Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kelamnya Mei 98
Saat itu Kamis pagi di bulan Mei 98 hari terakhirku bertugas
sebagai pengawas ujian di SMPN 21, orang menyebut “cunghwa” di daerah
Jakarta Utara. Aku bekerja sebagai guru di SMPK dan SMAK Yusuf Jl.
Arwana Jakarta Utara. Angkot yang kunaikki sampai di terminal Kalideres.
Terminal Kalideres yang biasanya ramai dan selalu macet, hari itu sunyi
sepi, kosong melompong.
Perjalanan kulanjutkan dengan jalan kaki sampai Cengkareng bersama orang -
orang lain yang juga berangkat kerja. Biasanya, sesampai di Kalideres aku melan -
jutkan perjalananku naik mobil isuzu sampai tujuan melewati Muara Angke.Sepanjang
perjalanan menuju Cengkareng, kulihat bekas-bekas kerusuhan yang sudah jadi abu,
motor dan ban-ban terbakar, ada juga metromini yang terbakar.
Pemandangan bekas-bekas kerusuhan tidak membuatku takut, karena sering ku-
saksikan waktu aku SMA di kota kelahiranku Pekalongan. Jadi, aku tetap berusaha
untuk sampai di tempat kerja dengan naik angkutan karena diberi tahu orang lain.
Ebtanas SMP selesai pukul 11.00 dan hari itu merupakan hari terakhir. Guru SMPN 21
ada yang berbicara kalau temannya ada yang mau menginap di sekolah, karena tidak
bisa pulang. Aku tenang saja, dalam hatiku aku bertanya mengapa tidak pulang,kalau
aku pasti dan harus pulang.
Sebelum pulang, aku mampir dulu di sekolah Kristen Yusuf. Di samping aku
tidak tahu naik kendaraan umum apa kalau langsung ke Tangerang, kebetulan ada
teman-ku yang mau ke sekolah Yusuf. Kami berjalan lewat jalan kecil yang lebih
dekat, di perjalanan kami berjumpa dengan beberapa siswa sekolah Yusuf yang ber -
jaga-jaga di depan rumahnya dengan muka tegang sambil membawa senjata seperti
tongkat, kayu atau parang. Aku sempat becanda, mengapa kamu berdiri di depan
pintu sambil membawa senjata seperti itu, mau menghadang ibu ya, kataku sambil
tersenyum menertawakan. Mereka diam dengan muka tetap tegang, ada juga
yang tersenyum kecut.
Sesampai di sekolah aku menuju telepon umum koin milik warung sebelah
sekolah, karena aku harus menghubungi personalia di lantai tujuh gedung SMAK I
Tanjung Duren, untuk memastikan wawancara yang akan dilakukan siang itu. Sampai
setengah jam aku mencoba menghubungi tetapi tidak berhasil. Siang itu sampai sore
terjadi bentrokan mahasiswa Trisakti dengan aparat yang mengakibatkan tewasnya 4
orang mahasiswa.
Segera aku masuk ke ruang guru untuk istirahat sejenak, Sewaktu mau pulang,
terlihat berita televisi yang menarik perhatian para guru yang ada di kantor. Ku -
lihat sebentar berita televisi tentang kerusuhan kemarin dan keadaan sekarang.
Menurut keterangan yang aku peroleh susah kendaraan untuk pulang. Oleh
karena itu, aku putuskan untuk menelpon suamiku supaya menjemput naik motor,
karena aku tahu hari itu tidak berangkat kerja. Aku telepon menggunakan telepon
koin milik sekolah dan banyak juga murid yang mengantre telepon. Karena aku guru,
aku dipersilahkan menelpon langsung tanpa mengantre oleh anak-anak, mereka baik-
baik dan bersikap sopan padaku. Sewaktu telepon tersambung dengan nada keras
dan penuh kekhawatiran, suamiku mempertanyakan mengapa hari itu masih berangkat
juga. Aku merasa tidak enak, akhirnya kuputuskan untuk pulang sendiri.
Saat itu kira-kira pukul 12.00 aku keluar dari sekolah dan ingin cepat
sampai di rumah. Dari temanku akhirnya aku tahu kalau kerusuhan lanjutan yang
lebih besar dimulai sekitar jam - jam itu. Segera aku berjalan kaki menyeberang
menuju jalan besar di depan sekolah Damma Savana, di tempat seperti biasanya aku
menunggu kendaraan umum untuk pulang ke rumah.
Keadaan sangat sepi hanya ada 1-2 orang yang terlihat, itu pun laki-laki,
sama sekali tidak ada perempuan di sana saat itu. Aku menunggu angkutan untuk
pulang, tetapi tidak ada satu pun kendaraan yang lewat. Awalnya aku tenang saja
menunggu angkot dengan sabar. Tentu saja tidak ada kendaraan yang lewat karena
akhirnya aku tahu saat itu massa mulai bergerak sehingga kerusuhan terjadi di
mana-mana. Tetapi aku yang tidak menyadari apa y ang sebenarnya terjadi menunggu
terus di marka jalan, perbatasan jalur kiri dan kanan jalan.
Kira-kira setengah jam ada seorang laki-laki naik motor, aku memberanikan
diri untuk berbicara padanya tentang keinginanku untuk nebeng. Kira - kira inilah
yang kukatakan, “Pak, saya mau nebeng.“ Hal ini kulakukan karena tidak ada jalan
lain selain minta tolong orang yang tak kukenal. Dia cuma memandangiku dengan
pandangan heran dan aneh tapi orang itu tidak berhenti.
Agak lama ada seorang laki - laki naik sepeda kecil, sambil melihatnya
aku berpikir orang ini tidak bisa kumintai tolong karena naik sepeda kecil. Saat
orang itu sudah dekat denganku, dia berteriak dengan keras sekali,” Cepat pulang!”
Sambil jalan terus dengan sepedanya. Aku hanya bisa memandangnya dengan ter -
bengong-bengong. Saat dia berteriak nyaliku mulai ciut, ada perasaan takut mulai
menjalariku, kalau belum sampai dikatakan pucat.
Aku merasa takut dan khawatir. Dalam hati aku berharap …… sangat berharap
suatu pertolongan. Dalam hati tanpa sadar aku sebenarnya minta tolong Tuhan,
Permintaan tolong itu benar - benar tulus dengan seluruh jiwa raga, dengan harapan
yang kian menipis hampir putus asa……….
- Liesiana's blog
- 5597 reads
Mereka Merebut Hari Terakhirku
_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.
_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.
Pulangnya Gimana?
Bu Lies, ceritanya bagus...
Lord, when I have a hammer like YOU, every problem becomes a nail. =)
pulangnya
Ikutan tegang..
naik sapu terbang
Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...
Cerita lanjutan.....
Salam kenal Liesiana, Saya
Salam kenal Liesiana,
Saya suda membaca blog Mey 1998 hai hai dan clara.
Sungguh dahsyat gambarannya. Ketika membaca blog mereka saya seolah -olah dapt membayangkan dan merasakan ketakutannya. Saya jadi seram dan menitis air mata. Harap jangan berulang lagi peristiwa seperti ini.
saya ikut tegang membaca cerita anda