Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Duh Gusti, matur nuwun
Sekitar 6 tahun yang lalu aku menyantuni 10 siswa SD Tabita yang lokasinya tidak jauh dari tokonya. Karena teman-teman gereja dan teman-teman sosmed ikut bergabung menjadi donatur jumlah siswa yang disantuni terus bertambah. Untuk daerah sekitar tokonya kegiatan pemberian bea siswa yang lepas dari organisasi gereja ataupun yayasan ini sudah masuk ke 4 komunitas: 2 sekolah dan 2 gereja dengan 2 orang penyalur santunan (PS). Masalahku saat ini adalah apabila jumlah penerima santunan di daerah ini ditambah, maka anggota baru itu harus mengambil santunan di PS lainnya yang jauh dari rumahnya karena kapasitas 2 PS di daerah ini sudah maksimum. Sebaliknya bila penerima santunan tidak ditambah, saldo akumulatif kas makin membengkak dengan bertambahnya donasi. Masa orang mau ikutan berbagi ditolak?.
Rabu 21-Oktober-2015 pagi lepas dari SMP Swasta Dr.Cipto aku menuju jalan kecil yang ada di belakang sekolah itu. Sepanjang jalan aku berdoa agar mendapat hasil maksimal di target alamat kedua ini. Aku menghentikan motorku di depan sebuah toko. Aku masuk ke halamannya. Seorang pemuda sedang sibuk menumpuk karung-karung beras di motor viar. Aku berdiri mengawasinya.
“Mau beli apa Oom?” tanyanya.
“Mau ketemu Tante Sieni,” jawabku.
“Miiiiii, ada tamu,” teriaknya ke arah dalam.
Aku masuk ke toko. Sieni keluar menemui aku. Aku mengenalnya waktu dia ada di komunitas remaja gerejaku. Sekarang dia hanya aktif di padus tetapi kami tidak akrab dan ‘just say hallo’ saja bila berpapasan jalan.
“Begini Sien, aku mau minta tolong kamu,” kataku tanpa prolog.
Lalu aku bercerita sekitar 6 tahun yang lalu aku menyantuni 10 siswa SD Tabita yang lokasinya tidak jauh dari tokonya. Karena teman-teman gereja dan teman-teman sosmed ikut bergabung menjadi donatur jumlah siswa yang disantuni terus bertambah. Untuk daerah sekitar toko Sieni kegiatan pemberian bea siswa yang lepas dari organisasi gereja ataupun yayasan ini sudah masuk ke 4 komunitas: 2 sekolah dan 2 gereja dengan 2 orang penyalur santunan (PS). Masalahku saat ini adalah apabila jumlah penerima santunan di daerah ini ditambah, maka anggota baru itu harus mengambil santunan di PS lainnya yang jauh dari rumahnya karena kapasitas 2 PS di daerah ini sudah ‘full-very-full’. Sebaliknya bila penerima santunan tidak ditambah, saldo akumulatif kas makin membengkak karena bertambahnya donatur.
“Contohnya ini, jatahnya Rika,” kataku sambil mengeluarkan sebundel kantong dari tasku dan meletakkan di meja di depannya. Rika dan Sieni ada dalam satu padus. “Dari sini nanti aku akan ke rumah Rika menyerahkan 30 kantong ini. 30 kantong adalah jumlah maksimum untuk 1 PS. Satu kantong untuk satu anak, berisi uang santunannya dan lembar kwitansi. Setiap kantong ditempeli foto siswa dan contoh tanda tangan yang berhak mengambil santunannya. Nanti tanggal 29 dan 30 Oktober mereka akan datang ke rumahnya membawa surat pengantar pengambilan santunan dan fotokopi bukti pelunasan spp-nya bulan Oktober. Contohnya seperti ini,” kataku sambil mengeluarkan contoh 2 lembar kertas itu dari tasku.
“Lalu Rika mencari kantong santunannya, memberikan uangnya dan meminta siswa itu atau orang tuanya yang membawa 2 lembar dokumen itu menandatangani kwitansi. Si anak keluar dari rumahnya membawa uang ini dan Rika memasukkan ke kantongnya 3 lembar dokumen: kwitansi, fotokopi kartu spp, dan surat pengantar pengambilan santunan yang telah ditandatangani oleh kepseknya.”
Tanpa menunggu komentarnya aku meneruskan paparanku, “Di belakang tokomu ada perumahan. Ada 6 anak penerima bea siswa yang tinggal di situ. Boleh dikatakan mereka itu tetanggamu. Untuk permulaan aku minta tolong kamu jadi penyalur santunan untuk 6 anak ini mulai bulan Nopember. Bisa, Sien?”
“Bisa,” jawabnya tanpa ragu.
“Terima kasih,” kataku dan segera memasukkan kembali 30 kantong itu ke dalam tasku. “Dengan bantuanmu berarti bulan Desember aku bisa menambah 20 siswa lagi di daerah ini. Aku permisi, mau cepat-cepat ke rumah Rika sebelum dia pergi menjemput cucunya di sekolah.”
“Duh Gusti Yesus, matur nuwun,” bisikku berulang kali ketika memacu motorku ke target alamat ke-3. Betul-betul aku harus berterima kasih kepada-Nya karena walau pekerjaan tak berbayar itu tampak mudah tidak setiap orang yang aku tawari mau membantu. Memang sebelumnya aku sudah minta istriku memberitahu Sieni aku butuh bantuannya menjadi PS. Tetapi Sieni tidak memberi respon. Lalu seorang PS yang juga satu padus dengannya ikut membujuknya. Sieni juga tidak memberi jawaban. Aku tidak menyalahkan mereka yang menolak karena tahu tidak enaknya berkomunikasi dengan para duafa. Sudah mendapat uang bea siswa masih ‘ngeyel’ minta dibantu membayar listrik atau beli beras. Ada yang marah bila ditolak seakan-akan meminta itu adalah hak mereka yang tertera dalam UU negara. Kadang bapaknya yang datang dengan mulut bau minuman keras. Mendidik mereka mematuhi prosedur pengambilan bea siswa saja aku perlu waktu hampir 3 tahun.
Pernah suatu kali ketika aku ke rumah Rika untuk mengambil kembali kantong-kantong itu dia berkata, “Bulan depan aku tidak mau lagi membantu kamu!”
Apa pasal?
Seorang anak datang tanpa membawa fotokopi kartu spp karena tidak punya uang untuk biaya fotokopi. Dia berjanji setelah menerima uang beasiswa akan langsung fotokopi dan menyerahkannya kepada Rika. Rika setuju saja karena anak ini sudah hampir setahun masuk ke kelompoknya. Tetapi anak ini tidak kembali hari itu. Esok harinya 7 anak datang tanpa membawa fotokopi dengan alasan temannya boleh mengambil uang tanpa dokumen itu mengapa mereka tidak diperbolehkan? Rumah-rumah mereka berdekatan dan mungkin saja si anak ini dengan bangga bercerita kepada 7 temannya dia berhasil melanggar prosedur pengambilan santunan. Suami Rika sedang kena stroke ringan. Karena itu Rika tidak mau meributkannya agar suaminya tidak terganggu tidurnya. Dia memberikan uang bea siswa itu tanpa dokumen penyanggah!
Aku bilang kepadanya, “Bulan depan kamu tetap bantu aku dan aku jamin kamu tidak lagi melihat 8 anak itu.”
Jam itu juga langsung aku menghadap kepsek mereka dan menceritakan kejadian ini. Kataku kepada Kepsek, “Dengan pelanggaran prosedur itu harusnya mereka saya coret dari daftar santunan. Tetapi saya masih bisa memberi dispensasi. Tolong beritahu kepada orang tua mereka selama 3 bulan ke depan santunan mereka saya diskon 25% dan tempat pengambilannya saya pindah ke tempat yang jauh. Satu kali saja santunan itu tidak diambil, nama ybs saya coret dari daftar dan ybs tidak bisa lagi mendaftar ulang. Tidak perlu menyuruh mereka menulis surat permohonan maaf kepada saya. Saya tidak butuh surat, tetapi butuh disiplin mereka.”
Bagiku lebih baik kehilangan 8 siswa itu daripada kehilangan 1 PS karena lebih mudah mencari 8 siswa baru daripada mendapat 1 PS baru. Semester berikutnya Rika minta 8 anak ini dikembalikan kepadanya karena orang tua mereka datang mengiba minta maaf.
- 0 -
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 3753 reads