kristen 02).
Jemaat Purwokerto semakin berkembang sementara jemaat di Grendeng semakin surut. Maka pada tahun 1936 jemaat Grendeng digabungkan ke Purwokerto, dengan demikian Grendeng justru menjadi pepanthan Jemaat Purwokerto.

13111825122029540352

Karena jumlah jemaat yang bertambah banyak, maka dibutuhkan gedung gereja yang lebih besar. Saat itu di Purwokerto terdapat juga jemaat Belanda yang mengadakan kebaktian di Balai Pertemuan yang dibangun pada tahun 1934 di Ringweg  (gedung GKJ Purwokerto sekarang di  jalan Bhayangkara). Jemaat GKJ dan jemaat Belanda sepakat mendirikan sebuah gedung gereja yang lebih besar di Ringweg. Pembangunan itu dimulai pada tahun 1935 dengan jumlah biaya pembangunan 7.000 Gulden dipikul bersama jemaat (GKJ) Purwokerto dan jemaat Belanda dengan perjanjian bahwa gedung gereja itu dipakai bersama. Pada tanggal 30 September 1937 gedung gereja baru itu diresmikan.

***

Agenda pagi ini adalah pelatihan menulis. Peserta sudah datang. Dimulai terlambat 30 menit, mbak Tina memulai sessi pertama dengan memaparkan alasan perlunya menulis. Peserta dimotivasi tentang nilai-nilai luhur di balik aktivitas menulis.

Giliran berikutnya adalah mas Arie Saptaji. Dia membagikan cara-cara untuk membuat kebiasaan menulis. Beberapa penulis pemula biasanya merasa berat untuk memulai menulis. Atau jika sudah mulai menulis, di tengah jalan dia tiba-tiba kehabisan gagasan atau mendapat writer block. Kesulitan itu bisa diatasi jika orang tersebut sudah memiliki kebiasaan menulis. Di sinilah mas Arie membagikan tips-tipsnya. Sementara mas Arie "mengecer cangkem", kami menyantap nasi dan ayam di ruang bawah. Aku mendapat giliran pamungkas untuk membagikan kiat-kiat menguangkan tulisan. Sebenarnya ada banyak peluang untuk mengubah tulisan kita menjadi uang. Bukan dengan dengan sulap, bukan dengan sihir, bukan pula dengan doa puasa, melainkan dengan ketekunan dan keuletan.

 

Mbak Tina memotivasi peserta untuk menulis Mas Arie membagikan tips mengembangkan kebiasaan menulis

Lewat tengah hari, perutku masih kenyang karena sarapan kesiangan tadi. Sementara itu, mas Arie juga masih asyik mengobrol dengan seorang teman yang sudah lebih dari 12 tahun tidak bertemu. Sambil menunggu mereka selesai mengobrol, mbak Tina mengajak aku dan mas Agus untuk mengunjungi toko Noel. Ini adalah satu-satunya toko buku rohani di kota keripik ini. Tokonya berukuran sekitar 7 m x 10 m namun terlihat sempit karena pemilik toko ingin menjejalkan semua barang dagangannya di dalam toko. Pada etalase depan dipajang boneka-boneka kain. Ada juga boneka tangan yang biasa digunakan untuk bercerita di hadapan anak-anak. Di dinding samping kanan pintu masuk, terjajar kaset-kaset rohani yang kurang up to date. Pada bagian tengah terpasang rak-rak buku. Terpajang juga beberapa buku yang aku tulis. Pada bagian belakang terdapat barisan patung rohani terbuat dari porselin dalam berbagai ukuran. Aku tidak berani berlama-lama berada di  bagian ini karena ada tulisan "Pecah berarti membeli."

 

kripik
Adonan

 

Iseng-iseng, mbak Tina melihat kaos-kaos rohani yang dijual di sana. Saat aku melihat desain kaosnya, tiba-tiba aku merasa begitu mengenal kaos ini. Karena penasaran, aku memeriksa label kaos ini. Dugaanku benar. Kaos ini berlabel Trinity, yang diproduksi oleh anggota jemaatku di Klaten. Uniknya, pembuat kaos ini punya toko rohani yang namanya sama persis dengan toko di sini. Apakah keduanya ada hubungan khusus? Entahlah!

 

tempe
Oleh-oleh di jl Tanjung

 

tempe
Tempe Kripik

 

Tempe Mendoan ukura jumbo

Video oleh-oleh kripik lihat di sini

Oleh-oleh Purwokerto

 

Kami kembali ke GKJ Purwokerto untuk menjemput mas Arie dan cari makan siang. Ternyata dia masih asyik bercakap-cakap dengan temannya. Apa boleh buat, kami harus menghentikan percakapan mereka. Kami justru mengajak teman mas Arie itu sebagai penunjuk jalan kuliner. Karena belum begitu lapar, maka kami mencari oleh-oleh lebih dulu di jalan Tanjung. Di jalan ini, ada empat toko yang menjajakan oleh-oleh khas Purwokerto, yaitu tempe kripik dan mendoan. Di bagian depan, pemilik toko menaruh dua wajan raksasa untuk menggoreng tempe kripik. Ini adalah atraksi yang menarik. Tempe yang digoreng pun berukuran jumbo. Kira-kira dua kali telapak tangan anak remaja.

Pengunjung bisa langsung menikmati tempe mendoan. Yang dimaksud tempe mendoan adalah tempe kedelai yang dicelup ke dalam adonan tepung beras berbumbu. Tak lupa disertakan irisan daun bawang. Menggorengnya hanya sebentar sehingga hanya setengah matang. Itu sebabnya dinamakan mendoan. Dalam bahasa setempat, mendo berarti setengah matang. Cara makannya adalah dengan dicelupkan pada semangkok kecil kecap pedas. Jika pembeli ingin membawa pulang sebagai oleh-oleh, mereka bisa membeli tempe yang masih mentah, tepung berbumbu dan sebotol kecap. Untuk satu paket sebesar satu besek kecil, pembeli harus merogoh kantong yang lumayan dalam, yaitu Rp. 20 ribu.

Oleh-oleh lain yang menjadi khas di sini adalah tempe kripik, yaitu tempe tipis yang dicelup ke dalam adonan tempe mendoan. Bedanya, kripik digoreng lebih lama sehingga menjadi renyah atau krispi. Jika digigit terdengar bunyi "kripik...kripik." Itulah asal namanya. Pengunjung juga bisa membeli nopia dan gethuk goreng. Dua jajanan yang terakhir ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai oleh-oleh khas Sokaraja, sebuah kota kecil di timur Purwokerto.

Puas membeli oleh-oleh, kami meluncur ke arah GOR untuk mengisi perut. Akan tetapi niat makan siang justru teralihkan setelah melihat es duren. Konon, es duren ini terkenal enak. Maka kami pun jatuh ke dalam pencobaan.

 

Es Duren

 

 

Dengan mendoan raksasa dan semangkok duren yang berpindah ke perut, maka kami sudah tak bernafsu lagi untuk mencari makan siang. Kami putuskan untuk kembali ke GKJ Purwokerto. Mas Arie kembali terlibat perbincangan seru dengan temannya. Sedangkan aku memutuskan untuk memejamkan mata di kursi kayu panjang tua berbalut rotan. Lelap selama 30 menit sudah cukup untuk memulihkan kembali tenaga untuk menjadi fasilitator pada acara berikutnya.

 

Ice Breaker

 

 

Aku dan mbak Tina secara bergantian menyampaikan materi tentang cara mengajar sekolah minggu yang efektif dan menarik. Peserta kali ini berasal dari guru sekolah minggu dari berbagai gereja di Purwokerto. Bahkan gereja Katolik juga mengutus peserta. Peserta yang paling jauh berasal dari Cilacap.

Untuk menyegarkan suasana, lebih dulu aku ajak mereka bermain-main. Setelah menyampaikan materi, aku mengajak guru sekolah minggu dari berbagai gereja itu untuk membuat alat peraga. Ternyata mereka sangat antusias. Sayangnya karena waktu yang terbatas, mereka tidak bisa berkarya secara maksimal. Selanjutnya giliran mbak Tina membagikan contoh-contoh berbagai alat peraga untuk membangkitkan ide di antara GSM.

 

Karya GSM

Pukul setengah sembilan malam, kami mengakhiri acara terakhir dan bersiap pulang. Namun sebelumnya, kami harus mencari makan malam lebih dulu. Kami mampir di warung bakmi nyemek. Pengunjungnya cukup banyak. Ini menunjukkan bahwa masakan warung makan itu mungkin enak. Saat kami melirik meja lain, setidaknya ada lima meja yang sedang menunggu pesanan makanan. Jika setiap meja terdapat tiga orang maka setidaknya ada 15 orang kelaparan yang menunggu pesanan datang. Sayangnya, hanya ada satu koki yang memasak. Jika satu pesanan membutuhkann waktu 4 menit, maka setidaknya kami harus menunggu satu jam sebelum bisa mengisi perut. Itu terlalu lama. Kami putuskan untuk mencari tempat makan lain saja.

Sesampai di Sokaraja, kami mampir di Di warung soto "Seger" di jl Jendral Sudirman 200, Sokaraja, terjadi dialog ini:
Pelayan: "Minumnya apa pak?"
Aku: "Lemon tea hangat."
Pelayan: "Maaf, tidak ada pak."
Aku: "Kalau begitu, saya pesan teh hangat, terus diperesi jeruk nipis. Ada?"
Pelayan: "Ada pak."
Pelayan berlalu. Aku, Arie Saptaji, Agustina Wijayani, dan Agus Dwi Cahya ngakak.

Soto adalah kuliner unggulan Sokaraja. Keunikannya soto Sokaraja adalah pada kaldunya yang kental dan ketupat sebagai pengganti nasi.

Setengah sepuluh malam, kami meluncur ke arah Jogja. Memasuki hutan Pager Alang kami masih melihat pengemis yang mengharapkan remah-remah rejeki dari pengendara yang lewat (baca tulisan sebelumnya). Di sepanjang jalan kami sering berpapasan dengan bus malam jurusan Jakarta dan Bandung. Sisi jalan sebelah kiri dari Purwokerto menuju Jogja ternyata lebih buruk daripada arah sebaliknya.

Pukul 1:30, kami sudah sampai di Jogja. Kami mengantarkan mbak Tina ke rumahnya lebih dulu. Selanjutnya mas Agus dan mas Arie mengantarkan aku pulang ke Klaten. Sampai di rumah pukul dua dini hari. Aku segera melepaskan kantuk yang aku tahan-tahan selama empat setengah jam perjalanan.

Tulisan sebelumnya:

Tour de Cangkem at Puerto Qerto [Day 1]

 

__________________

------------

Communicating good news in good ways

Viesnu's picture

Jutek

Itu yang di foto Karya GSM, yang sebelah kiri ga dipinjemin boneka ya.. kok sepertinya ngambek.. hahahahaha

__________________

Lovepeace..uenak..

Purnawan Kristanto's picture

Ha..ha..ha.. kamu kok

Ha..ha..ha.. kamu kok tahu-tahunya lho. Aku malah nggak begitu memperhatikan

__________________

------------

Communicating good news in good ways