Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Hati yang mau melayani
Saya malu rasanya. Sebagai seorang pelayan full-timer di gereja, saya akui bahwa kerohanian saya tidaklah jauh lebih baik dari pelayan sukarelawan yang melayani di gereja kami. Saya mengaku bahwa ke-fulltimer-an saya tidak menjamin bahwa saya memiliki tingkat rohani yang jauh lebih baik dari mereka.
Beberapa hari yang lalu, saya mengikuti sebuah retreat pemulihan di Puncak. Sebuah kegiatan yang wajib diikuti oleh setiap full-timer. Sebagai peserta, tanpa bisa memilih diberikan seorang fasilitator atau sebut saja pembimbing rohani untuk saya dan beberapa peserta lain yang berada dalam kelompok yang sama dengan saya. Fasilitator ini adalah seorang pengerja di salah satu cabang di gereja kami. Sebagai fasilitator dia bertugas untuk membimbing kami sepanjang hari, dimana saja terutama di setiap akhir dari setiap sesi yaitu acara diskusi bersama dalam kelompok.
Dari diskusi demi diskusi, obrolan demi obrolan, saya akhirnya tahu bahwa dia bukanlah seorang fasilitator dengan tingkat pengetahuan rohani yang memadai. Dari cara dia mengungkapkan pendapat dan opini, saya tahu bahwa pengetahuan rohani dia belumlah terlalu kuat. Saya merasa di atas angin. Tapi bagaimanapun juga, saya malu karena pada akhirnya saya mendapati bahwa semua pengetahuan rohani yang sudah saya hafal di luar kepala, tidak ada gunanya sama sekali. Saya adalah orang yang tahu banyak soal rohani tapi menyadari juga bahwa ada banyak hal-hal kecil yang seharusnya mudah dilakukan namun justru saya mengabaikannya. Apakah mungkin karena saya sudah terlalu lama menjadi full-timer, sehingga hal-hal sederhana itu menjadi sesuatu yang tidak lagi ingin saya lakukan?
Demi Tuhan, saya benar-benar malu. Fasilitator saya punya hati yang tulus untuk mau berkorban dan melayani Tuhan. Dengan segala kesederhanaan dan tingkat pengetahuan rohani yang sedikit, justru dia memiliki berjuta-juta semangat untuk melayani Tuhan dan memberikan yang terbaik. Saya merasa tidak memilikinya lagi. Dengan status ke-fulltimer-an, saya sadar bahwa kini semua yang saya lakukan pada akhirnya diukur dan dikompensasikan dengan uang atau apapun istilahnya. Kini, saya telah kehilangan konsep bekerja sekaligus melayani dalam pekerjaan Tuhan. Rutinitas pekerjaan dan pelayanan telah membutakan hakekat utama pelayanan saya yang sesungguhnya yaitu memberikan yang terbaik tanpa pamrih.
Tidak peduli seberapa besar tingkat pengetahuan kita akan Alkitab dan Firman Tuhan. Tidak peduli seberapa tinggi sekolah Alkitab yang kita selesaikan. Bahkan, tidak peduli berapa ratus kali kita khotbah dan mengajar orang lain. Ukuran Tuhan ternyata sederhana. Seberapa besar kapasitas hati kita untuk melayani dan memberikan yang terbaik buat Tuhan tanpa pamrih.
Melayani dan memberikan yang terbaik untuk Tuhan itu berarti kita mengesampingkan dulu pengetahuan dan harga diri kita. Dan demi keinginan untuk melakukan yang terbaik untuk Tuhan, kita melupakan dulu pengalaman-pengalaman dan perbedaan-perbedaan pendapat. Melayani Tuhan dengan hati yang tulus tidak membutuhkan pengetahuan Alkitab yang tinggi. Memberikan yang terbaik untuk Tuhan tidak membutuhkan keterampilan yang khusus. Semua orang Kristen pada prinsipnya dapat melakukan hal sederhana ini.
Pada akhirnya, buat saya retreat ini benar-benar menghasilkan sebuah pemulihan yang berbeda. Saya merasa bahwa Tuhan memang dapat memulihkan hati orang dengan cara yang berbeda-beda. Saya yang seharusnya malu, tapi pada akhirnya memiliki sebuah keberanian yang kokoh untuk memulai hal baru yaitu melayani Tuhan dengan segenap hati. Bukankah betapa lebih maksimal melayani Tuhan dengan segenap hati dibarengi dengan pengenalan Firman Tuhan yang memadai?
- peterkambey's blog
- 6990 reads
Ko Apong
Almarhum ko Apong, tubuhnya gendut luar biasa, pendiam dan tidak punya teman. Dia guru sekolah minggu paling kacau di dunia yang pernah aku kenal. Ketika cerita, dia cerita untuk dirinya sendiri. Sulit sekali mendengar suaranya yang pelan apalagi memahami ceritanya yang sepotong-sepotong. Ketika menyanyi, semua lagu menjadi lagu baru karena dia selalu menyanyikannya dengan nada sedapatnya.
Dia menjadi guru sekolah minggu ketika tidak ada guru sekolah minggu. Dia menjadi guru sekolah minggu karena tidak ada orang lain yang mau menjadi guru sekolah minggu. Dia memang tidak berbakat untuk jadi guru sekolah minggu. Suaranya jelek dan dia tidak bisa menyanyi dengan nada yang benar. Dia juga tidak bisa cerita dengan baik.
Ketika menyanyi, mukanya merah tersipu-sipu, ketika cerita mukanya merah tersipu sipu. Dia sadar dengan kekurangannya dan dia malu. Tapi dia terus mengajar karena tidak ada orang lain lagi.
Bung Peter kayaknya kasus kita hampir sama nich. Kita sama-sama belajar dari orang-orang yang kita anggap enteng.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Yang Bodoh dan Yang Lemah
Dear Peter,
Kelihatannya ayat ini relevan sekali dengan kehidupan orang-orang Kristen jaman sekarang:
"Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia." (1 Korintus 1:25)
Thanks untuk artikelnya! God bless you always!
Syalom,
John Adisubrata