Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Memasak
Di tengah semakin tidak karuan dan kacaunya tayangan-tayangan di televisi saat ini, ternyata masih ada tayangan yang bagi saya sangat menarik dan membawa sensasi khusus tersendiri.
Bukan highlight dan siaran pertandingan bola, bukan Bajaj Bajuri, bukan konser musik artis favorit, bukan film barat yang tayang setelah jam prime time, bukan lawakan Tessy, bukan Spongebob Squarepants yang serinya diulang-ulang itu, bukan Ceriwis, Jejak Petualang (waktu hostnya masih Riyanni Djangkaru) bukan acaranya Vincent dan Desta, bukan acara anak nangkring seperti MTV Gokil, Urban Beats, Punk'd dan Pimp My Ride, bukan pula Insert (yang bukan investigasi) atau berita (hehe.. itulah daftar sebagian besar acara- acara yang saya suka lihat di TV). Acara itu adalah acara masak dan kuliner.
Sabtu pagi adalah saat yang paling memuaskan. Ada acara keliling-keliling Indonesia bersama kecap Bango dan pak Bondan Winarno yang pandai merangkai deskripsi dan melakukan gerak-gerik makan yang menerbitkan air liur, ada juga koki keren bersama Tora Sudiro dan bintang tamu yang jika wanita biasanya segar dipandang, meski kadang mereka hanya bikin sandwich atau minuman saja, juga di TPI yang menyiarkan acara seperti kecap Bango tadi namun dengan host seorang ibu ibu (nb: keduanya juga sama-sama dilengkapi dengan demo memasak), sampai kompetisi superchef yang hanya kadang saja menarik. Semuanya ada di hari Sabtu. Hari libur kantor kita. Hanya saja jam tayangnya lumayan pagi, karena jika telat maka rombongan acara masak dan kuliner itu akan segera disusul rombongan acara kuis dangdut. Bagi saya, ada 2 pekerjaan kepunyaan 2 orang di televisi yang paling menyenangkan (dan terlihat sangat dinikmati pelakunya). Mereka berdua adalah bapak Bondan Winarno dan saudari Riyanni Djangkaru tadi. Makan, ketemu banyak orang, jalan- jalan, sesuai hobi, dan digaji!
Untuk acara kuliner (icip-icip masakan di berbagai tempat makan) alasan utamanya mungkin adalah nafsu. Namun untuk acara masak memasak, alasannya lebih dari itu. Bagi saya, menyaksikan bagaimana orang memasak itu seperti melihat keajaiban. Bagaimana tidak? Mulai dari jika memikirkan bagaimana bumbu-bumbu itu melewati berbagai proses sampai tiba dalam bentuk seperti yang ada di pinggan yang ditunjuk oleh sang koki, lalu bagaimana dan sejak kapan atau siapa yang pertama kali tahu jika bahan-bahan utama macam daging, telur, dsb itu bisa ditemukan sebagai bahan yang baik dan enak untuk dimakan, dan tentu saja di atas semua itu adalah bagaimana bahan utama yang ada diracik dengan diberi bumbu-bumbu dengan ukuran tertentu (betapa pintar orang yang telah menakarnya dengan pas itu), tak berhenti sampai disitu; bayangkan betapa ajaibnya panas api dan waktu yang tepat bisa membuat bumbu-bumbu itu menyatu dengan bahan utama yang ada. Dan hasilnya pun bisa sangat tak terbayangkan, baik dari segi rasa maupun bentuk. Sungguh pertunjukan yang luar biasa!
Dalam hal ini saya tidak begitu tertarik dengan acara membuat kue, kalau minuman mungkin masih cukup menarik juga namun tetap tak bisa menyamai sensasi melihat proses pembuatan masakan. Memasak memang menakjubkan, dan rasanya jarang ada juru masak yang tidak menikmati pekerjaannya itu. Mungkin karena memasak sendiri menurut saya adalah bagian dari seni, namun seni ini adalah yang paling bebas dan selalu mendapat penghargaan luas (pengkritiknya paling cuma ahli kuliner tadi). Sepertinya tidak ada yang menghubung-hubungkan masak dengan ideologi, genre, perannya terhadap masyarakat, moralnya, pakem, kemasan, pop atau klasik dsb. Tidak seperti seni lain seperti lukis, tari, musik, pahat, peran atau sastra yang jika artisnya makin memiliki jam terbang makin sering dijelek- jelekkan, dikritik dsb, seorang juru masak yang jam terbangnya makin tinggi biasanya akan semakin mendapat banyak pujian, penghargaan, dan makin sedikit kritik. Lagipula, jarang kan kita dengar ada persaingan antar juru masak yang sengit (atau kasar) seperti yang terjadi di dunia sastra misalnya. Biasanya mereka malah saling memuji atau saling tukar menukar ilmu.
Proses memasak adalah keajaiban bagi saya. Orang yang bisa memasak adalah tukang sulap. Ya, apa yang dilakukan bu Reso atau mama saya setiap hari sesungguhnya lebih menarik daripada trik memotong-motong wanita dalam kotak. Barangkali pendapat ini tidak akan ada jika saya memiliki kemampuan melakukannya. Bukankah nilai sebuah 'keajaiban' seringkali berkurang saat kita telah berada di hadapannya, atau di dalamnya? Bukankah semakin banyak yang kita tahu, makin sedikit pula kepercayaan kita akan keajaiban? Meski demikian, saya tetap tertarik untuk dapat memiliki kemampuan meracik bumbu macam para juru masak itu.
Akhirnya, mungkin juga ada yang sudah tahu cita-cita terpendam saya. Memiliki sebuah rumah makan. Sebuah rumah makan yang menyediakan jenis makanan seperti warung Subuh di kota Malang (larisnya juga seperti disitu), yang dilengkapi fasilitas lain seperti toko buku/rumah baca dan tentunya alunan musik sekehendak selera saya. Itulah surga, tidak ada lagi yang saya inginkan. Ah, kapan ya?
- y-control's blog
- 6503 reads
Rumah makan yang rame
mmmh... saya jadi lapar ini...
rumah makan yang rame...
adalah rumah makan yang pemasak-pemasaknya...
memasak dengan cinta...
BIG GBU!
Teologi Kuliner
y-control nulis:
"Sepertinya tidak ada yang menghubung-hubungkan masak dengan ideologi, genre, perannya terhadap masyarakat, moralnya, pakem, kemasan, pop atau klasik dsb."
Betul juga yah, padahal, dipikir2, Salomo sendiri aja setelah mengecap semua kekayaan, kebijaksanaan, dll, akhirnya menyimpulkan:
"So I commend the enjoyment of life, because there is nothing better for a person under the sun than to eat and drink and be glad. Then joy will accompany them in their toil all the days of the life God has given them under the sun." Ecclesiastes 8:15
Makanya restoran kuliner makin marak belakangan ini, mungkin setelah capek dengan kehidupan 'dibawah matahari', akhirnya cuman mao menikmati dengan "eat, drink and be merry!".