Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kisah Seorang Mantan Tentara

anakpatirsa's picture

Bis mengurangi sedikit kecepatannya, memberiku kesempatan memerhatikan deretan tanaman yang memagari komplek. Empat tahun lalu, di jalan yang sama, aku melihat deretan rumah di belakang pagar itu. Bukan pagarnya yang menarik perhatian, juga bukan rumahnya. Saat itu aku memerhatikan apapun yang ada di pinggir jalan, semuanya tampak menarik. Deretan rumah tak terputus dan tembok tinggi kelihatannya lebih indah daripada deretan pohon di pinggir sungai kampungku.

Sekarang, untuk kesekian kalinya, aku memerhatikan pagar yang sama. Dan teringat sebuah cerita.

***

"Lama sekali tidak pulang, ya?"

"Lima tahun," jawabku.

Saat kembali ke kota ini, semuanya sudah berubah. Si kembar bukan lagi anak SMU yang mengisi kamarnya dengan Ronan Keating dan Britney Spears. Deni tampak lebih dewasa dari umurnya yang hanya lebih tua dua tahun. Dari cerita yang kudengar, ia yang mengurus kedua adiknya. Kakak tertua sudah menikah, sedangkan wanita yang sedang bertanya ini adalah ibu mertua kakak perempuanku yang nomor tiga.

Mataku melihat pintu kamar yang terbuka. Agak heran karena ketiga adikku masuk seenaknya ke kamar ini. Mengganggu bayi yang sedang berbaring di ranjang. Bisa kulihat, sang bayi begitu senang dengan kehadiran ketiga tantenya.

"Kabarnya mau bekerja di Solo?" kali ini ayah mertua kakakku yang bertanya.

Aku mengiyakan. 

"Sekarang sudah tinggal di sana?" tanyanya.

"Belum, habis ini baru ke sana."

"Sudah pernah ke Solo?"

Pertanyaan aneh. Bagaimana aku yakin mau bekerja di Solo, bila belum pernah ke sana? Tentu saja bukan itu yang keluar dari mulutku.

"Baru sekali."

"Waktu dari Jogja ke Solo naik apa?"

Aku pikir ini sebuah wawancara.

"Naik Bis."

"Turunnya di mana?"

Interogasi, batinku.

Hanya dua alasan ia mengajukan pertanyaan seperti ini: Terlalu bodoh atau tahu Solo. Aku hanya tahu satu tempat di Solo, berangkat ke terminal itu dan pulang dari terminal yang sama.

"Tirtonadi," jawabku.

"Jadi pindah juga ternyata."

Ia sedang bergumam. Kuperhatikan wajahnya, mata itu tampak sedang menerawang. Tiba-tiba ia berkata, "Dulu terminalnya ada di Kampung Gemblegan. Namanya Stasiun Bus Harjodaksino. Sangat sumpek, sehingga ada rencana memindahkannya ke sebelah timur Taman Tirtonadi."

"Pernah dengar lagu Gesang?" tanyanya.

Kakek sangat suka keroncong, entah berapa ribu kali lagu Bengawan Solo dan Jembatan Merah memenuhi rumah kami.

"Bengawan Solo," jawabku seolah-olah sedang mengikuti lomba cerdas cermat.

"Lagu tentang Tirtonadi juga ada," katanya.

Mulutnya menyenandungkan lagu yang belum pernah kudengar:

         Tirtonadi yang permai di tepi sungai
         suatu kebun yang permai, indah dan ramai
         itu suaranya air mendesir-desir
         darilah pintu air, terjun menari
         di sana tempatnya
         rakyat seluruhnya melepaskan lelah
         dan hibur hatinya
         sepanjang lembah sungai teratur rapi
         sungguh cantik dan permai di Tirtonadi

"Di Solo juga ada Taman Sriwidari," ia sama sekali tidak peduli orang menyukai lagunya atau tidak. "Karena di surga ada taman yang sangat indah, maka raja Solo juga membangun Kebon Rojo untuk tempat peristirahatan keluarga kerajaan."

"Di sana, maksud saya di Taman Sriwedari juga ada kebun binatang," lanjutnya.

"Di Solo juga ada kebun binatang," kataku tidak mau kalah. Aku benar-benar tidak tahu tentang kota yang sedang ia bicarakan. "Namanya kebun binatang Gembira Loka."

Ia sama sekali tidak memberiku kesempatan bercerita tentang kuda nil di Jogja.

"Solo memang kota yang unik. Dulu Pasar Gede menjadi wilayah orang Cina, Pasar Kliwon menjadi wilayah orang Arab, sedangkan Banjarsari menjadi daerah orang Belanda dan Eropa. Tirtonadi ada di daerah Banjarsari ini."

Aku hanya pernah mendengar Pasar Klewer. Dosen matematika yang orang Solo itu tiba-tiba berbalik dari papan tulis, "Pernah dengar Pasar Klewer?" "Belum Pak." "Beginilah suasana Pasar Klewer itu." Kami yang kebanyakan dari luar pulau malah tertawa lebih keras. Mengira ia sedang melucu, bukan sedang menyindir kelas yang ribut.

Cukup lama ia diam, sehingga aku merasa mendapat kesempatan mengajukan pertanyaan yang bisa kutebak jawabannya.

"Bapak pernah tinggal di Solo?"

"Tidak."

"Kok tahu banyak tentang Solo?"

"Dulu saya di Kandang Menjangan."

Aku teringat kompleks berpagar tanaman hidup itu.

"Jadi Bapak pernah ikut tentara?"

"Makan lagi pisang gorengnya," tiba-tiba istrinya yang sejak tadi diam menyela.

Kuambil sebuah lalu diam menanti jawaban.

Hening, tidak ada jawaban. Aku masih menanti.

"Ayo minum dulu," suara yang sama terdengar lagi.

Aku merasakan sesuatu. Wanita ini tidak sedang menawarkan pisang goreng yang sejak tadi kumakan sambil mendengar cerita. Ia juga tidak sedang menyuruhku menghabiskan teh yang tinggal seperempatnya.

Ia sedang memberi isyarat.

"Palangkaraya ternyata sudah banyak berubah ya?" kataku.

***

"Kamu tadi tidak mengerti, ya? Neneknya Dio tidak ingin kamu melanjutkan pertanyaan tentang tentara itu," kata Deni.

Aku harus menahan godaan untuk menoleh ke belakang, memastikan mereka tidak mendengar apa yang kami bicarakan begitu keluar pagar.

"Memang kenapa sih?" tanyaku.

"Kakeknya Dio pernah masuk penjara," jawab Deni.

"Mengapa?"

"Tanpa sengaja ia menembak orang," kata Nyai.

"Kok bisa?"

Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Refleks.

"Waktu menjadi tentara, ia ditugaskan di sini," kata Deni. "Di sini tidak ada perang sehingga ia menggunakan senapannya untuk berburu saja. Ia melihat ada yang bergerak-gerak di balik semak, yakin itu rusa sehingga menembaknya. Ternyata nenek tua yang sedang mencari jamur."

Aku pernah mendengar cerita ini. Kakek selalu membawaku ke kebaktian keluarga, kebaktian dari rumah ke rumah sekali seminggu. Suatu hari, setelah doa penutup, sambil menunggu makanan kecil, seseorang bercerita. Di sungai lain pernah ada tentara yang mengira seorang wanita tua sebagai seekor rusa. Ia menggendong sendiri mayat wanita tua itu ke markas.

"Waktu itu ayahnya Dio masih SD," lanjut Deni membuyarkan kenangan bersama kakek.

"Tadi ia senang sekali bisa bercerita tentang daerah asalnya. Tetapi karena kamu mengungkit-ungkit tentara, ia langsung diam."

Bisa kudengar ada nada menyalahkan di suara Nyai.

***

Bisku sudah melewati kompleks. Sudah empat tahun aku tinggal di kota ini. Aku sudah tidak bisa menghitung berapa kali sudah kulewati pagar hidup itu. Mengingat cerita ayah mertua kakakku, aku rasa ia tidak tahu kota ini sudah banyak berubah. Aku tidak melihat bekas terminal lama, Sriwidari bukan lagi kebun binatang, dan ada taman baru di depan terminal Tirtonadi. Lalu kemarin, saat berangkat, aku melihat tiang-tiang tulangan beton di sebelah barat terminal.

Bila bertemu lagi dengannya, bila ia masih mau mau membicarakan kota ini, aku punya seribu satu pertanyaan. Apakah tempat penjualan batu nisan dekat terminal sudah ada sejak dulu? Apakah bencong-bencong itu memang sejak dulu menunggu langganannya sambil duduk di atas batu kubur itu?

***

Purnawan Kristanto's picture

Hukuman konyol

Semoga kita bicara tentang kompleks tentara yang sama. Kompleks tentara dengan pagar hidup itu telah berubah. Dulu, tempat itu terkesan sangar dan menakutkan masyarakat sekitar. Kendaraan yang lewat di depannya tidak boleh melaju kencang, tidak boleh membunyikan klakson keras dan yang terutama tidak boleh menyalip kendaraan di depannya. Jika ini dilanggar, maka kendaraan itu akan dikejar tentara yang sedang piket dan diberi hukuman yang konyol.

Teman saya, pernah mengalami nasib sial ini. Dia menyalip kendaraan lain menggunakan sepedamotornya. Alhasil, dia harus mandi di bak air pelimpahan air hujan, menggunakan sabun yang harus digosok-gosokkan ke badan sampai habis. Saya mendengar ada berbagai hukuman konyol lain, tapi saya tidak bisa memveifikasi.

Setelah reformasi, terutama setelah danjennya terpental karena kasus penghilangan paksa itu, kompleks kesatriyan ini kehilangan aura angkernya.

__________________

------------

Communicating good news in good ways

anakpatirsa's picture

Kompleks yang Sama

Ya, Pak Wawan, kita berbicara tentang kompleks yang sama.

sandman's picture

Kandang Menjangan

Yang teringat bukan bau menjangannya, tapi bau sabun khas ABRI hijau tebal dan keras..  

 

Karena kita sungguh berharga bagi-Nya dan Dia mengasihi kita.

__________________

joli's picture

AP, mengenang kebon rojo

AP lama nian nggak muncul?

Kebon rojo, itu tujuan utama bila Joli ke Solo, melihat gajah. Sri Wedari memang dulunya adalah taman dan kebun binatang. namanya kebon rojo, kebun-nya raja-raja..

Binatang-binatang ketika masih di Kebon Rojo Sri Wedari, jauh lebih kopen (terpelihara) dibandingkan sekarang di Taman Wisata Jurug.

Sri Wedari yang dahulu kala juga lebih indah dan asri dibandingkan yang sekarang, dulu sering mancing dan main air di blumbang besar, sekarang sudah menjadi Boga restoran..  Seandainya boleh kembali ke masa lalu, Solo nampak lebih berseri..

anakpatirsa's picture

Solo yang Membaik

Ya, dua bulan terakhir merupakan bulan terberat. Malas menulis, bahkan menulis satu paragraf pun rasanya melelahkan.

Tentang Solo, saya pikir, berdasarkan apa yang saya dengar. Keadaan Solo beberapa tahun belakangan ini jauh lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya.

Purnawan Kristanto's picture

Yap, Solo membaik


Yap.. Solo memang semakin membaik. Saya kira walikota Jokowi telah berhasil memperbaiki kota Solo. Kota Jogja pun demikian. Walikotanya cukup visioner dalam mengubah kotanya.


__________________

------------

Communicating good news in good ways

joli's picture

kapan Indonesia bisa seperti Solo??

Walita, Wakil Walikota, dan pemerintah kota Solo, periode kepemimpinan Jokowi, memang sungguh luar biasa perkembangannya.. Bener Wawan, pak Wali bukan hanya visioner, yang melihat ke depan, tetapi Jokowi, juga seorang yang melihat ke belakang, menghargai warisan budaya bangsa.. Dalam mencanangkan pembangunan kota Solo, cara pendekatannya juga sangat kekeluargaan, lihat cara pemindahan pasar klithikan dari banjarsari ke pasar pitik, tanpa huru-hara, smooth..dan "bersih".. Kembali ke Sriwedari, pemkot kota Solo, berencana mengembalikan fungsi sebagai kebon rojo (taman raja) ya kalau jaman sekarang. ya kembali menjadi taman kota, sayang-nya ketika berurusan dengan hukum dan ke-blunder-an keputusan2 masa lalu, jadi menthok alias hampir buntu, kasus yang sama dengan benteng van de burg di Gladak, yang sudah menjadi milik perorangan, karena tukar guling di masa lalu.. Nah saatnya masyarakat juga mulai ikut membuka mata, bantu peduli kotanya, ayo mbangun kutha Solo.. AP, katakan kepada bapak tentara, sungai dekat Tirtonadi sekarang sudah menjadi bersih, dan bantaran sungai di fungsikan untul taman. Untuk mensiasati jadi tempat pacaran yang krusek, dipasang lampu sorot yang guede, he..he.. Melihat perkembangan kota Solo, ada banyak suara yang sempat terucap ketika kunjungan menteri : "kapan Indonesia menjadi seperti Solo?" Tepuk tangan terdengar meriah ketika sang menteri mengiyakan dan acungkan jempol,..
anakpatirsa's picture

Terulang Lagi

Hari ini, di sebuah harian lokal, saya mendengar cerita penembakan yang hampir sama terulang lagi setelah puluhan tahun. Ada di koran lokal.

Inilah beritanya, Judulnya, "Dikira Orangutan, Tewas Tertembak Teman"


Akibat salah penglihatan,  teman berburu ditembak hingga tewas. Peristiwa salah tembak itu terjadi di Desa Tumbang Manangei, Kecamatan Katingan Hulu, Kabupaten Katingan, Selasa (22/2)  sekitar pukul 17.00 WIB.

Korban tewas, Ali (25), warga desa setempat. Sementara pelaku--berinisial Ir (45)--usai kejadian menyerahkan diri ke Polsek Katingan Hulu.

Kasus  ini berawal ketika sore itu korban bersama Ir dan anaknya, Maung (23), berburu binatang ke hutan yang berjarak sekitar 1,5km dari Sungai Katingan.

Saat itu korban naik ke pohon tanpa memakai baju dan hanya mengenakan celana. Entah kenapa saat itu pelaku yang sedang berada di semak menengok ke atas pohon. Pria separo baya ini rupanya salah penglihatan. Ia mengira korban adalah seekor orangutan karena saat berada di pohon tidak bergerak.

Pelaku lantas mengarahkan senjata api rakitan jenis dum-duman  ke arah korban. Sekali tembak, korban yang dikira orangutan itu langsung terjatuh tak bergerak. Akibat sebutir peluru bersarang di tubuhnya, korban tewas seketika.

Begitu melihat sasaran tembak terjatuh, pelaku mendekat. Begitu melihat yang tergeletak berlumuran darah teman sendiri, pelaku kaget setengah mati. Ia langsung pulang ke desa memberitahukan kejadian itu, sekaligus menyerahkan diri ke Polsek setempat.

Sepertinya kejadian seperti ini hanya ada di pulau bernama Borneo.

 

joli's picture

efek samping sebuah hobby

Waduh.. sampai mati ya?

Dulu teman-ku juga cerita, ketika berburu bersama, juga salah tembak. Dikira celeng (babi hutan) ternyata teman sediri yang lagi pipis di balik pohon. Untungnya gak mati, tapi pantatnya jadi bolong kena tembakan. Yang tertembak ini orang top yang suka nembak, untung gak di balas tembak..

Itulah efek samping hobby berburu..