Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kisah Babi

anakpatirsa's picture

Ibu pasti sibuk melakukan sesuatu sehingga lupa memberinya makan. Membuat makhluk itu berteriak sekeras-kerasnya dengan jeritan yang lebih memilukan daripada jeritan babi yang sedang disembelih. Ibu pasti langsung meninggalkan apapun yang sedang ia kerjakan sambil menggumamkan kalimat yang biasa ia ucapkan, "Ya, ya, aku dengar." Jeritan itu tidak akan berhenti sampai ia melihat ibu datang dengan seember makanan. Seolah-olah tahu, tetangga yang mendengar jeritannya akan bergumam, "Mau memelihara babi tetapi tidak sanggup memberinya makan."

Jeritan itu adalah teriakan aib. Mungkin setiap babi di kampung ini tahu, membiarkannya berteriak kelaparan merupakan sesuatu yang sangat memalukan. Pemiliknya bakalan datang tergopoh-gopoh dengan seember makanan. Tetapi ada satu yang tidak mereka ketahui, kadang-kadang bukannya seember makanan yang datang, melainkan sebilah kapak. Ada yang sampai kelupaan menyiapkan makanan babinya sehingga saat menemukan ember makanan itu kosong, bukannya tergopoh-gopoh mencari makanan. Ia malah menyambar kapak yang selalu tersedia di dapur. Jadi, kami tidak heran bila mendengar jeritan babi yang tiba-tiba terputus. Artinya sebentar lagi kami bisa membeli daging babi dengan harga murah, daging babi yang mati mendadak harganya akan sangat jatuh.

"Aku datang... aku datang," kata ibu sambil tergopoh-gopoh menuruni tangga. Ia pasti berharap babinya langsung diam mendengar suaranya.

Kandang babi itu terletak di belakang rumah. Tidak sampai sepuluh meter dari karayan, teras terbuka berlantai ulin di belakang rumah. Hampir setiap rumah panggung memilikinya. Aktivitas kehidupan sering terjadi di sini, apalagi mengingat setiap keluarga memiliki tanah yang memanjang di belakang rumahnya. Satu atau dua drum penampung air hujan selalu ada di atas setiap karayan. Mengingat sungai tetap menjadi bagian penting kehidupan kami, drum di atas karayan itu hanya untuk membersihkan kaki atau cangkul sepulang dari kebun, bukan untuk keperluan MCK.

Begitu pentingnya fungsi karayan ini, beberapa orang mendirikan kandang babi di ujungnya. Ini memudahkan pemberian makanan, tidak perlu jauh-jauh turun ke bawah. Beberapa keluarga, termasuk kami, memiliki kadang ayam di bawah dapur. Bukan di bawah karayan yang tidak ada atapnya. Kami tinggal menjatuhkan beras atau padi dari sela-sela papan lantai. Mengapa kandang babi kami tidak terletak di ujung karayan, aku hanya bisa menebak. Sudah ada kandang ayam di situ, kandang khusus untuk anak ayam serta ayam yang mau dijual. Sebatang rambutan menaunginya, sekaligus menjadi tempat bertengger ayam yang tidak suka tidur di bawah dapur.

Tidak ada aturan yang menetapkan apakah karayan harus diisi kandang babi atau kadang ayam. Semua orang boleh menentukan mana yang ia sukai, tetapi ia harus ingat satu aturan. Jika sudah ada kandang ayam di ujung karayan, tidak boleh ada kandang babi disitu, begitu juga sebaliknya.

"Pamali membuat kadang babi bersebelahan dengan kandang ayam," kata para tua-tua kampung.

Kembali aku memandang ke arah kandang babi. Binatang ini langsung diam saat ibu mendekat. Tidak diam sebetulnya, hanya mengganti jeritan memilukan itu dengan dengusan aneh. Menyambut ibu dengan mengeluarkan moncongnya dari sela-sela balok ulin. Aku bisa melihatnya dengan jelas dari atas rambutan yang dahannya sedang kubersihkan karena menyentuh atap dapur.

Kandang babi ini terletak tepat dibawah pohon asam, cukup sederhana untuk seekor babi. Sebuah palungan dari batang ulin tampak kosong. Bisa kulihat jelas karena tidak ada yang menghalangi pandanganku. Sekarang bukan musim buah. Jika sudah musim durian,  aku tidak akan bisa melihat apa-apa. Pasti ada atap di atas kandang sehingga bisa kudengar bunyi khas saat buah jatuh menghantam atap daun rumbia.

Aku sudah tahu isi ember yang sebentar lagi berpindah ke palungan itu. Sisa-sisa makanan tadi malam dan gulai batang pisang. Pohon yang bertebaran di kebun belakang. Itu bukan menu tetap, kadang keladi yang banyak tumbuh liar di pinggir sungai menggantikan batang pisang yang dimasak dalam blek bekas minyak goreng. Di musim panen, menunya khusus, dedak. Orang yang mengolah tanah kami di luar kampung memberikan padi bagian kami. Lalu waktu pulang dari penggilangan, kami membawa pulang bonusnya, dedak.

Ibu hanya memelihara satu ekor babi setiap tahun. Biasanya pada bulan Juni atau Juli, ia membeli seekor anak babi. Setahun kemudian, di bulan yang sama, ia menjualnya lagi. Dengan demikian, selalu ada uang ekstra saat menghadapi tahun ajaran. Kebiasaan ini tetap berlanjut saat kami kuliah, seperti sekarang ini. Saat kami pulang lagi tahun depan, di bawah pohon asam ini akan ada lagi babi lain yang siap dijual.

Ia yang memelihara babi ini, termasuk membersihkan kandang dan memberinya makan. Babi ini begitu mengenalnya. Bila ibu pergi ke kebun belakang, babinya selalu bangun dan mengeluarkan suara ribut. Menyapa ibu dengan mocong yang keluar dari sela-sela balok ulin. Padahal kalau kami yang lewat, satu milimeterpun tubuhnya tidak bergerak. Seolah-olah ada hubungan khusus di antara mereka. Mungkin karena ibu tidak hanya memberi makan babinya. Ibu melakukannya sambil berbicara. Ada saja kalimat yang ia ucapkan, seperti, "Ayo makan yang banyak," atau "Nanti kamu kumandikan."

Seperti sekarang ini. Sambil menumpahkan isi embernya ke dalam palungan, ia berkata, "Ayo makan, ayo makan. Lupa aku tadi." Bisa kulihat ibu tidak langsung pergi. Ia menunggu babinya makan. Ibu pasti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin bertanya-tanya, apakah babinya tahu, beberapa hari lagi kandang ini akan kosong.

Minggu depan, aku dan ketiga kakakku akan kembali ke kota.

Setiap kali babinya dijual, ibu akan pergi sejauh-jauhnya. Seringkali ia pergi ke sungai. Entah apa yang ia lakukan di sana. Mungkin hanya sekedar membersihkan rumput di tepi sungai. Menyibukkan diri di sana, dan baru pulang setelah yakin si pembeli sudah pergi dengan babi yang akan ia potong besoknya.

Beberapa minggu akan terjadi kekosongan. Ia akan mencari siapa-siapa saja yang memiliki anak babi yang sudah disapih. Biasanya butuh dua atau tiga minggu untuk mendapatkan seekor anak babi. Inilah kesempatan membersihkan kandangnya. Mengeratkan susunan balok-balok ulin yang tersusun tanpa paku itu. Biasanya balok-balok ini sedikit bergeser, terutama karena adanya pergulatan terakhir. Pergulatan karena babi ini melawan saat pembeli berusaha menjerat keempat kakinya dengan tali.

Aku tetap diam melihat ibu memandang babinya makan. Ia tidak mengucapkan sepatah katapun. Ibu juga tidak menyadari, aku melihat semuanya dari atas pohon rambutan.

***

Lusa, kami akan kembali ke kota. Saat menjual babi itupun sudah tiba. Pembeli kali ini orang baru yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

Ibu hanya menunggu di teras depan saat pria kecil itu pergi ke belakang rumah. Calon pembeli ini melihat ke dalam kadang itu dengan pandangan seorang ahli, lalu memandang sekeliling kandang. Lima menit kemudian, ia mengajakku kembali ke depan.

"Besok pagi aku datang untuk mengambilnya," katanya setelah ada kesepakatan harga.

Semua setuju.

Pagi baginya ternyata tidak sama dengan paginya kami. Ia datang jam lima pagi, saat hari masih terang-terang tanah dan aku masih bersembunyi di balik selimut.

"Sebentar, aku mau memberi makan babiku dulu," kata ibu. Pasti sudah merencanakan untuk pergi sejauh-jauhnya setelah itu.

"Tidak usah," jawab calon pembeli kami.

Blak-blakkan ia melanjutkan, "Makanya aku selalu datang pagi-pagi, supaya orang tidak sempat memberi makan babinya waktu mau dijual."

Ia lalu bercerita bagaimana seringnya mendapati hal-hal yang tidak masuk akal di lambung babi yang dipotong, "Kelihatan sekali orang yang menjual babi kepada saya itu suka memaksa babinya makan sebanyak-banyaknya."

Tentu saja aku sudah mendengar hal-hal semacam ini di kota. Menurut apa yang aku dengar, babi kecap dari babi yang diperlakukan seperti ini tidak terlalu enak. Cerita dia yang sedikit disertai kemarahan menyadarkanku pada keadaan kampung kami sekarang. Dulu, sebelum pendatang meramaikan kampung ini, kami bisa meninggalkan cangkul di kebun. Kalau sudah malam, sepeda tidak perlu dikunci atau dimasukkan ke dalam  rumah.

Pamali membuat orang tidak berani mengambil sesuatu yang bukan miliknya.

Dulu, kami tidak perlu memeriksa timbangan seorang pedagang emas. Jika ia berkata enam gram artinya enam gram. Tidak berani ia membohongi pelanggannya karena nasib sial selalu mengintai penjual emas yang membohongi pelanggannya. Kami juga boleh meletakkan kayu bakar di pinggir jalan setapak di luar kampung, tidak bakalan ada yang berani mengambilnya. Mencuri kayu bakar merupakan perbuatan paling hina, hanya manusia tanpa harga diri yang mau melakukannya.

Tetapi suatu hari, kami menyadari kesialan atau ketidaklayakan hidup itu hanya cara untuk menakut-nakuti anak kecil. Entah karena melihat pendatang yang melakukan sedikit trik dan ternyata tidak kena sial, kamipun mulai mencobanya. Ternyata tidak terjadi apa-apa, pamali itu ternyata hanya untuk menakut-nakuti anak kecil.

Petani karetpun melihat karet yang sudah dalam cetakan setebal lima belas centimeter itu bisa diisi dengan batu. Membuat para juragan karet sepakat, tidak lagi menerima karet yang sudah berbentuk tahu bila tebalnya lebih dari lima centimeter. Bukan hanya karena susah diangkut, tetapi batu-batu besar di dalamnya seringkali merusakkan mesin-mesin mereka.

Zaman telah berubah, seharusnya tadi aku tidak boleh menyalahkan para pendatang. Mungkin kami sendiri yang belajar otodidak. Semua telah berubah, bahkan sampai urusan babipun, seorang tukang daging harus berhati-hati. Sayang ia tidak mengerti, ibu tidak pernah bermaksud menambahkan berat babinya hari ini. Bukan! Ibu hanya merasa bersalah kalau sampai menjual babinya tanpa memberinya makan. Ibu tidak mau melepas babinya dengan perut kosong, seperti ia tidak pernah membiarkan kami pergi kemanapun tanpa mengisi perut dulu.

Memang aneh dan sulit dimengerti. Tetapi aku bersyukur karena ada kata sepakat. Ibu boleh memberi makan babinya. Syaratnya, nanti saat ditimbang, babi ini beratnya akan dikurangi dua kilo.

Kampungku memang sudah berubah. Mungkin sedang menuju era baru.

***

ely's picture

zaman

semakin hari, semakin berubah, jika di sana berat ditambahkan, maka di sini jumlah dikurangkan,
__________________

Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...

hentak's picture

Ha... ha... ha... Jadi ingat

Ha... ha... ha...

Jadi ingat waktu tugas jadi penyuluh KB di kalimantan tengah, kabupaten kapuas di sepanjang sungai Rungan. Kalau ada pesta, karayan dibuat pada  penuh, orang pada ngumpul di situ. Pernah sampai karayan yang sampai pada runtuh.

Pada jaman itu (80-an) orang-orang dayak masih pada lucu, kadang terkesan polos sedikit konyol

Masa kandang babi tidak boleh berdampingan sama kandang ayam, tetapi dapur boleh di samping kandang babi.