Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

ILEGAL tapi DIRESTUI

Purnomo's picture

          Minggu 08 Nopember 2015 usai ibadah pagi aku nongkrong di kantin gereja. Seorang ibu menggandeng anak kecil menghampiri mejaku.
         “Duduk Bu,” kataku mempersilakan dia duduk semeja denganku. “Ini anak ketiga? Berapa umurnya?”


          “Baru 3 tahun, tahun depan mau saya masukkan ke teka,” jawabnya sambil menyerahkan 2 lembar fotokopi kartu spp milik anak pertamanya di kelas 1 SMP dan anak keduanya di kelas 1 SD. Kemarin dia sms ke aku bertanya apakah beasiswa bulan Nopember sudah bisa diambil. “Bisa,” jawabku lewat sms, “bawa fotokopi pelunasan spp Nopember dan temui saya pk.08.00 di gereja saya.”

          Aku meneliti fotokopi itu. “Kalau hanya melihat kertas ini di mana spp selalu Ibu lunasi sebelum tanggal 10, orang bisa mengira Ibu tidak perlu bantuan beasiswa.”
         “Begitu papanya anak-anak terima gaji, saya langsung bayar uang sekolah biar anak-anak tidak malu.”

          Untungnya setelah menerima lembar permohonan beasiswa yang dilampiri fotokopi kartu keluarga dan kartu spp dari kepseknya aku langsung pergi ke rumahnya di sebuah gang sempit. Rumahnya terkunci. Cerita tetangganya itu rumah kontrakan dan keluarga ini baru saja pindah. Papanya kakinya pincang, kerja di terminal peti kemas. Karena itu istrinya yang mengantarnya pergi kerja dengan motor.


          Lewat telepon aku minta papanya menemui aku di gerejaku. Papanya datang dituntun istrinya. Ternyata dia baru sembuh dari stroke ringan akibat tensi tinggi. Dua jari kakinya baru diamputasi karena diabet. Yaaaa tahu begitu aku saja yang ke rumahnya daripada risih melihat 2 orang penatua gerejaku bergegas membantunya meniti tangga kantin.

         “Bagaimana kesehatan papanya anak-anak?” tanyaku sambil menyiapkan lembar kwitansi. 
         “Sudah lumayan. Sebulan ini bisa masuk kerja terus, tidak pernah absen, jadi gajinya tidak kena potong.”
         “Kalau tak pernah bolos sebulan bisa dapat berapa?”
         “Dua juta. Waktu dia sakit-sakitan pernah hanya dapat gaji pokok saja 1 juta rupiah. Tapi spp anak-anak tetap saya dulukan. Kalau nanti tengah bulan harus cari pinjaman untuk makan, itu soal lain.”

          Seorang mantan penatua (pengurus gereja) yang tadi dalam ibadah bertugas sebagai prokantor (pemimpin jemaat menyanyi) datang menyodorkan 1 kotak susu kepada anaknya. “Diminum ya,” katanya.
       
          Setelah ibu ini pergi aku mencari prokantor itu. Dia sedang duduk semeja dengan seorang ibu. “Terima kasih ya kamu sudah menraktir susu adik asuhanku,” kataku. “Ibu tadi Katolik, dua anaknya aku santuni, rumah kontrakannya kecil di gang sempit, suaminya . . . . .”

        “Aku sudah tahu semua. Tadi dia cari pak pur, aku wawancarai sebelum aku pertemukan dengan pak pur.” Lalu dia menoleh ke teman ngobrolnya, “Bu, pak pur ini menjalankan beasiswa ilegal. Ilegal karena gereja kita sudah punya Komisi Pendidikan yang mengurusi beasiswa. Pak pur mengambil yang kececer. Banyak yang disantuni . . . . . .”
         Aku tepuk pundaknya. “Sudah ya, aku ada perlu lain jadi tidak bisa ikut nemani ngobrol. Lanjutkan saja mempromosikan kerjaan ilegalku,” kataku sambil mengedipkan mata kepada ibu itu.


         Ilegal artinya melanggar hukum. Apa aku melanggar peraturan gereja ini? Tidak juga. Di buku putih gereja ini tercantum kalimat “setiap anggota gereja ini dianjurkan untuk aktif melakukan kegiatan pelayanan melalui organisasi gereja atau secara pribadi”.  Aku juga tak perlu mengoreksinya karena ibu yang diajak ngobrol itu sudah lama mengetahui kegiatanku yang 'ilegal' ini. Memang setiap ada kesempatan aku bercerita kepada teman-teman gereja tentang kegiatan beasiswa ini tanpa sekalipun menyebut nama donaturnya.
 
         Baru berjalan beberapa langkah seorang penatua yang masih aktif menghampiriku, membuka dompet dan menyodorkan lipatan tebal uang berwarna merah. “Untuk 3 bulan,” bisiknya. Sudah 3 bulan dia tidak memberikan donasi tetapi tetap saja aku beri laporan bulanan cluster beasiswa. Syukurlah kalau strategiku ini membuatnya tergerak untuk kembali memberi donasi. Ini ‘njaluk tanpa nyadong’ (meminta tanpa menadahkan tangan). Biar “ilegal” tapi direstui. Bagaimana tidak direstui kalau beberapa penatua gerejaku juga menjadi tiang penyanggah kegiatan ini. Ha ha ha ha.

- - - - -

         Kisah di atas aku aplot di sebuah grup pesbuk pada hari Selasa. Malamnya seorang membernya inbok ke aku.
         "Aku ingin kirim sesuatu utk sang Ibu yg sangat disiplin membayar spp anaknya tepat waktu. Seorang ibu yg teguh menjaga harga diri anak2nya. Punya norek bca?"

          Kamis 12.11.2015 siang pk.14.00 aku sampai ke rumahnya.


        "Lani (SMP) belum pulang sekolah, pak. Ada pramuka, jadi pulang sore," kata si ibu. Aku tadi menelepon bilang mau foto Lani dan Fani dgn latar belakang rumahnya unt keperluan administrasi bea siswa.


          Rumah itu sempit, aku duduk di tangga loteng, dia duduk di bangku kayu satu2nya. Aku lihat di lantai ada karung beras, isinya mungkin masih bersisa sekitar 20 kg. Fani anak ke-2 yg SD dan anak ke-3 ikut duduk di anak tangga. Seseorang muncul dari atas, ternyata sang papa. Dia tidak masuk kerja beberapa hari ini. Badannya lemas. Dia dibawa tusuk jarum. 65 ribu sekali datang.


          "Sabtu nanti harus diulang tusuk jarumnya. Tetapi semoga besok tubuhnya sudah segar sehingga tak perlu balik ke sana lagi. Kami perlu berhemat."

            Aku memberitahu ada seseorang yang mengagumi kedisplinannya membayar spp anak2nya. Untuk itu aku dititipi sesuatu untuk diberikan sebagai tanda penghargaannya. Aku mengeluarkan amplop dari tasku dan menyodorkan kepadanya. "Tolong dihitung, Bu."

            Selesai menghitung dia memandangi aku tanpa kata.
            "Kenapa, Bu?"
            "Kok banyak sekali? Semua ini untuk saya?" suaranya bergetar.
            "Semua untuk Ibu sekeluarga."
            "Jadi hari Sabtu suami saya bisa tusuk jarum lagi. Saya tanda tangan kwitansi?"
           "Tidak perlu, nanti Ibu tahu nama pemberinya. Kwitansinya diganti foto bareng saja yang nanti saya kirimkan kepadanya."

             Gang itu sempit sehingga aku sulit cari posisi. Celaka lagi ibu itu tidak bisa tersenyum malah kayak orang mau nangis. Aku juga tidak berani berseru 'ciiiiiisss' kepada orang yang sedang mensyukuri kehadiran kasih Allah melalui uluran tangan seseorang.