Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Majelis dedudo-dida

Inge Triastuti's picture

Sering kali kritik lahir berawal dari komunikasi yang tidak tuning akibat kita tidak peduli minat orang lain. Di gereja, susah kita membicarakan rencana pelayanan jangka panjang jika lawan bicara kita lebih berminat pada “whatever will be will be.” Sama susahnya bila mendiskusikan lagu kontemporer dengan orang yang minatnya hanya ada di lagu himne. Bagus jika ia hanya senyam-senyum ketawa-ketiwi. Tapi kalau ia ngotot mengungkapkan minatnya juga, dan kita juga tidak mau kalah ngototnya, maka udara akan dipenuhi benturan-benturan gaib yang bila frekwensi dan amplitudonya makin tinggi akan menciptakan virus penyakit.

Bila ketidaksamaan minat ini menyebabkan pertengkaran, maka muncullah penilaian pribadi yang menusuk. “Dia itu memang kuno tidak bisa mengikuti perubahan jaman. Susah deh omong sama orang yang sudah expired.” Di pihak lain orang yang diam-diam kita kata-katai itu juga jengkel. “Dia itu sembrono, mau enaknya sendiri, tidak tau aturan. Sarjana kok tidak pernah mikir dulu kalo ngomong. Sekolahnya di mana sih?”

Dari pengamatanku terhadap aktivis gereja di tingkat tertinggi, sehingga dijadikan panutan sekaligus pergunjingan, yaitu majelis atau penatua, atau disebut juga sintua di kawasan tepian yang elok (tapian na uli), aku pribadi memilah aktivis dalam 5 kelompok berdasarkan minatnya.

M-De : Majelis Dekan

Mereka besar minatnya dalam mempergunakan otak dalam kerja pelayanan. Mereka adalah pemikir, luas wawasannya, jauh pandangannya. Mereka adalah para konseptor. Mereka merencanakan apa yang harus dicapai oleh gerejanya 5 atau 10 tahun mendatang. Mereka juga bertindak sebagai M-De(nah) yang menggambarkan dengan jelas strategi apa saja yang harus dilakukan gereja untuk mencapai target itu. Dia juga M-De(markasi) yang menentukan garis-garis aturan yang harus ditaati dalam menjalankan strategi itu agar jangan sampai tujuan menghalalkan segala cara. Selain cerdas dia punya integritas tinggi, jujur dalam mengevaluasi kelemahan strateginya. Karena itu ia tidak segan-segan menjadi M-De(tektor) dengan sering menemani para pelaksana strategi itu untuk mendeteksi kelemahan-kelemahan pemikirannya.

M-De adalah posisi tertinggi dan tersulit dalam sebuah organisasi. Kalaulah di kapal, ia jurumudinya. Karena itu banyak aktivis yang ingin menjadi M-De. Sayangnya, tanpa dedikasi dan komitmen tinggi, mereka hanya menjadi M-De(sk), yang hanya berjaya di meja perencanaan saja. Mereka dengan mudah mengatakan “Lima tahun lagi anggota KTB ini harus bertambah 50%” tetapi ketika ditanya ‘how”-nya, mereka tidak bisa menjawab. Nah kalo berdebat dengan M-Desk, nggak usah serius-serius amat. Pusing kamu dibuatnya karena ia gemar beradu teori tanpa solusi. Hahahihi sajalah. Demi kesehatan diri sendiri.

Paling asyik ketemu M-Dekan yang menyadari Tuhan Yesus adalah Rektornya. Ia menyadari mempunyai Atasan yang kepada-Nya ia harus mempertanggung-jawabkan setiap tindakannya. Ia akan membimbing kamu, sering ikut hadir dalam rapat dan kegiatan yang kamu adakan. Darinya kita bisa menimba banyak ilmu. Wow, rasanya dapat kakak rohani lagi seperti masa lalu ketika kita masih di persekutuan remaja.

M-Du : Majelis Duit

Dalam rapat anggaran, pengurus Komisi paling senewen kalo bertemu dengan M-Du. Mata mereka langsung saja mencari angka-angka seolah-olah searching machine mereka hanya bisa membaca data numerik. Begitu ketemu angka berbaris 7, tanpa membaca apa isi proposalnya, langsung saja mereka bilang “tunda dulu program ini.” Dan anehnya, majelis lain mendadak saja jadi satu partai dengan M-Du.

M-Du besar sekali minatnya pada efisiensi pembelanjaan uang. Biasanya, mereka orang kaya yang sangat besar uang persembahannya sehingga orang tidak berani menentang kehendaknya. Kalaulah gereja diibaratkan sebuah kapal, M-Du adalah penjaga mesinnya dan pasokan bahan bakar ada dalam kekuasaannya. Walaupun dia bukan bendahara gereja dia bisa bilang kepada ketua majelis “kalo lu nggak mau belok ke kanan, gue nggak masukin solar ke mesin lho.” Karena itu jangan heran bila ada orang kaya hari ini dibaptis, minggu depan sudah diangkat jadi majelis. Bahkan ada gereja yang berusaha “mentransfer” M-Du kaya raya dari gereja lain dengan iming-iming jabatan bendahara gereja. Begitu berharga M-Du sampai-sampai pendeta saja bersedia stand by 24 hours every day untuk melayaninya. Lalu aktivis pun mencurigai besar kecilnya honor pendeta, baik yang resmi maupun “bonus”nya, ditentukan oleh M-Du. Padahal dari semua kelompok minat, M-Du inilah yang paling berbahaya apabila motivasinya nggak lagi pelayanan, karena gereja bisa jadi ajang bisnis terselubung. Karena itulah pendeta harus menempelnya untuk melakukan kontrol ketat. Ya, kalo dapet bonus itung-itung berkat tambahan, walau hanya berupa mesin cuci bekas yang spare part-nya sulit dicari, atau motor bebek lansia yang maling aja malas nengok.

M-Du bisa juga bukan orang kaya. Mereka ini biasanya adalah wiraswasta, atau karyawan yang kerja di bagian audit keuangan. Prinsip bisnis dibawanya ke dalam organisasi gereja. Jika gerejanya punya uang 10 talenta, ia ingin uang itu segera menjadi 20 talenta. Ini bukan berarti ia memutarkan uang gereja di bank gelap; atau membeli rumah pastori baru yang kemudian disewakan kepada orang lain sementara pendetanya dibiarkan tinggal di rumah kos; atau mengundang para penjual makanan masuk ke halaman gereja pada hari Minggu dan mengutip 50% keuntungan mereka; atau menyewakan gedung gereja untuk seminar-seminar rohani tanpa peduli doktrin penyewanya berseberangan dengan doktrin gerejanya; atau lebih suka mengundang pendeta emiritus dan mahasiswa teologia praktek terus menerus daripada mengangkat seorang pendeta tetap untuk menekan biaya; atau menyodori surat pernyataan hutang yang istilahnya diperhalus jadi “janji iman” kepada jemaat yang belum atau malas menyetor persembahan perpuluhannya.

Yang mereka inginkan adalah dengan uang 10 talenta, gereja bisa membeli barang atau jasa senilai 20 talenta. “Jangan lupa, ini uang jemaat yang mereka dapatkan dengan susah payah. Harus dihemat,” begitu maklumat mereka. Kalau mereka membeli barang, alamak, pelitnya bukan main. Ditawar berulang kali. Harga sudah oke, minta diskon. Sudah dapat diskon, minta jaminan purna jual. Jangankan kita, orang luar gereja juga jengkel kalau berhubungan dengan mereka. Padahal kita-kita ini yang aktif di Komisi enggak pernah sepelit itu kalo membelanjakan uang gereja. “Ngapain repot-repot nawar, kan bukan uangku.” Iya kan?

Kalau mereka meneliti proposal ritrit Komisi, yang ditanya adalah “Mengapa satu kamar diisi 2 orang? Memangnya ini darmawisata? Apa tidak bisa 1 kamar diisi 10 orang? Mengapa harus memanggil pembicara luar? Memangnya pendeta kita kurang ilmunya?” Kalau mereka mendengar panitia KKR melaporkan betapa suksesnya event itu karena gereja sampai penuh sesak, komentar mereka “Sukses tidaknya KKR itu jangan dilihat pada waktu acara berlangsung. Tetapi berapa banyak penambahan jumlah orang yang hadir dalam kebaktian Minggu nanti. Kalau jumlahnya tidak bertambah, berarti uang jutaan itu mubazir.”

So guys, udah jelas kan bagaimana taktik menghadapi M-Du? Use the same language! High efficiency, proposal in details, no mark up, show up hard working. Jangan lagi dalam proposalmu ada kalimat “biaya tak terduga 10%.” Jangan menulis “biaya makan peserta Rp.2 juta” tetapi “biaya makan 65 peserta selama 2 hari = 65 peserta x 4 kali makan x Rp.4.750.” Jelaskan dalam proposalmu adanya rencana pemasukan dari usaha sendiri. Misalnya jual koran bekas, jual makanan buatan sendiri, cuci mobil jemaat, jadi baby sitter or tukang kebun harian bagi jemaat. Dan jangan lupa setelah selesai kegiatan untuk mengembalikan sisa dana, agar M-Du percaya loe en geng bukan orang ber-”aji mumpung”. Kalo M-Du udah sayang ama kamu, hepi forever deh. Semua urusan jadi lancar. Kalo gereja ga kasi dana, mereka ga sayang membuka dompetnya sendiri untuk “geng kesayangan”nya sambil berbisik “jangan bilang siapa-siapa, nanti Pakde bangkrut.”

M-Do : Majelis Doer

Di gereja yang banyak jumlah majelisnya, M-Do inilah yang dikenal oleh jemaatnya. Kalau gerak gereja diibaratkan proses pembuatan filem, M-De adalah penulis skenarionya, M-Du produsernya, M-Do pemainnya. Lu ame gue, jadi penonton aza. Asyik ya.

Mereka malas menghadiri rapat. Bila hadir, pasti menghabiskan jatah kopi karena selalu mengantuk mendengar pembacaan rencana kerja, evaluasi kegiatan dan surat keluar-masuk. Mereka hanya berminat do, do, and do. “Sudahlah, kalian saja yang rapat. Aku tunggu order kerjanya saja,” begitu kata mereka. Apakah pekerjaan sehari-hari mereka kuli, karyawan rendahan atau tukang ojek? Enggak lo. Malahan ada yang punya perusahaan dengan pegawai lebih dari 20 orang. Bagi mereka jadi majelis itu harus dekat dan berkomunikasi dengan jemaat, bukan duduk di ruang konsistori menghitung uang kolekte atau sibuk beradu argumen di ruang rapat berAC. Mereka ada di tim pelawatan, tim diakonia, tim bea siswa, tim pelatihan, tim peningkatan ekonomi jemaat, tim perawatan gedung, dan sejenisnya yang perlu lebih banyak kerja pisik.

Sebuah filem dinilai bagus-tidaknya, ditentukan oleh bagaimana kualitas pemainnya. Begitu juga dengan gereja. Seorang pasien rumah sakit bercerita, “Gereja saya itu perhatian banget sama jemaatnya. Tadi pagi waktu saya mau masuk rumah sakit, ada majelis yang menelepon saya. Padahal saya belum memberitahu kantor gereja. Enggak tahu kok bisa tahu saya sakit ya.” Seorang jemaat miskin memuji-muji gerejanya setinggi langit karena, “Waktu anak saya masuk rumah sakit dan harus operasi, saya stres berat. Untungnya setiap hari gereja mengirim majelisnya mendampingi saya. Kalau tidak mungkin saya sudah jadi gila.” Siapakah yang melakukan semua itu? M-Do! Kalaulah gereja itu diibaratkan tubuh manusia, M-De adalah otaknya, M-Du jantungnya, M-Do adalah kaki dan tangannya. Tanpa M-Do gereja tidak akan ke mana-mana.

Nah, kalo lu butuh tenaga majelis membantu gerak pelayananmu, misalnya menemani melawat teman yang sakit, mencari sponsor, M-Do adalah orangnya. Tetapi kalo lu butuh urun pemikiran jangan bicara dengan M-Do. Kelemahan M-Do adalah nuraninya lari mendahului rasionya sehingga tidak jarang mereka menabrak peraturan gereja demi menolong orang susah. “Dia memang bukan anggota gereja kita, tapi perlu segera ditolong. Kalau nunggu persetujuan rapat majelis, gue kuatir dia cuma perlu tanah kubur doang,” begitu pembelaan mereka bila disalahkan karena “membelokkan” dananya dan gereja harus mengirim surat permintaan maaf kepada gereja lain di mana orang susah itu bergereja.

Sayangnya, orang yang berminat jadi M-Do tidak banyak. Di kepengurusan Komisimu banyak M(inat)-Do(er) nggak? Jangan-jangan loe nggak beda ame gue, lebih senang duduk jadi pemirsa.


M-Di : Majelis Display

Wow, inilah majelis yang always dressing up. Rapi bajunya, selalu tersenyum, tidak banyak bicara. Tugasnya membacakan warta, menghitung uang kolekte, menemani pendeta tamu makan malam, dan duduk manis dalam setiap rapat majelis. Kalau kamu menanyakan kebijakan majelis kepada M-Di, ia akan memberikan jawaban mengambang kayak politikus sehingga membuat kamu jengkel.

Ada 2 sebab lahirnya M-Di. Yang pertama adalah memang sejak semula orang ini ingin jadi majelis untuk memberi kilau putih cemerlang pada pamornya. Ia ingin makin dipercaya dalam dunia bisnis dengan jabatan kemajelisannya itu. Jangan terheran-heran bila suatu saat kamu mendengar ada pendeta yang stress karena ditekan untuk mengangkat seseorang jadi majelis, baik secara halus (dengan iming-iming imbalan) maupun kasar (dengan ancaman surat kaleng). Ciri-ciri M-Di-minus ini adalah kalau memperkenalkan diri tidak lupa menyebutkan kedudukannya sebagai majelis di gereja Somewhere, dan sudah berapa lama. Tetapi kalau kamu interogasi akan ketahuan dia hanya aktif di permukaan saja.

M-Di jenis kedua muncul karena kesalahan waktu rekrutmen. Ada rumor sadis yang berdendang begini, “Jika tak ada pipa besi, pake aje pipa pralon. Jika tak ada orang berprestasi, panggil aje orang o’on.” Percaya deh, nggak ada majelis yang bloon kecuali bila majelis yang bertugas mencari tenaga baru nggak ngerti kriteria calon majelis. Yang ada orang yang pura-pura bloon. Habis bagaimana, sudah nggak mau dipaksa juga. Pake ngancam lagi. “Anak-anak Bapak sudah besar, sudah sarjana, perusahaan makin hebat. Berkat Tuhan begitu luar biasa, masak bantu-bantu jadi majelis nggak mau. Nanti kalo Tuhan melakukan embargo ekonomi gimana?” Biasanya mereka adalah orang-orang yang punya nama dalam dunia bisnis, yang diharapkan keberadaannya dalam dewan majelis akan meningkatkan kredibilitas organisasi ini. Jadi kebalikannya dengan M-Di-min yang memanfaatkan, M-Di-plus ini dimanfaatkan. M-Di-plus tidak pernah menonjolkan kedudukannya sebagai majelis, bahkan “ah, saya cuma bantu-bantu saja, jadi tidak tahu urusan-urusan sulit.”

Guys, jangan memaparkan permasalahanmu kepada M-Di-plus di gereja. Datangi saja rumahnya dan berbicaralah seolah-olah dia bukan majelis (karena memang dia tak punya minat jadi majelis). “Tante, tolongi Sekolah Minggu dong. Natalan nanti acara perayaannya bagus-bagus. Pak pendeta cerita sambil main sulap. Sekolah tari sebelah gereja kita nyumbang gratis tarian balet. Anak-anak pasti hepi banget. E, begitu keluar dari gereja masak disodori oleh-oleh roti wafer sebiji ame permen 2 biji doang. Kami nggak berani minta tambahan dana ke majelis. Kalo aja ada tambahan es krim, biar yang murah, pasti hepinya anak-anak lebih awet. Tante punya nggak temen yang punya sampel es krim banyak?”

Untungnya M-Di di kemajelisan nggak banyak. Malah jauh lebih banyak di persekutuan pemuda. Para M(aunya)-Di(splay) susah diajak berkeringat untuk kerja pelayanan. Enggak usah dimarahi, positive thinking ajalah. Bukankah dengan kehadiran mereka ruang persekutuan terasa pake air freshener dengan berbagai aroma bunga? Wuuuangi. Apalagi jika mereka benar-benar handsome en pretty. E, bookingin gue atu dong.


M-Da : Majelis Damage, Majelis Dagelan

Majelis “rusak” ini aslinya adalah M-De/Du/Do. Tetapi karena ia tidak mampu beradaptasi dengan budaya kerja dan management style “para pemilik” gerejanya, ia jadi apatis, skeptis dan akhirnya sinis terhadap organisasi kemajelisan. Ia tetap seorang majelis walaupun sudah tidak mau lagi mengerjakan tugas-tugasnya. Ia lebih banyak membuat joke-joke dalam rapat majelis. Nggak usah bicara serius dengan M-Da, karena ia tidak pernah bisa serius lagi. Satu saja minatnya yang tersisa, yaitu melepaskan jabatannya secepat mungkin.


Plis
, jangan mencelanya. Dia adalah buluh yang terkulai, berilah empati, agar ia tak patah. Ajaklah ia ikut kegiatan santai, misalnya ikut paduan suara, kebaktian padang, retreat keluarga. Jika selama ini majelis yang mengasuh aktivis gereja, sekali waktu kitalah yang mengasuh majelis yang sedang susah.

Perbedaan minat tidak seharusnya menimbulkan konflik apabila kita tahu cara menyiasatinya. Setiap manusia itu unik, susah cari yang sama dengannya. Ada yang suka mengasuh anak-anak Sekolah Minggu tetapi tidak suka ikut vocal group. Sebaliknya ada yang senang menyanyi tetapi emoh jadi pengajar. Mengapa kita memaksa seseorang melakukan apa yang tidak disukainya? Bukankah perbedaan ini malah saling melengkapi? So, silakan memperbandingkan perbedaan tanpa mempertandingkannya. See you.****

anakpatirsa's picture

Yang Anda tuliskan membuat

Yang Anda tuliskan membuat aku merasa keadaanku saat ini cukup 'aman'. Datang ke gereja kalau tidak hujan, 'duduk manis', begitu ibadah selesai langsung pulang. Tidak ada yang namanya kunjungan karena dua kali tidak ke gereja. Tidak perlu repot memikirkan reaksi para "M" seperti yang Anda tuliskan. Tidak perlu memikirkan apa-apa yang harus dilakukan demi yang namanya 'kegiatan gereja'. Tidak perlu memahami sifat para "M" supaya semuanya kegiatan berjalan dengan lancar.
Inge Triastuti's picture

Duduk manis dalam gereja

adalah sikap yang tidak mudah dilakukan. Komen ini, juga yang sebelumnya, informatif sekaligus inspiratif sehingga mendorong saya menulis blog berikutnya. Thx Bapak.

Purnawan Kristanto's picture

Two Thumbs Up

Tullisan ini sangat kreatif. Jeli dalam mengamati situasi yang ada di gereja. Permainan kata-katanya juga jempolan. Dua jempol ke atas.
__________________

------------

Communicating good news in good ways

Inge Triastuti's picture

Dua jempol

itu nilai yang ketinggian untuk pemula seperti saya. Dua telunjuk saja, Pak Wawan, biar saya lebih rajin membaca-ulang pelajaran menulis di ‘padepokan’ Bapak. Thx untuk apresiasinya.