Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kado Ultah
Dua hari lagi!
Oow....
Diam-diam hatiku dilanda cemas.
Tentu saja! Sampai detik ini tak sepotong ide berlabel cemerlang sudi bersilaturahmi menyapa benakku.
Entahlah, agaknya aku memang tengah mati kamus memikirkan surprais buat Cindy yang dalam dua hari lagi akan berulang tahun.
Wow, padahal nanti ini baru memasuki bilangan keenam dia rayakan bersamaku sejak resmi menyandang status sebagai istriku.
Di tahun pertama, aku memberi hadiah ultah dengan mengajaknya liburan ke Bali. Sembari menikmati bulan madu, kami menghabiskan kebersamaan yang mengesankan.
Di tahun kedua, kubingkis lukisan dirinya yang menawan. Tentu saja bukan hasil karyaku. Sebab dalam hal lukis-melukis aku paling tidak berbakat. Selalu dapat nilai mengenaskan untuk pelajaran seni lukis di sekolah dulu, adalah indikasinya. Aku memakai jasa seorang pelukis cukup dikenal di kotaku.
Tahun ketiga, kukirimi dia beberapa buket bunga dan coklat kesukaannya. Sebentuk hadiah standar aku kira. Tapi, syukurlah, matanya berbinar-binar menyambutnya.
Tahun keempat dan kelima berturut-turut, aku cuma memberinya ucapan selamat lewat telepon. Bertepatan menjelang hari ultahnya di dua tahun berturut-turut itu, aku selalu harus pergi dinas ke luar kota.
Nah, tahun ini, aku bertekad memberikan surprais spesial, agar perempuan yang telah memberiku dua anak itu bahagia.
Tapi..., apa??
Haruskah kutraktir dia makan di tempat yang romantis?
Ah! Itu sudah kulakukan selama tiga tahun pacaran kami. Ga seru lagi!
Atau, kuajak dia dan anak-anak liburan ke manca negara? Misalnya, menantangnya iseng mencuri-curi membuang ludah dari ketinggian puncak menara Eiffel?
Walah! Bisa-bisa Nissan Livina, satu-satunya angkutan kebanggaan keluarga, menjadi korban tukar guling!
Lantas, apa??
Uhgff.... Mentok, tok!
Wah, wah, ternyata tidak mudah menemukan ide. Sembunyi di mana sih kamu, ide?
Tiba-tiba aku teringat pada temanku Doni yang menurutku cukup romantis. Barangkali dia punya ide yang cemerlang.
Segera kuraih hape yang tergeletak di atas meja. Kuarahkan kursor menyorot nama sahabat baikku sejak es em a yang tinggal di Jakarta itu.
Tidak lama kemudian, “Apa kabar, bos?”
“Baik. Elo sendiri, gimana? Tumben nelpon. Ada apa, Duff?”
Doni benar. Seringnya aku memang sms-an. Nomor kami beda operator.
“Gue ada perlu nih... Cindy mo ultah. Kira-kira lo ada ide ga, biar surprais, gue ngasih apa?”
“Ooo...begitu.... Betul, betul. Lo sudah tepat. Konsultasi pada pakarnya.” Ketawanya lepas.
Kalau Doni ada di depanku, sudah kujitak dia.
“Lo tahu kan Duff, jangankan ide..., ida, ido, edi bahkan idi juga gua punya!”
Kali ini aku yang ngakak. Terang saja, Doni tidak mengada-ada. Jefry Ida Holongna dan Jerry Ido Holongna, adalah anak kembarnya. Lalu, Edi adalah nama panggilan kakak tertuanya, Edison. Sedangkan IDI, adalah keanggotaan profesinya. Dasar!
“ OK, begini,” nada suaranya berubah serius.
Lalu, bla bla bla... Doni menerangkan dengan fasih. Tidak heran. Kado surprais yang diusulkannya adalah pengalaman pribadinya. Apa yang dia persembahkan buat Santy, istrinya.
Aku manggut-manggut. Hmmh, boleh juga tuh, batinku.
“Ga nyangka, kadang-kadang, elo jenius juga ya, Don.” Aku menggodanya.
“ Masa elo lupa Duff, Jenius itu emang produk gue.”
Alamak! Mati aku. Kalah telak 2-0. Andrew Jenius Holongna, adalah nama anak pertamanya, kakak si kembar. Awas, kubalas nanti!
“Ok. Salam buat Santy dan anak-anak. Eiitt, tapi ingat Don, elo jangan beritahu bini lo ya. Ntar jadi berantakan.” Sebelum menutup pembicaraan, aku mewanti-wanti Doni. Bagaimana juga hal ini mesti kuantisipasi. Ga seru dong, kalau fakta ide ini bukan orisinal dari kepalaku, bocor ke telinga Cindy. Cindy dan Santy cukup akrab, imbas dari kekariban kami, para suami mereka. Perempuan kan pada suka ngerumpi. Hehehe....
“Siiiplaah.... Salam juga sama Cindy dan anak-anak ya.”
“Yoi.”
Kupencet keypad gambar telepon berwarna merah di hape.
Seiring berakhirnya pembicaraan, sekarang rasa lega bertahta di dada.
***
Esoknya, aku ikuti saran Doni. Di sela -sela luang jam kerja, aku memutar otak memilih kata-kata romantis yang akan aku tuliskan dengan tinta emas di lembaran kertas-kertas cantik berwarna pink yang kubeli kemarin.
’Ungkapkan apa adanya. Sesuatu yang apa adanya itulah ungkapan paling romantis yang sejati. ’ Pesan Doni mengiang.
Tepat!
Aku menyetujuinya.
Berbarengan dengan jam pulang kantor, aku rampung menulis. Kembali aku membaca-baca isinya.
‘Honey, one of the best decision in my life is to married to you’.
Pada kertas yang lain aku menulis, ‘If God give me power to do something, I will make your life and our family without tear of sorrow, but happiness.’
Kertas yang lain kuungkapkan, ‘Darling, thank you for the time we spent together. Really worthy and impressed’.
Ada juga berisi, ‘Sweetheart, thank you for support me, understand me and correct me. Thank you for your abundant love’.
Di kertas yang lain kuungkapkan, ‘Honey, really, really, I proud of my wife. Thanks God. You give her to me’.
Dan, paling akhir aku menulis, ‘Honey, I just want you to know that, really, really, I have a wonderful life beside you. I love you darling. And will always love you. Happy birthday’.
Bahasa Inggrisku tidak terlalu baik, namun pada pendapatku lebih mengena menuangkan isi hatiku dalam bahasa Inggris. Entah sebentuk keuntungan atau peluang bertabur riskan, Cindy alumni Sastra Inggris.
Segera aku mengemasi segala sesuatu di ruang kantorku. Kertas-kertas berisi tulisan yang gagal, berserakan, yang telah berubah menjadi gumpalan-gumpalan tak beraturan buah dari genggamanku, kujadikan alat latihan ketangkasan main basket. Kuarahkan ke keranjang sampah di sudut kanan ruanganku.
Hanya satu yang meleset. Kujumput kembali dan memasukkannya ke dalam keranjang. Persinggahan sementara mereka sebelum esok pagi diangkut ke tong sampah di halaman kantor, untuk kemudian dikumpulkan di TPA.
***
Thanks God! Aku bersyukur dalam hati. Sudut mataku menangkap penunjuk waktu yang bertugas setia di dinding kamar mengabarkan masih pukul 4.10 dini hari. Kulirik istri dan kedua anakku. Pulas.
Hati-hati aku beringsut turun dari tempat tidur. Mencegah menimbulkan suara yang dapat membangunkan mereka. Begitu juga ketika membuka kunci dan handel pintu kamar. Kulakukan perlahan. Aku tersenyum mengingat gerakanku seolah adegan tayang ulang di teve.
Sukses. Sesampai di ruang keluarga, sebelum menutup pintu, aku mengintip ke dalam kamar dan mendapati misiku berhasil.
Bergegas kuhampiri lemari buku yang menjadi pembatas ruang tamu dan ruang keluarga. Kutarik laci di mana aku menyimpan tas kerjaku. Dari dalamnya kurogoh hati-hati kertas-kertas warna pink yang kutulisi siang tadi di kantor.
Satu demi satu kutata apik di atas meja makan dan di atas meja di depan televisi.
Setelah merasa cukup puas dengan tatanannya, kumasukkan tas kerja ke tempatnya semula. Saatnya kembali ke peraduan. Meneruskan mimpi indah kebahagiaan Cindy dan sekaligus kebahagiaanku juga. Semoga.
Tidak berubah. Gerakanku tetap hati-hati ketika membuka handel pintu kamar dan menutupnya kembali setelah berada di dalam. Beruntung kasur yang baru kami beli tiga bulan yang lalu, tidak seperti yang lama, tidak melantunkan derit ketika dinaiki. Sampai aku menutupi tubuhku dengan selimut, tidak seorang dari tiga orang terkasihku terjaga.
Kupejamkan mata. Wah, ternyata tidak mudah untuk dapat kembali terlelap guna menjelajah luasnya ruang mimpi. Debar yang berdentam di detak jantung tentang sukacita di raut istriku, memicu adrenalin, menjagakan mata, memimpin pikiran berlarian di ruang kenangan masa-masa pedekate dulu. Aku senang Cindy memilihku dari sekian banyak pesaing yang mencoba memenangkan hatinya. Padahal, tidak sedikit kontestan yang lebih keren dariku.
Ketika suatu ketika kutanya mengapa dia menjatuhkan pilihannya padaku, dengan senyum penuh misteri dia cuma mengerling nakal, ‘adaaa ajaaa....’
Aku cuma bisa mesam-mesem.
Aku tidak tahu, entah sudah berapa lama otakku melanglang menjelajah masa lalu, ketika tiba-tiba kurasakan tanganku diguncang-guncang.
Aku langsung membelalak seraya duduk.
“Hahh! Sejak kapan Samarinda dilanda gempa? Katanya kalimantan bebas gempa?” Kupasang mimik panik. Tentu saja, cuma bercanda.
“Yeee, siapa bilang ada gempa. Wong cuma ngebangunin, kok. Papi, makasih yaaa. Papi romantis, deh. I love you, too....”
Cindy nyerocos seraya memelukku.
“Oooo, begitu toh, “ aku berlagak pilon. Dan tersenyum, sebelum berubah menjadi ringisan ketika kurasa kuku Cindy menghujam pinggangku.
“Aaww, ampun mamiii. Ya dehhh, met ultah yaaa. I love you, my dear.” Kataku akhirnya. Lalu kukecup kening dan kedua pipi istriku.
Dalam hati aku memuji Doni sang pencetus ide cemerlang. Teruji, memang kado spesial.
***
Pagi yang sama di meja makan.
Aku mengurungkan melakukan suapan pertama sarapan pagiku, ketika hape Cindy yang tergeletak di meja makan berbunyi. Cindy lagi di kamar mandi.
Kulirik layar di hape Cindy mencari tahu siapa penelepon penyela makan pagiku. Santy!
Kebetulan. Nyonya Doni ini pasti ingin mengucapkan selamat ultah pada nyonyaku.
“Halo Santy. Apa kabar?”
“Baik. Kalian gimana? Baik-baik juga, kan? Eh, mana Cindy?”
“ Dia lagi di kamar mandi. Mo ngasih kado ya?”
“ Ga. Mo nagih kredit. Heheee, kadonya gampang, kalo kalian ke sini. O iya, elo sendiri, ngasih kado apa buat Cindy?”
Momen yang tepat, batinku.
“ Gue merangkai kata-kata indah. Itu, seperti yang Doni lakuin ke elo,” terangku seraya beringsut menuju ruang tamu. Lebih menjauh dari kamar mandi.
“ Jadiii, elo jangan cerita ke Cindy ya, San. Ntar kurang seru!” lanjutku. Meski mungkin, membersit rona tersipu di wajahku.
“Aiiihh Duff, gue udah cerita ke diaa!” Suara Santy menjerit tertahan di seberang sana.
Keningku berkerut. Masa Doni ga bisa memegang komitmen tidak cerita pada Santy?
“ Gue kan ultah dua bulan yang lalu. Waktu itu Cindy nanya ke gue, Doni kasih hadiah apa? Ya gue ceritaiinn.”
Mamamia! Mengapa hal ini tak terpikirkanku sebelumnya?
Olala! Aku cuma bisa manyun seraya berteriak di hati," Maank enaaakk!!"
*****
PS: Spesial to My Sweetheart, mmmuuahh...
- SAMMY SIGA's blog
- Login to post comments
- 4158 reads