Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
kemiskinan:perspektif & tanggung jawab kristiani
PENGANTAR
Bulan Maret 2007 yang lalu Pemerintah melalui Badan Pusat Statistik melaksanakan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Kegiatan berkala tersebut bertujuan memotret kondisi sosial-ekonomi masyarakat, yang akan menjawab juga posisi terakhir kemiskinan di Indonesia. Angka resmi jumlah masyarakat miskin saat ini menurut Bustanul Arifin dalam tulisannya di harian Kompas 19 Februari 2007 adalah 39,1 juta orang (17,75%) dengan kisaran konsumsi kalori 2.100 kilokalori (kkal) atau garis kemiskinan sekitar Rp. 152.8457 per kapita per bulan; jumlah itu diukur dari beaya memenuhi bahan pokok pangan dan papan minimum.. Jumlah penduduk miskin ternyata semakin bertambah setiap tahun sejak data pada Februari 2005 dengan jumlah 35,10 juta, lalu data pada Maret 2006 ada 39,05 juta sampai data Februari 2007 dengan 39,1 juta penduduk miskin.
Kemiskinan menurut ilmu-ilmu sosial dapat dibedakan antara kemiskinan mutlak dan relatif yang pada umumnya saling berkaitan. Kemiskinan mutlak berarti bahwa kebutuhan-kebutuhan pokok primer seperti pangan, sandang, papan, kesehatan (air bersih, sanitasi), kerja yang wajar dan pendidikan dasar tak terpenuhi; apalagi kebutuhan-kebutuhan sekunder seperti misalnya hak berpartisipasi, rekreasi atau lingkungan hidup yang menyenangkan. Jadi orang-orang miskin hidup dalam kemelaratan yang sangat jelas. Bentuk yang paling ekstrem adalah kelaparan yang bisa mengakibatkan kematian. Orang miskin juga lebih cepat mati kalau terkena oleh suatu penyakit karena badanya kurang sehat. Karena itu bagaimanapun juga kemiskinan mutlak harus diberantas.
Kemiskinan relatif berkaitan dengan pembagian pendapatan nasional dan berarti terdapat perbedaan yang mencolok antara berbagai lapisan atau kelas dalam masyarakat. Dengan demikian, pasti ada orang yang disebut miskin dibandingkan mereka yang sangat kaya raya. Pada umumnya terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, orang yang relatif miskin itu juga miskin secara mutlak. Perkiraan kasar menggambarkan bahwa 3 % adalah orang yang kaya raya dan sekaligus berkuasa; 17% adalah orang kelas menengah yang hidup lebih daripada cukup dan biasa disebut relatif kaya; 40% adalah orang yang hidup pas-pasan yang bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok mereka tetapi selalu terancam masuk kelompok orang miskin mutlak kalau tertimpa oleh musibah seperti penyakit, kecelakaan atau pemutusan hubungan kerja; dan 40 % adalah orang melarat mutlak yang tidak bisa hidup secara layak dan kecil peluangnya untuk keluar dari keadaan ini. Jadi dalam hal ini masalah pemerataan jauh lebih mendesak dalam situasi di mana masih ada banyak orang dalam kemelaratan mutlak.
Ketidakadilan telah mengakibatkan penderitaan bagi orang-orang miskin sehingga mereka yang miskin tidak mempunyai apa yang seharusnya menjadi miliknya. Penderitaan yang diakibatkan kemiskinan telah menyebabkan mereka berusaha mengubah keadaan buruk ini dengan alternatif pemecahan yang beragam. Rakyat miskin dapat melakukan protes-protes terhadap “kelas yang berkuasa” yang dianggap sebagai penyebab penderitaan mereka. Mereka mengikuti program pemerintah dan menerima bantuan karitatif seperti BLT (Bantuan Tunai Langsung sebesar Rp. 100.000/bulan. Atau terkadang mereka bergabung dalam berbagai kelompok pengharapan mesianis, suatu keyakinan dan kerinduan akan datangnya seorang juruselamat atau ratu adil yang akan menghadirkan masa depan yang lebih baik secara radikal berbeda dengan konteks historis masa kini yang menindas. Sebagai bangsa yang religius, mungkinkah kita sebagai Gereja bersama umat beragama lainnya menutup mata terhadap kenyataan kemiskinan yang telanjang di hadapan kita? Benarkah bahwa penyebab kemiskinan dikarenakan faktor kemalasan dalam diri manusia itu sendiri? Ataukah pemerintah yang diktator dan otoriter turut menyebabkan dan melanggengkan kemiskinan? Dapatkah disetujui jika dikatakan kemiskinan sebagai hukuman Allah terhadap dosa manusia? Bagaimanakah sebenarnya iman Kristen yang bersumber pada Alkitab berbicara soal kemiskinan? Benarkah anggapan bahwa kemiskinan merupakan bentuk kesalehan kristiani? Lalu, bagaimanakah para teolog Indonesia berbicara soal tema kemiskinan? Akhirnya, penulis akan memberikan kesimpulan dan refleksi atas semua uraian mengenai kemiskinan.
KEMISKINAN: Perspektif alkitabiah
Kemiskinan merupakan salah satu tema sentral baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Kemiskinan dalam Alkitab pada satu pihak menunjukkan sikap dan hubungan manusia dengan sesamanya dan di pihak lain antara manusia dengan Allah. Perjanjian Lama menggunakan istilah rash untuk orang miskin. Orang miskin ini bisa berarti juga ebyon, pengemis, orang yang berkekurangan dan menunggu orang lain untuk memberi. Bisa juga dal, orang lemah atau kaum proletar. Orang miskin dapat disebut juga ani, mereka yang sudah kerja berat tetapi tidak punya apa-apa, mereka yang terhina. Akhirnya orang miskin bisa juga berarti anaw, mereka yang merendahkan diri dihadapan Allah (humble before God).
Kemiskinan mereka disebabkan karena ketidak adilan hidup mereka tertindas karena kejahatan penguasa (lihat Ayub 24:2-14). Kemiskinan bukan disebabkan oleh takdir atau nasib, melainkan karena perbuatan jahat penguasa (Amos 2:6-7). Yesaya mengindentifikasikan bahwa orang miskin sebagai orang yang dirampok hak-haknya (Yesaya 10:1-2). Nabi-nabi pun mencela perlakuan yang kejam kepada orang miskin seperti eksploitasi dan pratek dagang yang curang (Hos. 12:8; Am. 8:5; Mik. 6:10-11; Yes. 3:14; Yer. 5:27; 6:12); mereka yang dirampas tanah (Mik. 2:1-3; Yeh. 22:29; Hab. 2:5-6): mereka yang tidak mendapatkan pengadilan yang jujur (Am. 8:5; Yer. 22:13-17; Mik 3:9-11; Yes 5:23; 10:1-2); Perjanjian Lama mencatat bahwa Allah membebaskan bangsa Israel dari perbudakan yang membuat mereka hidup menderita. “Biarkan umatKu pergi agar mereka dapat beribadah kepadaKu (Kel. 4:23). Tindakan pembebasan Allah bagi bangsa Israel ini dapat diartikan bahwa Allah berkarya dalam dunia untuk menghancurkan kesombongan manusia (Ul 7:7-8). Tujuan utama hukum Musa mencegah ketidakadilan terjadi (Ul. 6:20-25) agar supaya tidak ada kemiskinan di antara umat Israel. Dalam pemerintahan monarki, raja Israel bertugas untuk melindungi orang miskin dari eksploitasi (Ams. 31:1-8) dan menjamin keadilan bagi mereka (Yes. 11:4).
Perjanjian Baru mempunyai empat kata untuk “miskin”, yaitu ptokhos (34x), penes (1x), penikhros (1x) dan endees (1x). Ptokhos berarti orang miskin, seseorang yang tidak memiliki sesuatu yang penting untuk hidupnya atau orang yang bernasib malang sehingga mengemis. Kata ptokhos selalu berarti orang yang secara material miskin. Mereka tidak hanya tanpa harta milik. Mereka juga tidak mendapat pendidikan. Mereka tidak punya tempat dalam masyarakat, tidak terpandang dan tidak terpakai. Mereka miskin baik dalam arti ekonomis maupun dalam arti sosial. Kitab-kitab Injil mencatat bahwa orang miskin bersama dengan orang buta, orang lumpuh, orang kusta dan orang tuli (Mat. 11:5; Mat. 25:35; Luk. 14:13-21; 16:20; Mrk. 10:46-52). Yang disebut miskin tidak hanya pengemis, yang memelas karena kelemahan fisik, tetapi termasuk juga buruh harian yang menganggur, budak yang melarikan diri; orang-orang yang mengungsi dan orang-orang yang harus lari karena tidak bisa membayar utang
Pada zaman Yesus, di Palestina kehidupan orang tidak hanya berat tetapi sungguh-sungguh miskin. Rakyat dihisap oleh orang Romawi, khususnya melalui pajak. Tidak mengherankan bila pegawai pajak sangat dibenci oleh seluruh rakyat dan dipandang sama dengan pendosa. Mereka yang miskin sungguh-sungguh lapar, sakit dan haus. Yesus sendiri mengidentifikasikan dirinya dengan mereka yang miskin, “Anak manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaNya” (Mat. 8:20); dan Lukas menceritakan bahwa sesudah kelahiranNya, Yesus “dibaringkan di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Luk 2:7). Oleh karena itu Paulus berkata “Ia menjadi miskin, sekalipun ia kaya” (1 Kor 8:9). Yesus benar-benar senasib dengan orang miskin. “Roh Tuhan ada di atasKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin (Luk. 4:13). Nubuat nabi Yesaya (61:1) yang dikutip Lukas bertujuan untuk menjelaskan misi Yesus.
Dalam khotbahnya di Bukit, Yesus berkata “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah; karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat. 5:3; Luk. 6:2-23) Kerajaan Allah sudah datang. Allah menyatakan diriNya. Kaum miskin bukan lagi kaum tertindas, yang tidak mempunyai kedudukan dan hak suara dalam masyarakat. Tuhan tidak menerima lagi ketidakadilan. Kedatangan Kerajaan Allah berarti pengakhiran kemiskinan, penghapusan kemalangan. Jelas bahwa kebahagiaan orang miskin sebagaimana ucapan Yesus dalam Matius 5:3 bukan dalam pengertian memilih hidup untuk miskin secara material, melainkan hidup dalam ketaatan kepada Allah sekalipun mengalami penderitaan akibat penindasan dari pihak orang yang kuat di dunia ini.
PANDANGAN TEOLOG INDONESIA TENTANG KEMISKINAN
Kemiskinan telah menjadi keprihatinan teolog-teolog Indonesia sehingga mereka berusaha mencari jawab bagaimana sesungguhnya iman Kristen dan Gereja menyatakan sikap dan kepeduliannya. Pemikiran dua teolog Protestan yaitu Pdt. Dr. S.A.E. Nababan dan Pdt. Dr. A.A. Yewangoe, akan dibentangkan berdasarkan pendapat teologis mereka masing-masing terhadap masalah kemiskinan yang tetap aktual sampai sekarang Keduanya sengaja dipilih sebab mereka aktif terlibat dalam kegiatan ekumenis berskala nasional sebagai pucuk pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI, dulu DGI). Paling tidak pemikiran teologis mereka telah mewarnai misi PGI dalam konteks Indonesia yang majemuk dan bagaimana Gereja turut terlibat aktif menanggulangi masalah kemiskinan dalam kerjasama dengan Pemerintah yang berkuasa.
1. Pdt. Dr. S.A.E. Nababan
S.A.E Nababan adalah seorang pendeta (emeritus) Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), dengan latar belakang Lutheran. Ia memperoleh doktor teologinya di Universitas Heidelberg tahun 1962 dengan disertasinya, Kurios Bekenntnis und Mission bei Paulus (Pengakuan akan Tuhan dan Misi pada Paulus). Pada pemerintahan Suharto, pernah menjabat sebagai Ephorus HKBP dan salah satu Ketua dari Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI. .
Nababan berpendapat bahwa masalah kemiskinan telah muncul kembali di Indonesia, khususnya dalam bagian kedua dari dasawarsa revolusi yang disalah-gunakan oleh Partai Komunis Indonesia untuk keuntungan politik mereka. Menurutnya, terdapat 3 sikap dalam melihat kemiskinan: (1) memandang kekayaan sebagai sesuatu yang jahat dan nilai-nilai material sebagai hal yang bertentangan dengan nilai-nilai rohani; (2) hidup dalam dikotomi: iman tidak mempunyai hubungan apapun dengan hal-hal materi; dan (3) memandang kekayaan sebagai tujuan hidup kemiskinan sebagai musuh yang berbahaya. Sikap-sikap ini muncul akibat reaksi yang menganggap kemiskinan sebagai kehendak Allah dan bahkan menyukakan Allah.
Kemiskinan bagi Nababan, tidak boleh cepat-cepat dihubungkan dengan kehendak Allah, sebagaimana teologi pietisme dan doktrin yang berlebihan tentang pemeliharaan Allah. Terdapat penafsiran yang keliru dan harafiah terhadap ayat-ayat Alkitab yang dianggap sebagai dasar bagi pandangan bahwa Allah menginginkan manusia miskin, misalnya 1 Samuel 2:7a, Ayub 1:21 dan Amsal 22:2. Nababan menafsirkan bahwa 1 Samuel 2:7a tidak mengatakan bahwa Allah menjadikan orang kaya atau miskin, sehingga kemiskinan selalu dan hanya disebabkan oleh Allah. Sebaliknya di situ dikatakan bahwa Allah dapat membuat manusia kaya atau miskin. Kata dapat menunjuk kepada kuasa Allah, bukan suatu derajat kesewenang-wenangan Allah, yang menjadikan orang kaya atau miskin. Dengan kata lain, tanggung jawab untuk menjadi kaya terletak pada manusia sendiri.
Kitab Ayub 1:21, menurutnya bukanlah suatu sikap menyerah kepada nasib melainkan suatu pengakuan iman dan Amsal 22:2 bukanlah suatu pernyataan yang mengatur status ekonomi manusia, melainkan suatu pernyataan yang secara jelas mengungkapkan bahwa Allah adalah Khalik manusia, baik kaya maupun miskin. Karena itu, Allah tidak menciptakan orang kaya dan miskin, melainkan orang-orang yang kaya dan miskin. Penekanannya harus diletakkan pada manusia, dan bukan pada status ekonomi manusia. Adalah hak istimewa Allah jika orang miskin dapat dipakai sebagai alatNya yang unik di tanganNya
Nababan dengan yakin melihat bahwa penyebab kemiskinan terletak dalam kemalasan dan usia tua (Am. 6:9-11; bnd 24:30; 19:15), kemabukan dan kerakusan (Am 21:17; 23:20-21), eksploitasi jahat terhadap sesama (2 Sam 11-12), yang berpengaruh langsung bagi kehidupan sosial ekonomi. Kemiskinan dapat juga diakibatkan oleh dominasi kolonial (Kel 1) dan bencana alam (Kel 10:4-5). Kemiskinan tidak boleh secara otomatis disamakan dengan kesalehan, meskipun dalam kesalehan Yahudi terdapatorang miskin yang disebut “adil, benar dan saleh”. Mereka disebut demikian karena mereka telah miskin dan membuat dirinya sepenuhnya tergantung kepada Allah.
Jadi kemiskinan tidak dapat dilihat sebagai suatu kebajikan Kristen, meskipun misalnya didasarkan ucapan Yesus dalam khotbah di Bukit. Kata Yunani ptokhos yang dipakai dalam KhotbahNya mengacu pada tindakan menggali lubang, yang berarti bekerja keras untuk diri sendiri. Ini berarti kata ptokhos berusaha meng-gambarkan orang-orang miskin dan menderita akibat keadaan-keadaan mereka, namun yang dalam kemiskinannya membuat dirinya bergantung kepada Allah. Mereka inilah yang dalam pengharapannya ditujukan kepada Allah, disebut “berbahagia”. Karena itu Yesus tidak setuju dengan kemiskinan, ketika Ia menyebut orang miskin “berbahagia”. Sebaliknya, jelas sekali bahwa Yesus tidak mengagungkan kemiskinan. Allah mengalahkan kemiskinan (Mat. 11:4) Jadi pandangan yang memahami kemiskinan sebagai suatu kebajikan harus ditolak.
Cerita tentang orang muda yang kaya dalam Markus 10:21 tidak boleh ditaf-sirkan sebagai satu di antara banyak kemungkinan yang dapat dipilih manusia untuk mencapai kesempurnan dalam hidup, atau salah satu keputusan moral, melainkan suatu panggilan untuk mengambil keputusan, yakni ketaatan atau pemberontakan ter-hadap Allah. Mengenai soal keadilan, Nababan berpendapat bahwa kaum miskin harus dihargai harkat dan martabatnya baik dalam prinsip maupun praktek hidup. Tegasnya, jurang antara yang miskin dan yang kaya harus dihapuskan, sebab jika tidak, masyarakat akan menghadapi bahaya besar. Kemalasan pun harus dihapuskan.
Kemiskinan tidak dapat dianggap sebagai hukuman atas dosa, walaupun kenyataannya kemiskinan jelas merupakan hasil dan konsekuensi kuasa dosa dalam dunia ini. Kemiskinan di Indonesia sangat riil saat orang miskin kekurangan dalam soal pangan dan sandang. Karenanya, kemiskinan tidak dapat dilihat sebagai suatu kebajikan Kristen ataupun penghukuman atas dosa. Pemecahan masalah kemiskinan tidak dapat dilakukan terpisah dari iman kepada Yesus Kristus. Dalam kenyataan salib, Yesus telah mencengkram semua kemiskinan manusia dan mengubahnya menjadi suatu berkat dan hidup berkelimpahan bagi setiap orang.
2. Pdt. Dr. A.A. Yewangoe
A.A. Yewangoe adalah seorang pendeta Gereja Kristen Sumba (GKS) dengan latar belakang Calvinis dan berasal dari Mamboru, NTT. Doktor teologinya diselesaikan pada tahun 1987 di Universitas Vrije . Disertasinya telah dibukukan dengan judul Theologia Crucis di Asia: Pandangan-pandangan orang Kristen Asia mengenai penderitaan dalam kemiskinan dan keberagamaan di Asia. Sekarang ini, Yewanggoe menjabat sebagai Ketua Umum PGI
Yewangoe melihat bahwa kemiskinan menjadi masalah utama bangsa-bangsa Asia yang religius. Teolog-teolog di Asia antara lain seperti Vengal Chakkarai, M.M. Thomas, S.J. Samartha, Jong Youg Lee, Kazoh Kitamori, Kosuke Koyama, J.L. Ch. Abineno dan Eka Darmaputera, telah mengembangkan refleksi teologis seputar kemiskinan dan religiositas dalam kaitan dengan “kemanusiaan yang seutuhnya” (keselamatan). Berbicara soal kemiskinan dan religiositas multi wajah, Yewanggoe berpendapat pentingnya makna pembebasan dan inkulturasi agar Gereja dapat menemukan soteriologi (keselamatan) bagi bangsa Asia. Belajar dari misionaris Barat yang menilai budaya-budaya lokal masyarakat di Asia sebagai “musuh” Injil, telah mengakibatkan keterasingan Gereja terhadap konteksnya. Yewanggoe berkeyakinan bahwa Asia menyediakan soteriologi “bukan Kristen” yang melimpah dalam konteksnya dan harus ditemukan agar Gereja dapat menjawab harapan dan kerinduan bangsa Asia tentang keselamatan dari penderitaan dan perwujudan negara yang adil makmur.
Para teolog Asia, menurut Yewangoe memandang Yesus sebagai Dia yang bersimpati dan berdiri pada pihak orang-orang yang menderita, yakni mereka yang tersingkir dan ditindas. Dapat dikatakan bahwa inilah cara solidaritas yang diper-lihatkan Yesus. Pada pihak lain, metode-metode untuk melepaskan diri dari pen- deritaan dan untuk mencapai keselamatan dan pembebasan yang ditawarkan oleh soteriologi-soteriologi “bukan Kristen” harus ditempatkan di bawah kritik dari Dia yang Tersalib ini. Pada saat yang sama, Dia yang Tersalib itu juga harus berfungsi sebagai kritik terhadap soteriologi “Kristen” yang secara historis telah mengambil bentuk kolonialisme, imperialisme, neo-kolonialisme dan neo-imperialisme, di mana Kristus “diteruskan” sebagai Kristus yang Perkasa. Menghadapi masalah penderitaan akibat kemiskinan, penting untuk melakukan dua tindakan pembebasan atau penebusan yakni aksi , yakni tindakan menyingkirkan penderitaan dan kontemplasi yaitu kesadaran untuk menemukan masa depan di tengah penderitaan. Aksi dan kontemplasi harus dilakukan secara berbarengan sehingga ketimpangan bisa dihindari. Aksi tanpa kontemplasi akan mengarahkan kita pada radikalisme, sementara kontemplasi tanpa aksi akan membawa kita kepada keadaan tanpa tujuan atau pementingan diri sendiri.
Di dalam hakikatNya sebagai kasih, Allah benar memang turut menderita, bersama manusia tetapi bukan berarti manusia harus tetap tinggal dalam penderitaannya sebab pada saat yang sama Allah berdiri di luar penderitaan manusia. Transendensi ini mengacu kepada Allah yang berarti kedudukan Allah sebagai ungkapan kuasaNya harus pula dilihat sebagai ciri kasihNya. Dengan begitu jelas, bahwa Allah dalam kasihNya benar telah ikut menderita sebagai Juruselamat dan sekaligus menjadi Pemimpin dalam sejarah dengan kuasaNya. Menekankan kedudukan Allah sebagai “yang menderita” dengan mengorbankan kuasaNya, akan menciptakan kemungkinan menjadikan Dia sejenis “berhala” sebagaimana dalam pemahaman agama suku. Di pihak lain, menekankan kuasaNya dengan mengorbankan kedudukanNya sebagai “yang ikut menderita”, bisa membawa pada penyalah-gunaan kuasa demi kepetingan diri sendiri, khususnya oleh mereka yang mengingini kekuasaan mutlak.
Terdapat kecendrungan untuk menjadikan penderitaan dan kematian Yesus sebagai sesuatu yang indah dan menarik atau kultus penderitaan (dolorisme) sehingga manusia yang menderita tidak menyadari dosa yang diperbuatnya tidak berkenan bagi Allah. Tanpa pengampunan dosa, usaha manusia melepaskan diri dari penderitaan akan membawa dirinya kepada radikalisme dan estremisme. Yang dibutuhkan para pengikut Yesus bukanlah dolorisme, melainkan mistisime salib, yakni keterlibatan dalam masalah-masalah manusia yang konkret dan tidak mengharapkan ganjaran. Yewanggoe berpendapat bahwa pandangan yang melihat Yesus sebagai Allah yang menderita bersama orang-orang yang menderita, ternyata telah disalahgunakan sebagai pembenaran dan alibi bagi berbagai penderitaan, kemiskinan, ketidakadilan dan penindasan. Yesus tidak hanya menderita bersama orang yang menderita tetapi sekaligus untuk mereka yang menderita, sehingga tidak perlu dipertentangkan antara “Yesus sebagai Juruselamat” dan “Yesus sebagai Pembebas”. Yesus telah bertindak sebagai kurban, yang berarti sepenuhnya Yesus berdiri bersama mereka yang berada dalam penderitaan dan sekaligus Yesus adalah kurban dalam pengertian melalui Dia terjadi pendamaian sehingga manusia diselamatkan dan hubungannya dengan Allah dipulihkan.
Menyikapi penderitaan dan kemiskinan, bahwa untuk dapat menjadi Gereja Asia, maka gereja-gereja harus memahami dirinya kembali di tengah masyarakat Asia. Gereja harus menyatakan solidaritas terhadap penderitaan manusia dan sekaligus kritik terhadap misinya. Gereja harus melakukan aksi dan kontemplasi sehingga Gereja dapat menyuarakan suara kenabiannya kepada para penindas atau sistem yang menindas, tetapi juga terhadap segala usaha manusia untuk melepaskan diri dari ikatan penderitaan. Gereja harus menjadi Gereja Salib, yakni gereja yang senantiasa mengingat penderitaan dan kematian Yesus sekaligus pada saat yang sama membuka mata dan telinganya bagi penderitaan, kesengsaraan, kerinduan dan pengharapan manusia..
TANGGUNGJAWAB KRISTIANI: Tugas bersama
Sebagai bangsa yang religius dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, rakyat Indonesia belum dapat keluar dari belenggu kemiskinan yang membelitnya. Jumlah orang miskin bukannya berkurang, malah semakin bertambah dari waktu ke waktu (39,1 juta penduduk miskin). Kemelaratan, ketiadaan modal, penyakit, kebodohan, kemalasan, ketidakadilan dalam distribusi kekayaan, kepemimpinan yang lemah, bencana alam, eksploitasi dan keyakinan mesianis yang palsu, telah menjadi faktor-faktor penyebab bertambahnya kemiskinan di negara kita.
Alkitab dengan tegas mencatat mereka yang disebut sebagai orang-orang miskin yang telah menjadi tujuan pembebasan Allah demi mempermuliakan namaNya. Bangsa Israel dilepaskan dari perbudakan dan penderitaan hidup agar mereka menikmati berkat-berkat Allah dan beribadah dengan rasa syukur. Hukum Allah yang diterima Musa di gunung Sinai, menjadi instrumen yang mengikat dan mengatur relasi Allah dengan umat sekaligus melidunginya dari ketidakadilan dan penderitaan. Kritik para nabi memperlihatkan bagaimana penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang dari pejabat pemerintah, ulama dan penegak hukum berakibat hukuman Allah. Kepedulian Allah terhadap penderitaan kaum miskin tetap berlanjut. Yesus pun datang memberitakan Kabar Baik bagi orang miskin dan mendorong murid-muridNya untuk mengasihi mereka: “Karena orang-orang miskin selalu ada padaMu, dan kamu dapat menolong mereka bilamana kamu meng-hendakinya.” (Mrk. 14:7) Yesus tidak bermaksud meromantisir kemiskinan dalam khotbahNya di Bukit. Kebahagiaan sebagai pengikut Tuhan Yesus bukan pada status ekonomi, tetapi pada sikap ketergantungan mutlak manusia kepada Allah menjalani dan menerima kehidupan dengan segala bentuk penderitaannya
Penderitaan dan kemiskinan, bagi Nababan bukanlah kehendak Allah bagi manusia, walaupun memang Yesus sendiri berada bersama orang-orang miskin. Identifikasi Yesus dengan orang miskin bukan berarti hidup miskin menjadi kebajikan yang berlaku umum bagi semua orang. Kemiskinan harus diatasi dengan kerja keras dan bukannya terperangkap dalam fatalisme: dosa dalam diri manusia sebagai penyebab kemiskinan. Karenanya, kemiskinan harus ditanggulangi agar manusia mendapatkan keadilan dan sekaligus memperoleh harkat dan martabatnya.
Pembebasan dan inkulturasi menurut Yewanggoe menjadi penting bagi Gereja agar kehadiran dan misinya dapat berarti bagi bangsa Asia yang religius dan miskin. Kontekstualisasi teologi yang tepat dan praxis yang membebaskan, menjadikan Gereja peduli dan terlibat aktif dalam usaha memerangi kemiskinan. Radikalisme atau dolorisme bukanlah sikap dan tindakan yang bertanggungjawab dan malahan menjadikan Gereja semakin menutup diri dalam benteng-benteng pertahanannya. Solidaritas terhadap sesama yang menderita dan kritik internal secara terus menerus, menolong Gereja dengan rendah hati bekerjasama dengan umat beragama lain dalam menanggulangi kemiskinan dan pada saat bersamaan menyampaikan kritik profetisnya tanpa pandang bulu. Menjadi Gereja Salib berarti hidup dalam ketaatan kepada Allah yang menderita, serta peka dan peduli terhadap penderitaan sesama.
Saya setuju dengan apa yang dikatakan Nababan bahwa kemiskinan yang mendatangkan penderitaan hidup, bukanlah kehendak Allah yang berlaku secara umum bagi manusia. Kalaupun ada pribadi atau tarekat/kelompok tertentu yang memutuskan hidup miskin, semata-mata ketaatan kepada panggilan Allah demi pengabdian pelayanan Injil. Berbeda dengan Yewangoe, Nababan memberi perhatian kepada penting bekerja keras guna mencukupkan kebutuhan hidup. Tampaknya Nababan, mengajak orang Kristen untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional di era Orde Baru sehinggga tidak pada tempatnya untuk mengatakan dosa sebagai penyebab kemiskinan. Dosa pemimpin dengan sistem pemerintahan yang feodalistik dan tabu terhadap kritik, menjadikan rakyat tidak mengerti bagimana keroposnya perekonomian Indonesia saat dihantam krisis moneter. Di sinilah Yewanggoe menolong kita untuk melakukan aksi dan kontemplasi sehingga Gereja terlibat dalam praksis pembebasan. Jargon “stabilitas demi pembangunan nasional” telah menyebabkan Negara kita masuk dalam krisis multidimensi yang berkepanjangan dan menempatkan Indonesia sebagai negara terdepan di bidang korupsi. Harapan Yewanggoe agar Gereja menjadi Gereja Salib, ternyata sukar dipraktekkan gereja-gereja di Indonesia baik kalangan Protestan, Katolik, Baptis, Pentakosta maupun Kharismatik. Kebanyakan Gereja lebih sibuk mengurusi dirinya sendiri ketimbang merepotkan diri pada soal kemiskinan. Solidaritas Gereja lebih banyak bersifat karitatif pada momen tertentu di hari raya atau kegiatan sinodal/ekumenis. Tidak ada satupun Gereja yang mencanangkan program penanggulangan kemiskinan secara sistematis dengan anggaran milyaran rupiah. Gereja sepertinya menjadi “kuatir” bahwa usaha-usaha penanggulangan kemiskinan dicurigai oleh kelompok tertentu bertujuan kristenisasi yang berakibat pada tindakan destruktif seperti pembakaran gedung Gereja, penyegelan gedung Gereja atau teror bom.
Dalam kaitan itu, saya mengusulkan pentingnya Gereja membuka diri untuk berdialog dan bekerja sama dengan umat beragama lain dan pemerintah untuk menyamakan visi dan misi sehingga kehadiran Gereja benar-benar bertujuan menghargai harkat dan martabat manusia tanpa membeda-bedakan latar belakang suku, agama, ras dan golongan (sara). Gereja sendiri perlu mendidik warganya agar kehidupan doa berimbang dengan kehidupan kerja (ora et labora). Berkat Allah diberikan saat manusia berusaha dengan sungguh-sungguh dan mempergunakan berkat yang ada demi kemuliaan Allah lewat pelayanan kepada sesama. Ucapan Yesus mendorong kita untuk bertindak segera : “Karena orang-orang miskin selalu ada padaMu, dan kamu dapat menolong mereka bilamana kamu menghendakinya.” (Mrk. 14:7)
---------------SGRS2008--------------------
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-buku
Banawiratma, J.B. (ed), Aspek-aspek Teologi Sosial, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990.
Banawiratma, J. B. dan Muller, J. Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993.
Ferguson, Sinclair B. & Wright, David F, New Dictionary of Theology, England: Inter-Varsity Press, 1988.
Guiterrez, Gustavo, A Theology of Liberation, New York: Orbis Books, 1973.
De Heer, J.J. Tafsiran Alkitab: Injil Matius 1-22, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Nababan, S.A.E., Realisme yang Berpengharapan. Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1988.
Yewangoe, A.A., Theologia Crucis di Asia: Pandangan-pandangan orang Kristen Asia mengenai penderitaan dalam kemiskinan dan keberagamaan di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989.
2. Surat kabar
Kompas, 19 Februari 2007.
3. Situs Internet
www.bps.go.id/releases/files/kemiskinan-01sep06.pdf
- Stephen's blog
- 15567 reads
Menarik
Bukan masalah doktrin kemiskinan dan dosa yang membuat saya tertarik. yang menarik justru adanya gereja-gereja yang sedang berlomba-lomba mengumpulkan berbagai jenis persembahan untuk hal-hal yang bahkan tidak ada hubungannya dengan peningkatan kualitas hidup jemaat. Ada gereja yang menggalang persembahan berjuta-juta, hanya untuk membuat acara yang seharusnya bisa lebih sederhana. Membangun proyek-proyek yang seharusnya bisa dituda karena memang belum terlalu perlu dan penting. Yang menjadi pertanyaan adalah, pantaskah hal-hal tersebut digelar dengan ditengah-tengah situasi sulit seperti saat ini?
1. Gereja seharusnya tidak hanya berhasil meningkatkan kualitas prise and worship jemaat, tapi juga mampu memberikan konstribusi yang nyata dalam peningkatan kualitas hidup jemaatnya.
2. Gereja jangan hanya pandai membuai jemaat dengan janji-janji penyertaan Tuhan. Tapi juga secara sadar sebagai kepanjangan tangan Tuhan, bersedia untuk berperan aktif dalam memberi solusi nyata bagi permasalahan jemaat .
3. Sudah saatnya gereja belajar mendengarkan dan tidak hanya sibuk bicara.
4. Sekarang jaman susah, tantangan bagi gereja untuk bisa menyuarakan keprihatinan dengan hidup dalam kesederhanaan, rendah hati dan tidak arogan.
Kiva.org
Dear Mas Was 1,
Kemarin sempat liat Oprah? Temanya "Make A Difference" (bisa cek di sini). Saya keinget Mas Kris dengan judul blog "Kamu Harus Memberi Mereka Makan" itu selama nonton. Oprah memperlihatkan berbagai hal yang bisa kita lakukan untuk memberi kesempatan kepada orang2 yang membutuhkan.
Ada satu hal yang menarik waktu mereka perkenalkan dengan satu institusi yang namanya Kiva.org, project sepasang suami-istri untuk membantu para pengusaha kecil di seluruh dunia. Saya masih bernavigasi di Kiva.org untuk dapat gambaran lebih jelas apa yang mereka lakukan, tapi karena ini berelasi dengan Internet, jadi mikir apa kira2 Mas Kris tertarik juga menyelami = )
Saya juga jadi kepikir aja waktu liat tayangan2 itu, saya kok jarang liat Indonesia muncul yah? Padahal situasi kita ngga kalah sulitnya dengan orang2 di negara2 yang mereka tampilkan itu. Apa tayangannya yang diseleksi apa memang Oprah ngga tertarik menengok kita yah = )