Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Melewatkan Mukjizat di Depan Mata
Pukul sepuluh malam, HP-ku berdering. “Mas Wawan ini darurat. Anda diminta mendonorkan darah,”kata Agus Permadi di ujung telepon. “Oke, aku pakai jaket dulu, lalu mengeluarkan sepeda motor,” jawabku.
“Tidak usah mengeluarkan sepeda motor. Nanti kami jemput dengan mobil. Saat ini kami sedang menjemput pak Teguh,” sahut Agus Permadi.
Mobil Chevrolet tua melesat membelah kesunyian malam di kota kami. Langit terlihat cerah, udara sangat gerah. Sudah lebih dari tiga bulan ini cuaca sangat panas di kota kami, baik itu siang atau malam.
Sesampai di rumah sakit, sudah ada banyak orang yang berkumpul di depan sebuah kamar. Ada pak Yono dan isteri, pak Giri, pak Lukas dan anaknya, pak Bambang Budiadi dan isteri. Aku bersama dengan pak Teguh, koh Yoyok dan Agus Permadi bergabung dengan mereka.
Kami menyalami pak Hendro dan bu Dewi Retno Murni isterinya. Mata bu Retno terlihat sembab karena habis menangis. Yogi, anak mereka terbaring di ranjang karena terserang virus demam berdarah. Malam itu, jumlah trombosit dalam darahnya melorot sangat drastis ke angka 50 ribu. Padahal ambang batas minimalnya adalah 150 ribu.
Meski sudah banyak minum jus buah jambu merah yang dipercaya dapat meningkatkan kadar trombosit, tapi tidak terlihat perubahan yang berarti. Jika kondisi ini berlanjut, maka alternatifnya adalah tranfusi trombosit yang diambil dari darah orang lain. Untuk mendapatkan sekantong trombosit, maka dibutuhkan tujuh pendonor. Trombosit ini harus “diekstrak” dari darah segar. Itu artinya, kami harus selalu siap mendonorkan darah jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
Setelah setengah jam menunggu, kami mendapat kabar bahwa kepastian pendonoran darah itu baru diketahui besok jam enam pagi. Kami diminta pulang saja untuk menjaga kondisi.
Keesokan harinya, tidak ada panggilan telepon. Berarti tidak jadi donor darah. Siangnya, kami menjenguk Yogi. Meski kadar trombositnya sangat rendah, tapi dia masih bisa bercanda.
“Tadi malam ada banyak orang yang berkumpul di depan kamar saya,” kata Yogi.”Saya lalu berpikir, apakah sakitku ini sangat parah sehingga banyak orang yang berkumpul. Apa saya sudah akan mati.”
Hari itu, beberapa kali bu Retno mengirim SMS. Setiap kali SMS masuk, beritanya tentang kadar trombosit Yogi yang terus menurun, dari 50 ribu, terjun bebas ke angka 25 ribu, 19 ribu, bahkan sampai hanya 12 ribu.
Pagi berikutnya--pukul enam, HP-ku berbunyi. “Pak, kami butuh darah untuk Yogi. Kami tunggu di PMI ya?” suara bu Retno tersendat-sendat menahan tangis.
Aku segera cuci muka dan gosok gigi. Isteriku juga bersiap-siap. Dengan sepeda motor kami melaju ke kantor PMI yang berjarak sekitar 2 km dari Pastori II. Sesampai di sana, ternyata kami yang datang pertama. Pendonor lain belum ada yang datang. Penjaganya pun masih tidur-tiduran.
Selang sepuluh menit kemudian, pendonor lainnya datang: Pak Teguh, pak Bambang Budiadi, mas Alex dan pak tentara (aku tidak tahu namanya). Pukul delapan, darah yang dibutuhkan sudah mencukupi.
---****---
Berkat tranfusi itu, kadar trombosit Yogi mulai naik. Setelah dirawat selama enam hari, Yogi dibolehkan pulang ke rumah. Empat hari kemudian, pak Hendro memberikan kesaksian di depan persektuan kelompok.
“Ketika kadar trombosit anak kami terus turun, terus terang saja kami merasa cemas. Sebagai dokter, saya tahu benar betapa gawatnya situasi ini,” kata dokter Hendro. “Ada pasien lain yang kadar trombositnya 50 ribu, dan dia tidak bisa bertahan. Sedangkan pada Yogi, kadar trombositnya hanya 12 ribu. Itu kurang dari sepersepuluh dari batas aman, yaitu 150 ribu.”
“Saat itu kami berdoa dengan sungguh-sungguh minta mukjizat Tuhan. Kami juga mengirim SMS ke banyak orang untuk mendukung dalam doa. Kalau selama ini ada istilah “doa berantai”, maka malam itu saya menciptakan istilah baru, yaitu “serbuan doa”. Saya yakin, ada banyak orang yang mendukung kami dalam doa. Kami “menyerbu” Tuhan dengan doa. Kami meminta mukjizat Tuhan berupa kenaikan kadar trombosit Yogi.”
“Akan tetapi mukjizat itu tak kunjung datang. Bahkan kadar trombositnya malah menurun. Terus terang saja, iman menjadi goyah saat itu,” papar pak Hendro dengan bergetar. “Namun ada satu SMS yang kemudian menguatkan kami,”lanjutnya sambil membuka kembali SMS itu. Dia membacakannya kembali. SMS itu mengutip Kolose 4:2:“Bertekunlah dalam doa dan dalam pada itu berjaga-jagalah sambil mengucap syukur.” Setelah itu, SMS itu disambung dengan kata-kata ini: “Yogi masih dapat bertahan dengan angka hanya 12 ribu, bukankah itu sebuah mukjizat?”
Seketika itu juga pak Hendro dikuatkan kembali. Dia telah diingatkan tentang adanya mukjizat yang telah dilakukan Tuhan. Ketika kita minta mukjizat, kita sering memintanya harus sesuai dengan kehendak kita. Jika mukjizat itu dalam bentuk yang tidak sesuai dengan keinginan kita, maka kita menganggapnya bukan sebagai mukjizat.
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- 6302 reads
Rasa Syukur yang Hambar
Mengutip tulisan di atas,
"Ketika kita minta mukjizat, kita sering memintanya harus sesuai dengan kehendak kita. Jika mukjizat itu dalam bentuk yang tidak sesuai dengan keinginan kita, maka kita menganggapnya bukan sebagai mukjizat."
tampaknya kebanyakan orang lebih suka mengharapkan sesuatu yang bombastis terjadi. Padahal ada begitu banyak hal dalam keseharian kita yang semestinya bisa membuat kita bersyukur dari hati terdalam. Mulai dari bangun pagi sampai tidur lagi di malam hari.
Satu hal yang patut disayangkan ialah kecenderungan untuk melihat segala sesuatu sebagai suatu hal yang biasa bisa membuat kita hanya sekadar bersyukur, menaikkan ucapan syukur dengan hambar. Jujur saja, hal inilah yang sering saya alami. Maka saya bersyukur bisa membaca bagian dari blog di atas.
"Karena bahasa Indonesia dahulunya adalah lingua franca"
_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.