Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Menanggapi Kritik
MENANGGAPI KRITIK
Bagaimana respons kita pada saat :
- Seorang rekan sekerja mempertanyakan pilihan baju yang kita pakai?
- Seorang teman menantang motivasi kita membuat rencana memulai proyek baru penginjilan?
- Pasangan kita mengekspresikan ketidak-senangannya terhadap perilaku kita ketika rekreasi bersama keluarga?
Apakah kita akan menganggap komentar-komentar seperti itu sebagai hal yang mengganggu, lalu kita bereaksi dengan kesal, bahkan dengan marah? Rasanya pasti sulit sekali ya mendengar orang mengatakan kita salah? Sadar atau tidak sadar ego kita akan mendorong kita untuk membela diri. Padahal cara kita menanggapi kritik itu merupakan ukuran bagaimana sebenarnya hubungan kita dengan Tuhan lho.
Yuk, kita belajar bagaimana menanggapi kritik dengan benar. Jika kita bereaksi dengan benar terhadap koreksi dengan orang lain, pasti hal itu juga akan membantu pertumbuhan rohani kita.
Bagaimana kita menanggapi kritik? Mungkin masing-masing orang berbeda. Ada yang menanggapinya dengan baik, ada juga yang menanggapinya dengan kurang baik.
Di sini kita tidak sedang membicarakan apakah kritik itu benar atau tidak, siapa yang menyampaikannya, atau bagaimana kritik itu disampaikan. Kritik bisa saja disampaikan secara sangat kasar dan eksplisit banget oleh seseorang yang iri dan dengki kepada kita, bisa juga datang secara lembut atau samar-samar tidak jelas oleh orang yang takut menyinggung perasaan kita, namun itu semua ga penting. Tidak jadi soal dari mana sumbernya, bagaimana cara disampaikannya, apakah kritik itu benar atau salah, tapi yang penting di sini bagaimana kita MENANGGAPI kritik itu.
Sebenarnya kritik itu bukan sesuatu yang luar biasa dalam kehidupan kita. Alkitab dengan jelas mengatakan, bahwa kritik adalah bagian yang biasa. Dalam kitab Amsal berulang-ulang kita dinasehati untuk merenungkan kritik, dan merenungkannya dengan cara yang benar. Sebab mungkin saja ada pelajaran yang dapat kita petik dari sana.
Siapa mengindahkan didikan, menuju jalan kehidupan, tetapi siapa mengabaikan teguran, tersesat.
(Amsal 10:17)
Keangkuhan hanya menimbulkan pertengkaran, tetapi mereka yang mendengarkan nasihat mempunyai hikmat.
(Amsal 13:10)
(Berarti kalau ada pertengkaran, di situ pasti ada yang angkuh yaa?)
Orang yang mengarahkan telinga kepada teguran yang membawa kepada kehidupan akan tinggal di tengah-tengah orang bijak. Siapa mengabaikan didikan membuang dirinya sendiri, tetapi siapa mendengarkan teguran, memperoleh akal budi.
(Amsal 15:31-32)
Membenarkan orang fasik dan mempersalahkan orang benar, kedua-duanya adalah kekejian bagi TUHAN.
(Amsal 17:15)
(Daripada kita terbalik-balik seperti ini, lebih baik kita ga buru-buru menyalahkan (biasanya orang lain) atau membenarkan (biasanya diri sendiri. Kalau ternyata orang lain yang benar dan kita sendiri yang salah, wah, kekejian bagi TUHAN !)
Dan yang paling ngeri tuh ini :
Siapa bersitegang leher, walaupun telah mendapat teguran, akan sekonyong-konyong diremukkan tanpa dapat dipulihkan lagi.
(Amsal 29:1)
Mengapa sih orang sering menanggapi kritik dengan sikap negatif?
Ada 3 hal yang membuat kita cenderung menanggapi kritik dengan keliru, yaitu :
1. Citra diri yang buruk
Gambar diri yang rusak, harga diri yang rendah, kerusakan emosional entah akibat perlakuan orang tua atau akibat lainnya (--> inferiority complex?), sehingga kita merasa tidak layak dan tidak diterima.
Ketika seseorang mempunyai citra diri yang buruk dan tidak dapat memenuhi pengharapannya sendiri, merasa tidak dapat memenuhi pengharapan Allah, merasa tidak sanggup memenuhi pengharapan orang lain, maka ketika orang mengritiknya, sulit sekali baginya menerima kritik itu. Sebab biasanya dia akan memasukkan kritik tersebut ke dalam hati, dan menganggap orang mengritik pribadinya, padahal seringkali orang hanya mengritik metode/caranya dalam melakukan sesuatu. Mungkin sesuatu yang telah dia kerjakan yang pantas dikoreksi, akan tetapi dia tidak dapat menerimanya. Dia menganggap semua kritik itu adalah ancaman pribadi terhadap karakternya. Padahal seringkali orang yang mengritik itu justru bermaksud membantu menguatkannya, membantunya mengubah sesuatu dalam kehidupannya, namun dia sering tidak sanggup menghadapinya. Kerusakan emosionalnya sedemikian sedemikian rupa, sehingga kritik dalam bentuk apapun dianggapnya sebagai ekspresi penolakan terhadap dia sebagai sebuah pribadi. Ujung-ujungnya dia akan terhambat dalam seluruh aspek kehidupan ini.
Gambar diri yang rusak atau emosi kita yang sedemikian rusaknya akibat sesuatu yang dahulu terjadi akan membuat kita tidak sanggup menerima kritik, dan bila kita ingin bertumbuh secara rohani, kita perlu membereskannya. Gambar diri perlu dipulihkan. Luka-luka batin disembuhkan, dan kita perlu melepaskan pengampunan terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain agar tidak menyimpan kepahitan yang bisa mendatangkan kerusakan lebih parah. Tidak ada manusia yang sempurna. Semua orang pasti membuat kesalahan dan kita semua membutuhkan seseorang untuk menunjukkan bidang-bidang kehidupan kita yang perlu diubah atau diperbaiki. Jadi kita memerlukan koreksi (baca : kritik) dari sesama.
2. Sikap kita yang perfeksionis dalam kehidupan.
Perfeksionis di sini bukan berarti kita melakukan segalanya dengan sempurna, melainkan karena kita sedemikian diperbudak oleh pengharapan / tuntutan yang tinggi, standar yang bahkan tidak diharapkan oleh Allah sekalipun. Sehingga kita tidak mungkin memenuhinya dan pasti akan banyak mengalami kegagalan. Akibatnya ketika kita dikritik, kita menganggapnya sebagai suatu ancaman pribadi.
3. Kesombongan (keangkuhan).
Orang yang sombong sering terasa sebagai orang yang ”gengsinya tinggi”, ”suka mempertahankan hak”, ”suka mempertahankan harga diri”, ”egonya besar”, ”gampang tersinggung”, ”sukanya mengritik, tapi diri sendiri tak suka dikritik”. Pokoknya sedemikian tinggi dia memandang dirinya sendiri, merasa sama baik atau bahkan lebih baik daripada orang lain, sehingga tidak mungkin ia membuat kesalahan dan tidak mungkin dikritik, entah kritik itu benar atau tidak.
Biasanya campuran ketiga hal di atas (terserah yang dominan yang mana) menyebabkan orang menanggapi kritik secara keliru.
Nah, apa dong akibatnya kalau kita bereaksi secara negatif terhadap kritik? Paling tidak ada ada 3 kerugian yang kita bakal derita :
1. Reaksi negatif kita terhadap kritik itu akan membatasi potensi kita, baik secara mental, emosional, maupun rohani.
Kalau kita tidak sanggup menerima koreksi, hal itu sama saja dengan kalau kita tidak sanggup menerima ide yang lain daripada ide kita sendiri. Orang yang tidak sanggup menerima kritik tidak mungkin bertumbuh secara rohani. Dia tidak sanggup mengasihi siapapun. Dia tidak tahu caranya bagaimana menyatu dengan orang lain secara emosional, sebab dia takut gagal, takut dikritik, sehingga dia tidak sanggup mengasihi siapapun. Demikianlah pertumbuhan rohaninya akan terbatas. Sebab, kalau kita merenungkannya, ketika Allah meyakinkan kita akan dosa kita melalui Roh Kudus, Ia mengritik kita, mengevaluasi sikap dan perbuatan kita, dan mengatakan: ”Itu tidak benar”. ”Itu perlu diubah”. ”Sikapmu itu perlu dibuang”. Akan tetapi karena kita tidak sanggup menerima kritik, kita membatasi pertumbuhan rohani kita sendiri.
2. Kita tidak akan pernah menemukan seperti apa kita sesungguhnya.
Ya, kita tidak mengenal siapa kita sebenarnya. Yang kita kenal hanyalah citra diri yang kita paksakan pada diri kita sendiri, menurut cara pandang kita sendiri, bukan yang sesungguhnya. Sebab kita tidak sanggup menerima sudut pandang lain mengenai diri kita, tidak sanggup menerima perspektif lain yang mungkin lebih akurat dan lebih bijaksana tentang diri kita. Maka pertumbuhan rohani kita akan terbatas. Pandangan kita akan terbatas. Padahal orang lain mungkin memandang kita dengan lebih obyektif, yang berarti kita justru membutuhkan kritik yang membangun, untuk mengubah dan mengoreksi hal-hal yang perlu kita ubah atau perlu kita koreksi. Pernahkah kita melihat muka kita tanpa cermin? Nah, Tuhan menciptakan sesama untuk menjadi ”cermin” bagi kita.
3. Kita justru lebih banyak membuat kesalahan.
Seringkali kesalahan-kesalahan yang mahal sebab kita tidak mau menerima ketika orang menasehati : ”Pendekatanmu tidak bijaksana. Kamu bisa melukai dirimu sendiri maupun orang lain.” Demikian banyak orang yang kehilangan bisnisnya, kehilangan pekerjaannya, kehilangan hubungan-hubungannya, kehilangan keluarganya, hanya karena mereka tidak sanggup menerima fakta, bahwa ada sesuatu yang mungkin orang lain lebih tahu, sebab hal itu mereka artikan sebagai suatu ketidak-memadaian diri mereka sendiri. Padahal setiap orang perlu dikoreksi sesekali, termasuk koreksi Roh Kudus melalui orang lain.
Coba kita renungkan : kita senang ketika Roh Kudus mengasihi kita melalui orang lain. Akan tetapi kita tidak senang ketika Roh Kudus mengritik atau menegur kita melalui orang lain, padahal Allah seringkali memakai musuh kita untuk menghentikan kita agar kita mengevaluasi kehidupan kita.
Dengan perkataan lain, orang yang tidak sanggup menerima kritik, entah kritik itu benar atau tidak, entah dari mana sumbernya, entah disampaikan secara kasar atau lembut, akan membatasi dirinya dalam hubungannya dengan sesama, dalam hubungannya di tempat kerja, dalam keluarganya, dalam segala aspek kehidupannya. Sehingga dia akan rugi sendiri.
Mengingat semuanya itu, terlepas dari entah kritik itu benar atau tidak, dari mana sumbernya, disampaikan secara kasar atau lembut, semoga kita semua mengambil keputusan untuk meresponi kritik dengan bijaksana. Tidak langsung membela diri atau mencari orang lain untuk disalahkan ketika kita dikritik. Sebab itu bukan cara untuk menanggapi kritik dengan bijaksana, yang bermanfaat bagi kita sendiri.
Ketika kita mendengar kritik, terutama yang terasa menyakitkan , tanyakan kepada diri sendiri : ”Apa mungkin ini benar?” Sikap seperti itu menunjukkan kesediaan diri kita sendiri untuk belajar. Kalau kita mau bertumbuh secara rohani, kita mutlak harus memiliki sikap mau belajar dan diajar : ”Mungkin saja saya memang keliru. Apakah saya perlu menelaah bidang kehidupan tertentu? Apa yang sesungguhnya ingin disampaikan kepada saya? Apa yang sesungguhnya ingin difirmankan oleh Allah kepada saya?”
Kita perlu membuka hati. Tidak langsung menolak. Tidak mempertanyakan motif orang yang mengritik kita, melainkan bertanya : ”Ya Allah, apa yang sesungguhnya ingin Engkau firmankan kepada saya? Apa saya perlu mempertimbangkan hal ini?” Selain itu ada baiknya kalau kita juga mau melihat karunia orang yang mengritik kita. Misalnya bila saya sedang menata sesuatu dan seseorang mengatakan :”Urutannya bukan demikian, seharusnya begini.” Ada baiknya kalau saya merenungkan apa mungkin orang ini lebih dikaruniai dalam soal menata. Kalau memang benar demikian, wajar bila dia melihat cara penataan yang lebih baik daripada saya. Atau misalnya saya melihat seseorang yang membutuhkan bantuan namun saya merasa tidak perlu lagi membantunya karena saya pernah membantunya. Seseorang yang mempunyai karunia pelayanan mungkin akan menegur saya : ”Apa kamu tidak mau membantunya lagi?” Sebab sadar atau di bawah sadar karunia seseorang akan mepengaruhi sikap-sikapnya.
Akhirnya, motivasi yang melandasi ucapan atau perbuatan kita adalah karunia Allah kepada kita masing-masing. Jadi kalau kita mau menanggapi kritik dengan bijaksana, tanyakan dulu : apa mungkin orang ini lebih dikaruniai dalam hal ini , sehingga wajar bila ia mengoreksi saya? Respons yang paling bijaksana adalah : ”Terima kasih atas masukannya. Saya menghargai masukan Anda dan saya akan mempertimbangkannya. Apakah ada lagi masukan yang akan Anda berikan kepada saya?” Hal itu menunjukkan, bahwa kita telah membuka pintu hati dan pikiran kita lebar-lebar tanpa menjanjikan bahwa kita akan mengikuti setiap sarannya, dan tanpa menghakimi apakah koreksinya itu benar atau salah, sehingga orang yang akan mengritik itu pun akan bingung sendiri ketika kita bertanya : ”Ada lagi masukan yang ingin Anda berikan kepada saya?” Dan mau atau tidak mau dia akan mengakui bahwa kita terbuka, mau bertumbuh, mau belajar. Bersedia dikoreksi sehingga kita menjadi individu seperti yang Allah kehendaki.
Bila kita rela mempertimbangkan apapun masukan orang. Hal ini akan menjadi kesaksian yang baik. Misalnya seseorang mengritik kita di hadapan orang lain di tempat kerja, atau bahkan di rumah di hadapan anak-anak atau di hadapan pasangan kita, dan kita bisa menanggapinya dengan :”Terima kasih atas masukannya. Saya akan mempertimbangkannya. Ada lagi?” maka sebenarnya kita sedang memberikan kesaksian tentang hubungan kita dengan Allah. Kita baru saja menyaksikan, bahwa kita jauh lebih mengutamakan hubungan kita dengan Allah daripada membela diri. Kita jauh lebih mengutamakan hubungan kita dengan Tuhan daripada menang berdebat. Sungguh kesaksian yang menakjubkan ketika kita tidak menolak kritik, tidak menyalahkan orang lain, tidak membela diri, melainkan hanya menjawab :”Terima kasih atas masukan Anda. Saya sungguh menghargai pendapat Anda, dan saya akan memandang ini kesempatan untuk bertumbuh dalam kehidupan kerohanian saya”.
Ingatlah, bahwa cara kita menanggapi kritik adalah ukuran pertumbuhan rohani kita. Terkadang respons yang pantas terhadap kritik adalah :”Anda benar.” atau ”Ya, saya keliru. Saya perlu minta maaf dan saya akan berusaha agar hal ini tidak terulang lagi.” Yang penting kita tidak langsung menanggapi, tidak langsung membela diri atau mencari orang lain untuk disalahkan, melainkan sekedar mengatakan :”Terima kasih. Saya menghargai masukan Anda dan saya akan mempertimbangkannya. Ada lagi yang Anda lihat dalam kehidupan saya yang perlu saya perbaiki?” Atau kalau kritik itu benar, jawab saja :”Maafkan saya. Anda benar. Saya akan berusaha memperbaiki hal ini.”
Seseorang yang setiap harinya mencari penerimaan, mencari pujian dan yang hidupnya tergantung pada penilaian orang lain, tidak akan mempunyai sukacita karena kehidupannya akan tergantung pada apa kata orang mengenai dirinya.
Allah tidak pernah menghendaki siapapun hidup menurut pendapat orang lain, melainkan menurut apa yang Dia kehendaki. Kita tidak mungkin menyenangkan semua orang. Orang bisa berubah-ubah. Hari ini mengasihi kita, besok tidak.
Jadi kita harus belajar menanggapi kritik maupun pujian. Ketika dikritik, hendaknya kita menjawab :”Terima kasih. Saya akan mempertimbangkan masukan Anda.” atau ”Maafkan saya. Anda benar. Saya akan memperbaiki hal ini.” Sebab kita semua membuat kesalahan. Tidak ada manusia yang sempurna. Semua orang berdosa. Semua orang pernah melontarkan ucapan yang menyakitkan. Semua orang pernah melakukan hal-hal yang tidak dimengerti orang. Jadi daripada membiarkannya menjadi sumber konflik, terima saja fakta bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Semua orang pernah membuat kesalahan. Semua orang pernah melontarkan ucapan yang tidak pada tempatnya. Atau lalai mengucapkan yang seharusnya, lalai melakukan apa yang harus dilakukan, sebab citra diri kita bukanlah terkemas dalam penerimaan sesama manusia, melainkan dalam hubungan kita dengan Yesus Kristus.
Sebagai umat Kristen, kita telah menjadi bait Allah. Kristus bertahta dalam hati kita, dan kita boleh meminta kekuatan Roh Kudus agar dapat menanggapi kritik dengan cara yang bijaksana dan kudus. Kalau kita sanggup mengatasi reaksi spontan untuk membela diri dan mencari kambing hitam pada saat dikritik, melainkan tetap mendengarkan koreksi dari sesama kita, kita dapat memanfaatkan konfrontasi sebagai alat pertumbuhan.
Sumber :
Pengajaran Charles Stanley dari ”In Touch Ministry” yang dibacakan di radio Sasando Jogjakarta pada tanggal 29 Januari 2008 jam 05.00.
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,
- Puput Manis's blog
- 7632 reads
Mengeritik Puput
Wah, puput manies, kayaknya kamu nggak boleh sering-sering menulis nich, soalnya kamu bakalan report nanti karena tulisan kamu laris.
Saya setuju dengan hampir semua yang kamu tulis. Mengkritik sinonimnya adalah mengecam, mengomentari, memrotes, menegur, menyanggah, menyerang, menyentil, mempersoalkan, mengevaluasi, mempertimbangkan, menganalisa, menghakimi. Memang benar, “Menolak Kritik berarti menolak untuk berkembang!” Ketika putus asa menasehati seseorang, saya sering berkata, “Kamu nggak pernah benar, karena kamu nggak pernah salah! Kamu nggak pernah menang karena kamu nggak pernah kalah!”
Puput menulis:
Jadi kalau kita mau menanggapi kritik dengan bijaksana, tanyakan dulu: apa mungkin orang ini lebih dikaruniai dalam hal ini, sehingga wajar bila ia mengoreksi saya?
Nona, saya tidak setuju dengan pemikiran tersebut di atas. Misalkan, sebagai sarjana akuntansi, dengan pemikiran tersebut di atas, maka saya akan mengabaikan semua Kritik seputar akuntansi yang dilontarkan oleh sarjana lain apalagi yang tidak bergelar sarjana. Itu berarti mustahil kaum awam menasehati para theolog.
Ketika menghadapi kritik, kita harus fokus pada kritik itu sendiri sambil mengabaikan siapa yang mengeritik dan apa motivasi dibalik kritik serta bahasa kritik yang digunakan. Mustahil mengeritik tulisan puput tanpa mengeritik puput manies-nya sendiri.
Ketika menyatakan, “put, tampilan blog kamu nggak rapih (jelek)!” itu sama dengan mengeritik pribadi puput, “put, kamu harus belajar untuk mengunduh dan memformat tulisan kamu di sabdsaspace.” Ketika menghadapi kritik saya itu, perlukah puput menimbang apakah hai hai lebih ahli dalam mengunduh dan memformat tulisan di Klewer? Atau memikirkan apa motivasi hai hai ketika mengeritik? Tidak perlu! Puput hanya perlu melihat tampilan blognya, bila memang tidak rapih, maka dia harus mengakui bahwa kritik hai hai benar, bila tampilan blognya bagus, maka dia harus bertanya, kenapa di mata hai hai tampilan blognya nggak rapih? Peduli setan dengan hai hai, peduli setan dengan bahasa yang digunakan juga peduli setan apa motivasi hai hai ketika mengeritik.
Apa yang akan terjadi bila puput menghadapi kritik hai hai dengan menyatakan,
“Terima kasih. Saya menghargai masukan Anda dan saya akan mempertimbangkannya. Ada lagi yang Anda lihat dalam tulisan saya yang perlu saya perbaiki?”
“Ada lagi masukan yang ingin Anda berikan kepada saya?”
”Terima kasih atas masukannya. Saya menghargai masukan Anda dan saya akan mempertimbangkannya. Apakah ada lagi masukan yang akan Anda berikan kepada saya?”
Apakah pertanyaan puput tersebut di atas menunjukkan, bahwa dia telah membuka pintu hati dan pikirannya lebar-lebar tanpa menjanjikan bahwa dia akan mengikuti saran hai hai, dan tidak menghakimi apakah kritik hai hai itu benar atau salah, sehingga hai hai yang akan mengritik jadi bingung sendiri? Menurut saya, pertanyaan-pertanyaan puput (yang berwarna merah) itu tidak bijaksana, minimal, pertanyaan demikian tidak cocok untuk orang-orang yang dibesarkan dalam kebudayaan asia.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Minta Tambahan Kritikan Hai Hai
Hai Hai Hai,
Saya senang Anda mau baca dan memberi masukan untuk tulisan yang saya muat ke Sabda Space ini. Sinonimnya ternyata banyak sekali yaa. Masih bisa ditambah satu lagi lho, yaitu : menilai. Saya baru pertama kali menulis di situs dan baru pertama kali juga masuk situs blogger kayak beginian. Dulunya saya cari Audio Bible bahasa Indonesia yang Perjanjian Lama (yang Perjanjian Baru saya udah punya CD nya) di Sabda (tanpa Space), tapi terus kesasar di Pasar Klewer ini. Makasih ya buat masukannya. Saya sudah coba berkali-kali kopi paste dari Word ke Sabda Space, tapi tiap lihat contoh hasil, selalu awut-awutan. Terus nekad aja saya muat, biar dikritik dan saya bisa belajar. Jadi gimana? Harus langsung nulis di sini? Apa ga bisa kalau saya tulis dulu di Word offline, terus kopi paste di sini? Tolong saya diajari.Sebelumnya makasih yaa.
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya.
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,
Copy ke Notepad Dulu
non, sebenarya pegetahuan saya juga pas-pasan. Biasanya saya menulis di words, lalu memeriksa formatnya di words.
Klik format
lalu klik Paragraph
nah, yang perlu kamu set adalah Indentation dan spacing. Sete semua ke 0 danLine spacing: single.
Sesudah itu kamu ke notepad. Untuk membuka program notepad, kamu bisa:
Klik Start
Lalu ke All Program
lalu ke Accecories
lalu ke Notepad
copy tulisan kamu ke Notepad baru copy dari Notepad ke blog kamu.
Ketika mengedit tulisan kamu, ada dua format yang menurut saya paling perlu, yang pertama adalah untuk memunculkan kepala tulisan kamu dan untuk mengatur besarnya huruf yang kamu gunakan.
Untuk kedua format tersebut kamu harus klik dulu fungsi "Disable rich-text" di kiri bawah (ketika kita menulis).
Perintah pertama adalah:
<!--break-->
Copy perintah format tersebut di akhir alinea yang akan dijadikan kepala tulisan kamu.
Printah kedua adalah:
<span style="font-size: 11pt; font-family:Verdana">
Perintah tersebut di atas biasa saya gunakan agar tulisn saya nampak lebih besar. Bila kamu tidak menginginkan tulisan yang lebih besa, maka perintah tersebut tidak perlu digunakan. Perintah tersebut di copy ke awal tulisan yang mau kamu perbesa tulisannya.
N ah, silahkan mencoba nona, sementara itu kita tunggu petunjuk dari Admin, tentang bagaimana cara menulis di klewer agar tampilannya bagus dan rapih. Atau ada teman lain yang mau menuliskannya dalam bentuk blogg, sehingga bisa diakses setiap saat dan gampang dicarinya?
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Makasih Kritiknya, Hai. Manjuuurrr...
Hai Hai Hai,
Makasih buat masukannya. Langsung saya edit. Ga peduli poin mo dipotong berapa (Eh, kayaknya ga dipotong poinnya?). Sekarang penampilannya lumayan yaa. Wah, semangat nulis lagi nih. Tapi sekarang mo tidur dulu karena besok kerja pagi. Memang bener yaa "Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya" (Amsal 27:17)
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,
puput memang manis
Thanks, Nosid
Hai Nosid,
Thanks buat pujiannya. Aku udah posting tulisan lagi. Kali ini tentang "Menanggapi Pujian". Tapi bukan bedah buku loh. Besok lagi aku coba buat yang lebih singkat padat yah, biar ga kayak bedah buku..
O ya, boleh tau apa itu arti Nosid?
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,
Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,
arti Nosid
Kritik yang membangun
andryhartandryhartSenang
Senang rasanya membaca koment seorang dokter yg bijak seperti anda.
GBU