Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
My First Blog : At Last !
Setelah menjadi anggota SS selama 39 minggu 1 hari, akhirnya saya mengunggah tulisan saya yang pertama. Mengapa harus menunggu lama? Sebab…..ah rasanya jangan ditulis sekarang, lumayan buat cadangan tema untuk lain kali
Lebih baik saya tunjukkan saja satu corat-coret yang saya buat di buku catatan saya,
Emosi
aku pernah marah
aku belum pernah murka
saat ini lebih daripada murka
kau pernah marah?
jangan kau murka
apalagi lebih
mengerikan!
mata menjadi buta
telinga tuli
mulut menyumpah seribu kata
yang bahkan belum pernah terdengar
jantung berdetak kencang
tapi raga telah mati
ditelan murka
aku tidak marah
juga tidak murka
saat ini lebih daripada murka
mengerikan!
lebih daripada mengerikan!!
aku tidak ingin marah
aku tidak ingin murka
lebih tidak ingin lagi aku: mendendam
so help me god.....
Mengapa saya menulis itu?
Bila seseorang diperalat dan dipermainkan oleh orang lain sangatlah wajar bila ia menjadi kesal. Ya, itu adalah sebuah reaksi yang sangat manusiawi. Dan itulah yang terjadi pada diri saya lima tahun yang lalu. Saya diperalat dan dipermainkan oleh seseorang yang memiliki kedudukan sangat terhormat: istri seorang pendeta sebuah gereja di Jogja!
Ketika itu saya sedang menyelesaikan suatu kepentingan yang secara hukum adalah sah menjadi hak saya. Meskipun secara legal formal saya tidak memiliki kewajiban untuk kulonuwun kepada Ibu tersebut, namun secara etika saya merasa harus melakukannya. Berkali-kali saya datang ke rumahnya, namun kok ya selalu kebetulan bahwa beliau sedang ada urusan penting. Hal itu berlangsung selama kurang lebih dua bulan. Akhirnya ketika terakhir kali saya tidak berhasil bertemu beliau sebab y.b.s berada di Singapura maka saya memutuskan untuk setidak-tidaknya menyelesaikan dahulu administrasi yang diperlukan.
Beberapa hari kemudian, salah seorang pegawai beliau mampir ke rumah dan mengatakan bahwa ia datang untuk menyampaikan titipan dari Ibu Pendeta. Ia lalu menyerahkan sebuah amplop putih yang lumayan tebal yang saya terima dengan sumringah.
Namun sukacita saya tidak berlangsung lama. Setelah amplop itu saya buka, ternyata isinya hanya sepertiga dari jumlah yang seharusnya saya terima. Saya mencoba berpikir positif dan pergi menemui beliau untuk mendapat penjelasan. Coba tebak apa yang terjadi? Tiba-tiba beliau kembali sibuk mengerjakan inilah…itulah….dan tidak dapat saya temui. Hati saya mulai panas.
Pada titik inilah pergulatan hebat terjadi dalam hati saya. haruskah saya menampar balik kejahatannya kepada saya? Meski bukan lulusan Sekolah Minggu dan tidak memiliki titel gerejawi yang mentereng saya namun saya telah lebih lama hidup dalam nafas Kekristenan daripada Ibu Pendeta tersebut, saya paham dan tahu hukumnya bahwa dalam kasus semacam ini seorang Kristen harus menyerahkan pipi kirinya.
Hanya saja saya menemukan lebih banyak alasan untuk menyerang balik.
Pertama, telah berbulan-bulan saya “dikerjain” dan tetap sabar, serta tidak sedikitpun kehilangan rasa hormat terhadap beliau. Namun kali ini kelakuannya telah melewati batas. Selain tidak menghargai saya yaitu dengan jalan selalu menghindar untuk bertemu, beliau juga merampok saya. Wong, Daud saja ketika merampok Uria dihukum kok. Adakah perempuan licik ini lebih besar daripada Daud?
Kedua, selama saya mengenal beliau dan suaminya, saya sering mendengar keluh kesah dari orang-orang mengenai kesewenang-wenangan dan kelakuan busuk mereka. Kini saya tidak hanya mendengar gosip melainkan menjadi salah satu korban kelicikan mereka. Untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban, ia harus dibuat jera. Kebetulan saya memiliki bukti dan tahu cara menggunakannya sehingga pijakan saya sangat kuat. Bila tidak sekarang, kapan lagi?
Ketiga, mereka adalah orang-orang dursila seperti anak-anak Eli. Mereka telah mencemarkan kekudusan nama Tuhan dengan menjadi pelayan-pelayan yang jahat. Bila anakanak Eli dihukum mengapa pula yang dua ini boleh lolos?
Senafas dengan yang ditulis Edgar Allan Poe dalam ‘Tong Amontillado’:
Seribu luka yang disebabkan oleh Fortunato kutanggung sekuat aku mampu menanggungnya, namun ketika ia berani melecehkanku, aku bertekad melakukan pembalasan. …… Aku akan melakukan pembalasan dengan teliti dan sabar; dan ini harus dilakukan dengan sangat tenang – betul-betul tenang sehingga aku terbebas dari segala resiko. ……
maka saya mulai menyusun suatu rencana untuk melakukan pembalasan.
Dalam proses merencanakan langkah-langkah pembalasan ini saya mulai gamang. Apakah yang saya lakukan adalah perbuatan benar? Saya tidak tahu, tapi saya memiliki 3 alasan hebat untuk membenarkannya. Apakah yang saya lakukan adalah perbuatan salah, sebab menampar balik bukanlah tindakan yang Kristiani? Saya tidak (mau) tahu! 14 Mei 2004 saya menulis deretan kalimat pembuka dari tulisan ini, meminta Tuhan meneguhkan hati saya dalam kebenaranNya.
Tapi nampaknya saya lebih senang meneruskan rencana saya, karena itu langkah pertama segera saya lakukan. Saya mengirimi Ibu Pendeta tersebut sepucuk surat peringatan. Memang saya mengatakan kepada diri sendiri, bila beliau mengindahkan surat saya dan menyadari kesalahannya maka saya akan berdamai. Tetapi mungkin karena saya tidak mengharapkan hal itu, yaitu bahwa somasi saya beliau tanggapi dengan positif maka saya membuatnya dalam format yang cukup sadis dan kemungkinan besar justru memancing kemarahannya. Dalam hal ini, yaitu bila beliau menjadi marah, saya sudah ¾ memenangkan perkara. Cukup licik, ya?
7 bulan kemudian, tepatnya tanggal 14 Desember 2004 pergulatan hebat kembali terjadi dalam hati saya. Bedanya kali ini saya mendapati lebih banyak alasan untuk just forgive and forget. Yang paling utama adalah bahwa bila saya melakukan kesalahan maka saya juga menghendaki untuk dimaafkan.
Allah menciptakan manusia yang jujur, tetapi mereka mencari banyak dalih. (PKH 7:29)
Kemudian saya justru menjadi malu setelah menengok ke belakang dan mendapati betapa sesatnya hati dan pikiran saya waktu itu. Benar-benar mengenaskan bahwa saya telah merumuskan dalih pembenaran atas ketidaktaatan saya!
Pertama, telah berbulan-bulan saya “dikerjain” dan tetap sabar, serta tidak sedikitpun kehilangan rasa hormat terhadap beliau. Namun kali ini kelakuannya telah melewati batas. Selain tidak menghargai saya yaitu dengan jalan selalu menghindar untuk bertemu, beliau juga merampok saya. Wong, Daud saja ketika merampok Uria dihukum kok. Adakah perempuan licik ini lebih besar daripada Daud?
Sejak awal saya tahu bahwa dalam hal ini saya harus merelakan bukan hanya pipi kanan namun juga pipi kiri. Tapi memang saya mencari banyak dalih agar saya dapat meminta mata sebagai ganti gigi.
Kedua, selama saya mengenal beliau dan suaminya, saya sering mendengar keluh kesah dari orang-orang mengenai kesewenang-wenangan dan kelakuan busuk mereka. Kini saya tidak hanya mendengar gosip melainkan menjadi salah satu korban kelicikan mereka. Untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban, ia harus dibuat jera. Kebetulan saya memiliki bukti dan tahu cara menggunakannya sehingga pijakan saya sangat kuat. Bila tidak sekarang, kapan lagi?
Ini dalih yang dan tidak tulus sebab no man may judge in his own causa. Saya tidak hendak mencegah timbulnya korban di masa depan, sebab memang saya hanya ingin mendapatkan mata sebagai ganti gigi.
Ketiga, mereka adalah orang-orang dursila seperti anak-anak Eli. Mereka telah mencemarkan kekudusan nama Tuhan dengan menjadi pelayan-pelayan yang jahat. Bila anak-anak Eli dihukum mengapa pula yang dua ini boleh lolos?
Ini yang paling mengenaskan, saya mendeklarasikan “perang suci” sedangkan tujuan sebenarnya hanya untuk merampok mata sebagai ganti gigi.
Saya tahu bahwa saya harus memaafkan sebab saya telah terlebih dahulu diampuni. Dan itulah yang saya lakukan.
Beberapa minggu kemudian saya bertemu dengan kawan saya. Rupanya ia mengetahui permasalahan yang saya hadapi dan menawarkan bantuan dengan mengatakan bahwa ia dan beberapa kawan lain bersedia menjadi representasi saya.
Terhadap tawaran yang murah hati itu saya hanya punya satu jawaban: case closed!
Audi partem alteram. Hear the other side. Dengarkanlah kedua belah pihak.
- BenKaizara's blog
- Login to post comments
- 4009 reads
@ben : let go...
Yang penting kamu sudah menyampaikan "maksud"mu ke mereka.
selanjutnya, LET IT GO... sudah biarin saja...
uang gampang dicari... gak perlu dicari malah...
Jesus Freaks,
"Live X4J, Die As A Martyr"
-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-
Jesus Freaks,
"Live X4J, Die As A Martyr"
-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-