Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Nicho Si Preman Bego - 1
Lagu dangdut masih mengalun dari warung sebelah, jalanan masih terik dan berdebu, dan aku masih mendengar satu kisah tentang seorang manusia dari pinggiran jalan.
Aku memperhatikan ruangan kecil tempat kami duduk yang hanya berukuran 3×4 meter itu. Kusam, berdebu, sarang laba-laba di pojok ruangan, botol semir rambut, sapu, pengki, perlengkapan salon yang tak beraturan, ditambah alunan lagu dangdut dari warung sebelah.
Huhhh… aku menghela nafas panjang saat memasukinya… sebuah salon murahan daerah pinggiran, yang tentu saja bukan tempat yang menyenangkan untuk dikunjungi di terik tengah hari seperti ini.
“Ayolah mbak… ikut aku main ke rumah Ridwan… ku kenalkan kamu padanya…” rayu Nicho beberapa hari sebelumnya
Hari ini, aku akhirnya mengabulkan rayuan Nicho dan mengajak Arie.
“Halooo… kenalkan … saya Ridwan …” sapa seorang pria dengan senyum lebar
“Saya Iik, dan ini Arie…” sambutku
“Mereka temanku bang… ” sahut Nicho cepat
“Iyalah… kalau kami bukan temanmu… mana bisa kami datang ke sini bersamamu…” tukasku sambil nyengir
“Ha ha ha… ” tawa Ridwan renyah sambil mempersilahkan kami duduk
Aku memperhatikan pria di hadapanku. Kulit coklat, tegas, mata yang bersinar tajam, bentuk tubuh atletis, sepertinya tidak terlalu tepat untuk berada di tempat seperti ini.
Seandainya saja pria ini memakai pakaian yang lebih bersih, rapi, sepatu dan minyak wangi, aku berani bertaruh, 8 dari 10 wanita akan terkentut-kentut mengejarnya.
“Sudah lama punya salon ini Bang?” tanyaku memulai pembicaraan
“Ya begitulah… mungkin sekitar 20 tahun…” jawab Ridwan
“20 tahun??” ulang Arie sambil mendelik
“Hehhhh… kamu itu!” senggolku ke pinggangnya
“Ha ha ha… iya… saya ini orang rantau dari desa… eh… Nich… rambutmu itu jelek sekali… sini abang potong ya…” kata Ridwan
“Ehhhhmmmm….”
“Sudahlah tidak apa-apa… gratis” hiburnya
“Sambil ngobrol ya…”
“Saya itu sebenarnya kaget sekali waktu kapan hari itu ketemu Nicho mbak… dia sangat berubah!” kata Ridwan sambil mengelus rambut Nicho
“Oya?” tanyaku
“Iya… saya ‘kan kenal betul anak ini, sejak ingusan, jadi bandit, bajingan, bangsat, sampai waktu saya ketemu minggu lalu, saya benar-benar tidak menyangka… rambutmu ini dipotong dan nanti diwarna ya…”
Ridwan terlihat sangat perhatian dengan rambut Nicho yang terlihat acak-acakan.
“Jadi, dia ini dulu beneran bandit ya bang?” tanya Arie
“Iya mbak… uh! Kalau saya mau cerita…. dia ini kan’ punya geng nakal di sini. Berantem, nyopet, njambret, nodong… mabok, judi, hih! Bocah kok nakal ga karuan!!”
“Tapi sekarang udah berubah to bang…” sahut Nicho
“Iya itulah … aku heran lho Nich… ini bener kamu nggak? Ha ha ha ha…” tawa renyah Ridwan kembali terdengar
“Iyo ini aku to bang…. kamu masih ingat nggak bang… aku ini kan jagoan di daerah sini….” kata Nicho
“Jagoan tapi bego!!” potongku
“Ha ha ha ha … iyo bener mbak!!”
“Masak jagoan geng tawur kok selalu salah nodong orang?” ejekku
“Ceritane piye itu Nick?” tanya Arie
Ruangan kecil dan kusam itu terasa sedikit berwarna saat kami mulai tertawa, dan melempar ejekan. Jemari lincah Ridwan terlihat lincah di rambut Nicho, mengelus, menggunting dan menyisir.
Lagu dangdut masih mengalun dari warung sebelah, jalanan masih terik dan berdebu, dan aku masih mendengar satu kisah tentang seorang manusia dari pinggiran jalan.
~bersambung~
gambar : google
- iik j's blog
- Login to post comments
- 3729 reads