Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Metonimia
"Bu, ada rinso lima ratusan?"
"Rinsonya apa?"
Hati berkata, Rinso, ya rinso!
Kutahan, mulut ini menjawab, "Rinso."
Sebulan ini tidak lagi mengantar pakaian ke laundry--kadang tidak yakin namanya laundry--cukup murah, hanya lima ribu rupiah untuk lima kilo bila basah. Tidak masalah, ada jemuran di belakang rumah. Bila sekarang mencari rinso, bukan karena detergen ini "bisa mencuci sendiri", tetapi inilah yang kukenal sejak kecil.
"Sama Molto," lanjutku.
So Klin Pewangi pun berpindah tangan.
Tidak masalah, kadang aku tidak peduli merek. Seringkali pakaian itu menginap di kamar mandi. Pengalaman berkata, apapun mereknya, setelah duapuluh empat jam, pewangi sangat membantu.
***
Biasanya, kejadian di warung seperti itu kulupakan begitu saja. Entah mengapa, kali ini aku memikirkannya.
Aku cukup akrab dengan pemberian nama barang karena mereknya. Sering membicarakannya. Kadang menelusuri asal-usul pemberian nama. Ayah yang kadang sedikit sok tahu, sepertinya selalu punya jawaban. Contohnya odol, menurut cerita, sebelum ada dent-dent itu, ada pasta gigi bermerek Odol.
Ia juga bercerita tentang kodak. Benda hitam berbentuk kotak yang di bagian depannya ada bundaran menonjol. Ada tulisan Kodak di atas bulatan hitam itu. Sampai sekarang, dalam bahasa kami, bakodak berarti berkodak, 'bergaya di depan kamera'.
Pemuda kampung juga suka bergaya di jalan depan rumah dengan jeans. Walaupun di atas kantong belakang itu tidak ada tulisan Levi's, tetap saja namanya celana levis. Jeans murahan yang dalam seminggu warna birunya sudah memudar. Kepala mereka sedikit mendongak, dengan rambut licin mengkilap karena kamade, bahasa kami untuk pomade. Kampung tetap kampung. Celana boleh jeans, baju boleh dari kain berjenis sama, tetapi ada yang tidak berubah, sandal swallow. Nama lain sandal jepit.
Begitulah cara kami menamakan barang, berdasarkan mereknya. Tentunya merek terkenal atau pertama kali muncul. Ternyata bukan hanya kampung kami yang melakukannya. Ilmu bahasa mencatat, cara pemberian nama seperti ini sebagai salah satu gaya bahasa atau majas.
Ada empat gaya bahasa, perbandingan, pertentangan, pertautan dan perulangan. Cara pemberian nama karena mereknya ini termasuk gaya bahasa pertautan. Namanya metonimia, gaya bahasa untuk meningkatkan efek dengan memperkenalkan atau membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan yang lebih umum.
Tanpa sadar, orang memakainya dalam kehidupan sehari-hari. Pengarang suka menulis, "Wajahnya pucat seperti bulan purnama." Orang setengah kaya suka merendah dengan "Singgahlah di gubuk reotku ini". Itu gaya bahasa, tetapi hanya orang-orang tertentu yang suka menggunakannya. Metonimia--dari kata Yunani meta, yang artinya bertukar dan onym yang artinya nama--orang menggunakannya tanpa sadar ketika berkata, "Ia tadi kesini naik kijang."
***
Jogja, tidak bisa kulupakan kota ini. Ada sejenis angkutan umum jelek di sana. Mobil tua bersuara keras dan berasap tebal yang spidometernya hanya berupa lingkaran bolong. Dari arah Prambanan berhenti di Janti, membakar penumpang belakang dengan matahari. Di Bundaran UGM, kernetnya berteriak, "Prambanan kosong... Prambanan kosong...," lalu bila sampai di Magowo, ia melompat sambil berteriak "Kosong... kosong..."
Paling tidak, sepuluh menit menunggu di sana.
Tulisan Colt itu sudah banyak yang hilang dari pintu depan. Anehnya, semua orang kelihatan tahu, nama angkot ini Colt. Pernah kudengar orang Ambon mengejek temannya yang asli Bantul. Hanya percakapan biasa, komentar iseng karena kol yang bisa dinaiki. "Di Ambon, kol hanya bisa dimakan," katanya
Metonimia begitu akrab dalam kehidupanku. Ada supermi, blueband, aqua, honda, pepsodent, pampers, jeep, majig jar, ajinomoto, remason, salonpas, dan lain-lain.
Lalu majas ini masuk dunia komputer.
In Focus, sepupuku menelpon, memintaku membantunya dengan powerpoint untuk disertasi.
"Tolong ya, soalnya aku mau pakai In Focus."
Bersyukur tidak ada 3G. Kalau ya, ia melihat sebuah senyum simpul.
Lalu ia melanjutkan, "Atau aku yang ke tempat kamu, aku hanya tinggal bawa USB."
***
"Ikannya apa?"
Pertanyaan aneh. Baru saja aku tahu ada ada warung yang nasi dan lauknya boleh ambil sendiri. Kalau di kampungku, warung seperti ini pasti bangkrut dalam seminggu. Di 'etalase', ada ayam, telor, tempe dan pasangannya, tahu. Juga ada sayur.
Sama sekali tidak ada ikan.
"Ayam satu, paha," jawabku. "Tempenya tiga."
"Minum?"
"Teh es."
"Tambah es teh, jadinya empat ribu."
Baru setelah dua minggu, aku menyadari, ikan artinya bisa ikan ayam, ikan babi, bahkan bisa juga ikan tempe ataupun ikan tahu.
Juga bisa ikan sayur.
Metonimia, tidak ada yang salah, hak orang untuk memberi nama pada sebuah barang. Keuntungan tambahan hanya bagi perusahaan yang merek barangnya sekaligus menjadi nama barang. Orang melakukannya secara alami.
Mukaku pernah merah karena metonimia ini, tepatnya karena pompa air.
Air bak belakang penuh. Aku berteriak dari kamar mandi kos, "Hei! Airnya penuh. Tolong matikan Hitachi-nya."
Terdengar tawa berbarengan.
Mereka menertawaiku, orang kampung pedalaman yang menyebut pompa air listrik sebagai Hitachi. Menurut mereka yang tinggal di Jawa, namanya sanyo.
***
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 6054 reads
HEAHEAHEAHEA...
Pas mo beli AQUA... saya juga ngomong ke yang jual mo beli AQUA.
Trus dikasi nya VIT, trus saya bilang...lho saya mo beli AQUA.
Yang jual ngomong lagi, ya itu AQUA nya.
Saya bilang lagi, saya mau nya yang AQUA...
Yang jual bilang lagi, ohhhhh.. mau AQUA nya yang AQUA toh? bilang dunk dari tadiiii... nihhhhh AQUA nya!!!
Busettttt dari tadi emang aku bilang AQUA toh???? (dalam hati)
'''''' AQUA yang AQUA ????''''''
Pusink aku... tau gitu aku bilang mo beli VIT yang mereknya VIT yah
DAN-DAN
saya suka bebek panggang...
Saya Suka Bebek Panggang...
@AP: sarimi sedap goreng...
Hehe, jadi ingat bro saat pertama datang ke pulau Jawa ini, saat kami baru buka warung. Suatu hari ada yang mau membeli sarimi sedap goreng...
Sudah sarimi, sedap (mie sedap) pula, sempat saya jadi bingung. Selidik punya selidik ternyata itu (sarimi) cuma sebutan orang-orang di tempat tinggal kami untuk mi instan (apapun mereknya)....
Shalom!
(...shema'an qoli, adonai...)
(...shema'an qoli, adonai...)
Kol Kampus
Di Jogja, dulu sebelum ada bis kota oranye milik Kopata, angkutan kota dilayani oleh kol kampus. Disebut demikian karena menggunakan mobil Mitsubishi seri Colt dan semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu kampus UGM. Sampai sekarang sebagian besar rute bis kota di Jogja selalu mengitari kampus UGM.
Setelah ada bis Kopata apalagi Trans Jogja, perlahan-lahan sebutan "kol kampus" mulai menghilang dari kosa kata orang Jogja.
“Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang berkomentar kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.”
Wawan
------------
Communicating good news in good ways
Bebek Panggang, mie, kol
@Bebek Panggang:
Untung minta bebek panggang tidak dapat ayam panggang ya?
@ebed_adonai:
Mie, khususnya indomie, membuat saya merindukan warung "burjo" lagi. Apakah di Magelang seperti di Jogja, selalu ada warung burjo?
@Pak Wawan:
Pak Pur, sudah lama saya tidak ke Jogja, walaupun jaraknya hanya satu jam perjalanan. Terakhir ke sana, Trans Jogja, masih belum jalan, tetapi sudah saya lihat "halte-halte"-nya.
Kol kampus, kami selalu menyebutnya "kol", membuang kata kampus itu. Adik saya yang lebih dulu di Jogja berkata, "Kamu tidak perlu takut tersesat di Jogja. Kalau sudah tahu jalan dari Kalasan ke UGM, dari manapun, kamu tinggal bertanya jalan ke bundaran UGM." Intinya ia berkata, bis apapun, selalu melewati UGM.