Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Mendengar, itu Biasa. Membaca, itu Luarbiasa
Jemaat yang mendengar itu biasa. Kalau ada jemaat yang membaca, itu baru luarbiasa!
Ketika blender belum diciptakan, apa yang dilakukan oleh sang ibu ketika dia akan memberikan makanan padat kepada bayi yang belum banyak tumbuh gigi? Sang ibu akan mengigit makanan padat itu, mengunyah-ngunyah di mulutnya selama beberapa saat. Setelah lembut, barulah dia mengeluarkan makanan dari mulutnya lalu menyuapkannya ke mulut bayi. Bagi orang dewasa itu agak menjijikkan tapi bagi bayi hal itu biasa saja.
Selama berabad-abad, jemaat Kristen itu seperti bayi yang belum bisa mengunyah makanan keras ini. Setiap minggu mereka datang ke gereja untuk mendengarkan pemberitaan firman Tuhan. Mereka mengangakan mulutnya untuk menerima suapan makanan lembek. Beberapa hari sebelumnya, sang pengkhotbah telah mempersiapkan diri dengan membaca firman Tuhan. Ini seperti seorang ibu yang sedang mengigigit dan mengunyah-ngunyah makanan keras. Ketika hari Minggu tiba, sang pengkhotbah nglepeh makanan di mulutnya dan menyuapi mulut-mulut "bayi" yang kelaparan itu.
Ada sebuah gereja yang sudah mulai berusaha agar jemaatnya mengunyah makanan dengan mulutnya sendiri. Gereja ini adalah GKI Sorogenen. Mulai tahun ini mereka menyulap bekas rumah pastori menjadi sebuah perpustakaan dan mengisinya dengan sekitar 3000 judul buku. Ternyata perpustakaan ini mendapat sambutan yang baik dari kemaat. Menurut pengakuan Peni Pramono, yang mengelola perpustakaan ini, setidaknya sekitar 50 judul buku keluar dari rak buku setiap minggunya karena dipinjam oleh jemaat.
Untuk semakin menggairahkan kegemaran membaca buku, maka perpustakaan GKI Sorogenen mengadakan acara bulan buku pada bulan April. Kebetulan pada 23 April juga menjadi penanda Hari Buku Dunia. Klop sudah. Beragam acara digelar untuk memeriahkan Bulan Buku ini. Ada lomba melukis mural, ada bazaar, foto bersama karakter Franklin dan ada pula lomba bercerita. Puncak acara adalah pada hari Minggu, 28 April 2013.
Saya diundang untuk datang pada acara itu untuk menjadi yuri lomba bercerita dengan inspirasi dari buku cerita Franklin si kura-kura. Bersama dengan bu Yulia Oeniyati (pimpinan YLSA) dan ibu Kritiani (Kepala Sekolah TK Widya Wacana). kami diminta menilai penampilan peserta lomba berdasarkan kriteria: Cerita, Penyampaian, dan Kreativitas Alat Peraga. Sebenarnya ada 3 kategori penampil, yaitu anak-anak, remaja dan dewasa. Sayangnya, untuk kategori remaja tidak ada peminatnya. "Mereka sedang sibuk menyiapkan diri untuk mengikuti ujian sekolah," jelas Peni Praomono, yang juga seorang penulis buku serial UKM yang diterbitkan oleh Gramedia ini.
Para peserta sudah mengikuti audisi seminggu sebelumnya sehingga tersaring 3 orang dari masing-masing kategori. Ketiganya jelas akan menjadi pemenang. Penampilan pada hari itu untuk menentukan peringkat kejuaraannya. Peserta bergantian tampil secara berselang-seling antara anak-anak dan dewasa.
Dari kategori anak, ketiga peserta tampil dengan cukup percaya diri. Mereka menggunakan alat peraga sederhana seperti peluit dan celengan. Anak yang tampil terakhir sebenarnya menggunakan alat peraga yang paling menarik. Dia mengenakan benda semacam batok kura-kura. Lalu ada tim pendukung yang menghembuskan gelembung-gelembung sabun. Namun sayangnya, karena gugup, anak ini malah lupa jalannya cerita. Meskipun sudah dibantu dari samping panggung, namun penceritaan tak lancar jua.
Kompetisi untuk kategori dewasa berlangsung sangat seru. Kekuatan mereka cukup merata sehingga yuri kesulitan menentukan pemenangnya. Ketatnya persaingan ini terlihat dari selisih angka antar pemenang yang terpaut tipis. Berikut ini rekaman video penampilan juara pertama kategori dewasa.
Usai lomba, saya menengok sebentar ke perpustakaan GKI Sorogenen. Setelah itu diajak oleh cik Peni untuk melihat calon lokasi perpustakaan di lantai atas. Wow!!! Ruangannya sangat besar. Sayangnya udaranya terasa panas karena berada langsung di bawah atap. Saya khawatir pengunjung tidak betah berlama-lama membaca buku dalam kondisi kegerahan. Hal ini perlu dipikirkan solusinya oleh ci Peni, ci Debora dan ci Joli.
Dalam perjalanan pulang, saya merasa salut dengan upaya dari teman-teman GKI Sorogenen. Sekaligus juga merasa iri. Kapan ya GKI Klaten memiliki perpustakaan dengan koleksi yang lengkap dan nyaman. Kalau bisa sih bisa senyaman di perpustakaan GKI Samanhudi ini.
Kalau kita menghendaki kerohanian jemaat bertumbuh, maka kita harus membiasakan mereka untuk mengunyah makanan mereka sendiri. Setelah mereka bisa mengunyah dan mencerna makanan rohani, maka prosesnya tidak berhenti di sini. Langkah selanjutnya adalah menularkan hasil perenungan dan pengetahuan yang baru saja didapatkannya itu kepada orang lain. GKI Sorogenen sudah memulainya dengan membuat lomba bercerita. Ini adalah sebuah langkah maju karena jemaat mulai bergeser dari orang-orang yang mengkonsumsi pengetahuan/hiburan, menjadi jemaat yang memproduksi pengetahuan/hiburan. Semoga setelah ini dari GKI Sorogenen muncul orang-orang yang memproduksi informasi, yaitu sebagai penulis-penulis baru.
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- Login to post comments
- 5427 reads
Si franklyn