Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kisah Seorang Ayah[3]: Pemakaman

anakpatirsa's picture

Saat terbangun, aku kembali sibuk dengan pikiran sendiri, tentang penguburan ayah nanti. Apakah ibu, kakak dan adik-adikku akan menangis. Aku sering melihat, kalau ada kematian, paling tidak tiga kali kerabat menangis. Saat melihat jenazah untuk pertama kali, saat penutupan peti mati, dan saat penimbunannya.

Jam setengah sepuluh orang-orang berdatangan. Mereka membiarkan kami dengan kesibukan keluarga yang berduka, seperti mencari kaos kaki, atau mengepas ikat pinggang pinjaman. Entah siapa yang memberi ide, mungkin Dein, semua anggota keluarga harus memakai kemeja putih. Jam sebelas jenazah harus sudah ada di gereja. Beberapa orang menganggap ayah sudah melakukan sesuatu yang membuatnya layak disemayamkan di depan mimbar sebelum dimakamkan.

Saat menggotong peti jenazah melewati tangga, terjadi sedikit kesulitan. Ini bukan hanya rumah tertua di kampung, tetapi juga rumah paling tinggi. Peti terasa sangat berat. Caranya juga salah sehingga peti sempat miring saat menuruni tangga. Untunglah segera datang bantuan. Saat memasukan peti jenazah ke mobil juga ada kesulitan. Ini bukan mobil jenazah, tetapi ambulan, ada besi penahan tandu di situ. Beruntung akhirnya iringan ini bisa berangkat. Aku, Dein dan keponakan kakek yang melepaskan kepergian ayah dua hari lalu berjongkok di samping peti jenazah ayah.

Gereja, sebuah gereja tua yang menaranya berisi genta berdiameter satu meter. Lonceng peninggalan Belanda yang pernah kutarik ketika semua orang sedang berdoa. Tempat bermain masa kecil di hari minggu sebelum mengenal film silat. Terletak di pinggir sungai, di ujung pasar. Dulu ada tugu di depannya. Sekarang sudah lenyap, terkena longsor. Terakhir kali ke gereja ini kelas tiga SMP, saat paskah, saat mengikuti baptisan sidi.

Tiba-tiba sesuatu terbersit dalam pikiran. Teringat foto ayah, ibu, dan puluhan anggota keluarga yang menghadari pemberkatan nikah itu. Saat itu tanggal 23 Desember 1972. Tiba-tiba aku seperti tersengat listrik, ibu pasti ingat saat itu setelah melihat teras yang sama, pintu yang sama. Sekarang ia pasti ingat, berdiri di teras, tangannya sedang memegang seikat bunga, berdampingan dengan ayah, diapit oleh pendeta, kakek, nenek serta seluruh keluarga. Ia pasti langsung teringat, di sini, di gereja ini, ayah menikahinya.

Sekarang, di sini, di gereja tua ini, ia juga harus melepas kepergian ayah.

Di depan mimbar sudah ada meja dan deretan kursi. Biasanya aku selalu memilih duduk di belakang, tempat tersembunyi. Sekarang tidak punya pilihan, aku harus menerima  kenyataan sebagai anak lelaki tertua. Harus duduk di deretan paling depan, di samping ibu dan Dein. Kalau boleh memilih, aku  memilih duduk di antara si kembar.

Suami Maria yang membacakan sambutan tertulis keluarga, tetapi itu mewakili hati kami semua, salah satu paragrafnya berkata, “Satu hal yang pada awalnya sulit kami mengerti adalah ketika beliau bersama ibu tercinta berjuang menyekolahkan kami. Beliau tiba-tiba sakit, tepatnya tangal 7 Mei 2005. Harapan kami, kami sempat membalaskan apa yang beliau perbuat bagi kami sekalipun kami tahu itupun tidak akan sebanding dengan apa yang telah beliau berikan kepada kami. Dalam situasi seperti ini kami akhirnya sadar bahwa cinta seorang ayah adalah cinta tanpa pamrih.”

Akhirnya ibu menangis. Cukup keras untuk didengar oleh semua orang. Ia pasti ingat saat harus menyekolahkan delapan orang anak, dalam keadaan pas-pasan. Kami juga selalu ingat itu, bukan mengingat kepahitan hidup, tetapi ingat pelajaran dari ayah. Ia mendidik kami dalam kesederhanaan, dan menekankan kami untuk tetap menjadi orang-orang sederhana.

Dein menulis, “…harapan kami, kami sempat membalas apa yang beliau perbuat bagi kami. … dalam situasi seperti ini kami akhirnya sadar bahwa cinta seorang ayah adalah cinta tanpa pamrih.” Aku setuju. Dalam hati aku berkata, “Ayah, kami tidak akan pernah bisa membalas apa yang ayah berikan.”

Tidak! Tidak seorang anakpun pernah bisa membalas budi ayahnya.

Sebagai ayah, ia bukan ayah yang sempurna. Kami bisa menemukan seribu satu kesalahannya, seperti ia juga bisa menemukan seribu satu kesalahan kami. Ketidaksempurnaan ayahlah yang menyadarkan aku akan satu hal. Tidak seorangpun yang benar-benar sempurna. Seperti pernah ia tekankan pada kami, “Jangan pernah berharap ada orang yang benar-benar tidak melakukan kesalahan. Kalau ada, suruh ia jadi Tuhan saja.” Ungkapan yang membuatkan kadang berpikir apakah ini menjadi alasan untuk tidak bisa melakukan lebih? Aku yakin ayah bisa menjadi ayah yang lebih baik lagi, tetapi rasanya sudah cukup. Dalam segala kelemahannya, kami bisa belajar banyak.

Mataku bergerak ke arah jemaat. Gereja penuh, salah satu alasannya, pembawa acara tadi malam berkata, “Saya yakin, sembilan puluh sembilan persen jemaat yang hadir di sini, pernah menjadi murid almarhum. Saya himbau, siapapun yang pernah bertemu beliau di kelas, besok datang ke gereja untuk memberikan penghormatan terakhir. Jangan hanya menunggu di kuburan saja tetapi datanglah ke gereja. Di sana kita akan mendengar pembacaan riwayat hidup beliau.”

Ayah hanyalah seorang guru, mengingat kondisi pendidikan di daerah hulu sungai saat itu, saat ia memulai karirnya menjadi guru SR di tahun 1957, tidaklah heran bila ia pernah mengajari hampir semua penduduk kampung ini dan kampung sekitarnya. Pada tahun enam puluhan dan tujuh puluhan, kampungku merupakan kampung terakhir yang yang ada sekolahnya. Sampai tahun tujuh puluhan, tiga ratus kilometer ke arah hulu, sama sekali tidak ada lagi sekolah.

Kami tidak berani melihat ke arah jemaat saat pembacaan riwayat hidup. Di rumah sudah terjadi perdebatan. Salah satu penghargaan yang ayah terima adalah karena keikutsertaannya dalam menyukseskan gerakan KB Nasional. Kami takut jemaat harus menahan senyum melihat delapan anak duduk di depan jenazah ayahnya yang menerima penghargaan Keluarga Berencana. Fakta tetap fakta. Kami hanya berharap orang-orang di gereja mengerti KB pada tahun 80-an bukan satu keluarga dengan dua anak, tetapi jangan lagi menambah apa yang sudah ada.

Satu jam lebih, acara di gereja selesai.

Sejak di rumah, aku penasaran di bagian mana ayah dimakamkan. Pengurus makam yang menentukannya. Ibu sudah berpesan, tidak perlu mencari tempat yang luas sehingga ada tempat untuknya nanti. Ia sudah berkata, bila nanti mati di Palangkaraya, tidak perlu dibawa pulang kampung. Pengurus makam tidak mau mendengarnya. Ia berkata pada Dein, “Itu hanya sekarang ibumu berkata begitu.” Ia menyediakan cukup banyak tempat kosong di samping kiri ayah, cukup untuk kami sekeluarga. Bila memesannya mulai dari sekarang.

Sisa tangisan di gereja tadi masih terlihat di muka ibu. Tetapi itu tidak mencegah kami tertawa ketika Dein menangkap basah ibu yang malah melirik makam di samping lubang kuburan ayah, tempat kami berdiri. Kudengar Dein berbicara pelan, “Mamah, ngapain lihat-lihat kuburan orang.”

“Melihat siapa tetangga ayahmu,” jawab ibu, cukup keras untuk didengar oleh semua anaknya.

Aku berusaha keras menahan senyum. Cukup berhasil. Siapapun dianggap tidak sopan bila tersenyum di pemakaman ayahnya.

Pemakaman yang lancar dan cepat, mengingat  beberapa acara sudah berlangsung di gereja tadi. Ini hanya acara penimbunan peti mati. Satu lagu, sebuah doa, sebuah pembacaan firman Tuhan dan perkataan, “Tanah kembali ke tanah…” Mengingatkanku bahwa sejak kecil Dein suka menjadi pendeta. Pada acara penguburan kadal yang kami lakukan di kolong rumah. Dein yang pernah ikut ayah melihat penguburan tetangga, menabur tanah, berkata, “Tanah kembali ke tanah,” lalu menyuruhku menimbunnya. Kami tidak tahu kakek sedang duduk di ruang tengah, mendengar semuanya, sebelum aku bisa menimbun lubang kecil itu, ia berteriak, “Hei, kalian berdua jangan macam-macam. Pamali, bisa disampar petir.”

Kembali lamunanku buyar saat beberapa orang bergerak maju, menjumput satu dua gumpal tanah. Melembarkannya ke atas peti jenazah ayah. Aku juga ikut bergerak, mengambil segumpal tanah, melemparkannya dengan penuh penghayatan. Menyadari, sebentar lagi, aku tidak akan pernah bisa melihat ayah lagi. Sebentar lagi, ayah sudah benar-benar tidak ada dalam kehidupan kami. Satu yang membuatku tidak menitikkan air mata lagi. Penderitaan ayah sudah berakhir, dan ini bukan akhir kehidupannya.

Dan ayah selalu ada dalam kenangan kami.

“Ibu siap-siap meletakkan karangan bunga,” bisikku pada ibu. Tadi pagi, saat melihat kami menyusun karangan bunga di ruang tamu, ia berpesan, tidak usah ia ikut meletakkan karangan bunga. Ia tidak pernah melihat orang melakukannya dan tidak mau melakukan kesalahan. Tidak ada  yang menanggapi. Saat ibu ke dapur, aku menyuruh Dein untuk mendampingi ibu nanti. “Biar aku yang bilang pada ibu saat pemakaman nanti,” kataku.

Ibu sama sekali tidak membuat masalah, ia seperti kerbau dicocok hidung. Langsung menurut ketika Dein menarik tangannya. Mereka berdiri di bagian kaki ayah. Dein lalu membantunya meletakkan karangan bunga di depan salib makam. Bisa kulihat ibu menghayati peletakkan karangan bunga ini.

Ia sudah kembali berdiri di sampingku ketika pembawa acara berkata, “Karangan bunga kedua, dari putra-putri almarhum. Silahkan untuk yang mewakili maju.”

Tiara harus maju. Ia anak tertua. Semua orang tahu aturan itu. Tetapi tidak ada yang bergerak maju. Tiara malah tiba-tiba mendekatiku, berkata, “Kenapa kamu tidak maju?”

“Eh.. aku kan bukan anak tertua,” jawabku. Aku merasa sedang ditodong.

“Kamu yang maju. Kamu anak lelaki tertua,” balasnya. Nadanya, aku tahu itu, tidak boleh ada perbantahan

Aku tidak keberatan bila ada pembicaraan sebelumnya. Aku benar-benar tidak punya persiapan mental. tetapi tidak punya pilihan. Ibu lebih beruntung, ia memang akhirnya ditodong, tetapi ada orang yang mendampinginya. Aku? Akhirnya aku maju, berdiri di bagian kaki makam. Mengira petugas itu mengantarkan karangan bunga, seperti yang ia lakukan saat gilaran ibu. Ia tidak bergerak, menunggu. Aku terpaksa mengalah, mendekatinya lalu mengambil karangan bunga. Berbalik, tetapi tidak berhenti lagi di tempatku tadi menunggu. Langsung memutar dan meletakkan karangan bunga di depan karangan bunga ibu. Ratusan pasang mata membuatku benar-benar canggung. Aku sedang menabur bunga ketika Dein menyelutuk,  “Seperti orang memberi makan ayam.”

Aku benar-benar sudah tidak bisa menahan senyum lagi. keluargaku juga tidak. Bahkan para pelayan juga tidak. Ada tawa yang kudengar.

“Satu kosong,” kataku dalam hati.

Bersambung

joli's picture

sama, dulu dan sekarang..

Teringat foto ayah, ibu, dan puluhan anggota keluarga yang menghadari pemberkatan nikah itu. Saat itu tanggal 23 Desember 1972. Tiba-tiba aku seperti tersengat listrik, ibu pasti ingat saat itu setelah melihat teras yang sama, pintu yang sama. Sekarang ia pasti ingat, berdiri di teras, tangannya sedang memegang seikat bunga, berdampingan dengan ayah, diapit oleh pendeta, kakek, nenek serta seluruh keluarga. Ia pasti langsung teringat, di sini, di gereja ini, ayah menikahinya.

Sekarang, di sini, di gereja tua ini, ia juga harus melepas kepergian ayah.

 

Terharu, melihat teras yang sama, pintu yang sama, dulu membawa seikat bunga, sekarang menabur bunga, dulu mengandeng sekarang melepas.., seperti kata pengkhotbah : ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk melepaskan pelukan...