Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Duduk manis di gereja, emangnya gampang?

Inge Triastuti's picture

Aku bukan paranormal. Tetapi aku berani menaksir sedikitnya 4 dari 10 orang yang menghadiri ibadah Minggu di gereja pernah berpikir begini, “Aku ke gereja setiap Minggu, tapi aku lebih sering merasa tidak dapat apa-apa. Selama ibadah aku sulit konsen. Pikiran melayang kemana-mana. Jika begini terus, apa masih ada gunanya aku ke gereja?”

Yang sulit ditaksir adalah kebanyakan mereka itu jemaat baru atau lama, laki atau perempuan, remaja atau lanjut usia, aktivis atau bukan, miskin atau kaya, berpendidikan tinggi atau hanya lulusan SD, karena siapa saja bisa kena godaan itu. Bahkan guru Sekolah Minggu bisa punya pengalaman yang sama hanya pengungkapannya yang berbeda. “Memangnya saya harus menghadiri ibadah umum? Bukankah dengan memimpin Sekolah Minggu otomatis saya sudah berbakti kepada Tuhan?”

Jika pertanyaan “mengapa begitu” diajukan kepada mereka, maka cerita yang kita peroleh adalah kotbah yang tidak menarik, musik dan lagu yang ketinggalan jaman, liturgi yang membosankan, ruang kebaktian yang pengap, pendeta yang pilih kasih, pengurus gereja yang begini-begitu dan semacamnya yang ada di luar diri mereka. Lalu mereka menceritakan hal-hal yang menarik di gereja lain. Harus disyukuri bila ternyata mereka pindah ke gereja yang pas dengan kebutuhannya itu. Tetapi ada di antara mereka yang tidak ke mana-mana pada hari Minggu. Mereka menunggu dikunjungi pendeta atau penatuanya. Mereka menunggu cerita domba yang hilang menjadi realita sampai berbulan-bulan. Ketika aku mengeluhkan kurangnya perhatian ini kepada seorang teman, dia tertawa. “Jaman sekarang orang berpikir ekonomis dan kritis, tidak seperti orang jaman dulu,” katanya. “Sekarang kalau ada domba yang hilang, sebelum tim SAR diberangkatkan, spesifikasi domba itu dipelajari dulu. Berapa kilo bobotnya, bagaimana kesehatannya, seberapa tinggi kepatuhannya. Kalau dia gemuk, sehat dan penurut, tim penyelamat segera berangkat. Tapi ceritanya bisa berbeda kalau domba yang hilang itu kamu. Sudah kerempeng, berpenyakitan, cerewet lagi.”

Bagaimana kita memandang gereja, sangat menentukan sikap kita ketika berada di dalamnya. Dulu aku pernah berpikir bahwa gereja adalah tempat hiburan. Maksudku, aku akan dihibur selama 1 atau sekian jam di dalam gereja. Karenanya, aku mudah merasa gerah bila paduan suara tidak menyanyi dengan baik, pendeta membawa kotbah yang topiknya tidak aku sukai, atau pemain musik bermain dengan langgam klasik. Sikapku berubah ketika kemudian aku bisa menerima pendapat bahwa ke gereja berarti datang bersama-sama orang Kristen lainnya untuk beribadah kepada Tuhan, bukan untuk menyenangkan diri sendiri. Menghadiri ibadah ternyata bukan hak, tetapi kewajiban. Seperti kewajiban seorang anak untuk menyatakan hormatnya kepada orang tuanya.

Sunday Service

Tanpa harus ke luar negeri, di kota-kota besar negeri ini, kita bisa melihat beberapa gereja menulis jadwal kegiatan rutinnya di papan namanya dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Kata kebaktian umum atau ibadah raya diterjemahkan dengan “Sunday Service”. Kata “service” berasal dari kata to serve, melayani. Dari kata to serve, lahir kata servile (bersikap merendahkan diri), servility (sikap sebagai budak) dan servitude (perhambaan). Kata “service” yang berarti “layanan” atau “ibadah” ini bisa ditemui dalam Alkitab berbahasa Inggris. Misalnya di Filipi 2:17 “Yea, and if I be offered upon the sacrifice and service of your faith, I joy, and rejoice with you all” (Tetapi sekalipun darahku dicurahkan pada korban dan ibadah imanmu, aku bersukacita dan aku bersukacita dengan kamu sekalian). Kata service atau ibadah dalam Alkitab ini diterjemahkan dari kata leitourgia. Kata ini juga muncul di Lukas 1:23 (= jabatan imam/ministration), 2 Korintus 9:12 (pelayanan/service), Filipi 2:30 (pelayanan/service), Ibrani 8:6 (pelayanan/ministry), Ibrani 9:21 (ibadah/ministry).

Dari beragam arti dalam kata leitourgia, aku menyimpulkan bahwa ketika beribadah dalam kebaktian Minggu, walaupun hanya sebagai jemaat biasa, kita sedang melakukan pelayanan. Dari liturgi yang kita pergunakan, jelas bahwa pelayanan ini jauh lebih tinggi nilainya daripada pelayanan-pelayanan lain karena di sini yang kita layani adalah Tuhan Allah, bukan manusia. Sayangnya, kita lebih meninggikan pelayanan kepada manusia daripada kepada Tuhan. Kita berani datang terlambat dan pulang lebih awal ketika beribadah, tetapi kita tidak berani melakukan hal yang sama dalam rapat penatua gereja. Kita berani gaduh sendiri dalam kebaktian, padahal dalam rapat pengurus Komisi kita duduk dengan manis tanpa kata. Kita berani menyanyi sembarangan dalam ibadah, padahal ketika memimpin pujian di Sekolah Minggu kita berusaha mati-matian menyanyi dengan benar.

The handicap

Tidak bisa selalu duduk manis dalam ibadah adalah salah satu kelemahanku dulu. Ada saja yang menghalanginya, yang semuanya bersumber pada ketiadaan kerendahan hati. Begitu duduk, mataku melihat berkeliling. Selalu saja aku menemukan hal-hal yang kurang beres. Mulut sih ga ngomong, tapi hati ngedumel. “Pengurus gereja ini payah. Malas kok dipelihara. Ari gini ‘kan udah hampir Paskah. Hiasan-hiasan praPaskah belum juga dipasang.”

Ketika perasaan jemaat larut dalam lagu yang dibawakan oleh seorang solois dengan penuh perasaan sampai-sampai air matanya mengalir di pipi, aku berkomentar sinis dalam hati, “Bayar dulu tu utang elo nyang udah setaon, baru nyanyi pake nangis.”

Waktu pendetaku berkotbah, barulah aku duduk manis untuk menyimaknya. Sayangnya bukan sebagai murid yang duduk mendengar gurunya mengajar, tetapi untuk meneliti apakah yang dibicarakan itu tidak menyimpang dari pengajaran Alkitab, doktrin dan dogma gereja. Ini susahnya kalau kami berdua sama-sama bergelar M.Min. Kepanjangan gelarnya adalah “Master of Ministry”, sedangkan punyaku “Mung Minteri” (hanya sok pintar).

Karena menyadari sikap seperti ini tidak sepatutnya dipelihara apalagi dikembangbiakkan, aku berusaha mencoba beberapa kiat untuk mengobatinya. Terapi pertama adalah bersikap cuek, mematikan perasaan. Tetapi kalau yang ada di depan – entah itu pemusik, anggota koor, penatua – adalah orang yang sedang tidak aku sukai, sulit aku mengosongkan perasaan tanpa memejamkan mata. Untuk meram aku tidak berani karena takut tertidur. Pernah aku melihat seorang jemaat tertidur nyenyak sekali. Pake ngorok lagi. Jemaat di dekatnya hanya senyum-senyum kecut saja. Penatua juga tidak berani membangunkannya. Mungkin takut dituduh merusak kedamaian yang sedang dinikmati oleh jemaat yang berlelah ini. Apa ga memalukan kalau aku mengalami nasib yang sama? Solusinya, aku menundukkan kepala sambil mengulum permen padahal aku marah banget bila ada anak Sekolah Minggu di kelasku makan permen. Tak apalah berlaku munafik selama tidak ketahuan orang. Lagipula aku selalu duduk di barisan bangku paling belakang. Ketahuan Tuhan pasti, tapi tanpa resikonya kok karena Ia tidak akan pernah menceritakan kemunafikanku ini kepada orang lain. Iya kan?

Terapi ini terpaksa aku hentikan gara-gara sebuah musibah. Menjelang kotbah adalah saat aku memasukkan permen ke mulut. Suatu ketika begitu permen aku masukkan, bangku kosong di sebelahku diduduki seorang perempuan. Terlambat hampir 30 menit, keterlaluan sekali! Aku menoleh untuk melihat siapakah yang tidak sopan ini. “Aduh I’in, malu aku telat begini. Untung belum kotbah ya.” Mataku terbelalak. Karena – pertama – yang kurang ajar ini ternyata maminya anak Sekolah Minggu-ku. Kedua, permen yang bergegas kutelan nyangkut di tenggorokan. Aku lupa permen itu masih gede. Saat kotbah betul-betul saat yang menyengsarakan. Dan hari itu adalah yang paling menyengsarakan karena aku kesulitan membuat permen pedas itu bisa tertelan masuk ke lambungku. Di akhir kotbah tetanggaku ini berbisik, “Biar pendeta tamu itu dari kota kecil, kotbahnya bagus sekali. Mengena ya?” sambil melirik kertas tisiu di tanganku yang selama kotbah berulang kali kutempelkan ke mulut dan mataku. “Ngawur!” aku mengerutu dalam hati. “Air mataku keluar bukan karena kotbah. Tapi disiksa permen, tahu!”

The better solution

Walaupun aku belum punya the best solution, tetapi sekarang aku jarang gagal duduk manis dalam ibadah Minggu, karena –


Berusaha mengingatkan diriku bahwa sewaktu beribadah aku sedang bertamu di rumah Tuhan.
Tidak sopan ketika duduk di ruang tamu seorang pejabat, mata kita sibuk meneliti tamu-tamu lainnya tanpa pernah menatap pemilik rumah. Juga kurangajar bila kita menolak minuman dan makanan kecil yang disodorkan tuan rumah hanya karena itu air mineral dan krupuk saja. Terlebih lagi bila aku terus menatap fotonya yang tertempel sedikit miring di dinding sambil cengar-cengir, senyum-senyum sinis, sambil sesekali menengok ke arah pelayannya.

Aku pernah beribadah di beberapa gereja pedesaan. Jemaatnya berpakaian rapi. Yang pria bila tidak berbaju batik, pasti mengenakan jas. Biar pun jasnya kelas ekonomi, tetapi itu menunjukkan rasa hormat mereka telah dipersiapkan sejak dari rumah. Yang perempuan mengenakan busana terbaik mereka walaupun sehari-hari mereka berpakaian seadanya. Kebanyakan dari mereka rambutnya agak basah seperti baru saja keramas. Mereka semua bersepatu, walau pun waktu berangkat dan pulang mereka menggantinya dengan sandal jepit karena harus berbaris macam kereta api di pematang sawah. Ketika ibadah berlangsung, mata mereka menatap lurus ke depan. Mereka tidak berbisik-bisik.
Mereka orang alim? Tidak juga. Karena setelah selesai ibadah mereka berbicara dengan gaduh dan saling tumpang tindih seperti kita-kita yang hidup di kota. Tetapi mereka tahu bagaimana harus bersikap sewaktu beribadah.


Ketika menyanyi aku memanfaatkan syair lagu itu untuk menuntun pikiranku.
Aku memikirkan bagaimana Tuhan berkarya dalam hidupku sepanjang minggu lalu sehingga aku merasakan lagu itu bukan sekedar sebuah lagu saja. Tetapi juga madah syukurku, pengharapanku, doaku, dan keyakinanku akan kasih setia-Nya.
Aku tidak lagi meributkan musik iringan atau aransemennya atau kepiawaian pemusiknya karena aku selalu meyakinkan egoku kalau aku sedang berada di gereja, bukan dalam gedung pertunjukan pagelaran musik. Lagipula uang yang aku keluarkan waktu beribadah tidak sebanyak yang aku keluarkan untuk sebuah pagelaran musik. Bayarnya sedikit, kok maunya macam-macam.


Ketika mendengar paduan suara menyanyi aku mengingatkan diriku bahwa mereka telah berusaha melakukan yang terbaik.
Aku tidak lagi melipat kulit dahiku bila mendengar satu dua not dinyanyikan fales atau mereka gagal meraih nada-nada tinggi. Untuk penampilan selama 5 menit ini mereka telah berlatih belasan jam dan membelanjakan sekian belas ribu rupiah dari saku masing-masing untuk transportasi latihan di gereja. Bila aku tergoda untuk memandang rendah persembahan mereka, bersegera aku bertanya kepada diriku, “Sudahkah yang terbaik aku berikan kepada Tuhan?”


Menjelang kotbah aku mengeluarkan secarik kertas dan ballpoint.
Bukan untuk menyibukkan diri dengan menulis apa-apa yang akan aku beli di mol seusai ibadah atau membuat gambar-gambar lucu agar pikiran tidak mengembara atau mengantuk, tetapi membuat ringkasan kotbah dan mencatat hal-hal yang menarik dari yang aku dengar. Bila ada yang tidak aku mengerti, ketika bertemu dengan pendeta dalam acara lain, aku meminta penjelasannya. Anehnya, kami tidak terjerumus dalam perdebatan karena begitu melihat catatanku yang kadang sudah berusia sekian minggu, pendetaku sudah senyum. Senang dia. Catatan-catatan ini aku tulis ulang dalam komputerku. Tanpa aku sadari dengan melakukan kegiatan ini, aku belajar menulis apa yang kupikirkan.


Jadi,

marilah kita tetap setia dan terus berusaha melakukan ibadah Minggu dengan benar, dengan kerendahan diri, dengan sikap seorang hamba yang sedang melayani Tuannya. Bila tidak, kita akan mengalami kesulitan dalam kerja pelayanan kepada manusia. Mungkinkah kita bisa bersungguh-sungguh membawa orang lain kepada Tuhan Allah yang tidak sepenuhnya kita hormati, yang tidak pernah kita layani dengan sebaik-baiknya?

Duduk manis dalam ibadah adalah batu pondasi setiap kegiatan kesaksian dan pelayanan yang dilakukan oleh setiap orang Kristen. Duduk manis sewaktu beribadah bukanlah sesuatu yang gampang tetapi layak diperjuangkan, sampai kita merasakan datang beribadah di gereja adalah sebuah kerinduan, bukan lagi kewajiban.

“Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat” – Ibrani 10:25. **

esti's picture

Mbak Inge salam kenal

Mbak Inge salam kenal ya,

Saya punya teman baik banget namanya sama nama mbak lho :Inge", tadinya saya kira dia, karena saya pernah mengajaknya shoping ke pasar sini, melihat tulisannya ternyata bukan.

Seperti yang mbak Inge tulis, kita semua pernah mengalami kesulitan untuk duduk manis di gereja. Lebih2 kalau hanya fokus kepada semua yang menggoda pikiran kita untuk mencela, bahkan juga mengagumi.

Memang benar seperti yang anda katakan memanfaatkan setiap momen sebagai bagian untuk lebih konsentrasi kepada penyembahan kita yang benar kepada Allah yang penuh kasih, dengan menyadari kalau ada  kehadiran Tuhan ditengah-tengahnya, membuat kita bisa duduk manis dengan penuh rasa syukur.

 

Salam Sejahtera dalam Tuhan.

Inge Triastuti's picture

Oma Esti pengamat yang teliti

sehingga menengarai bahwa penggoda pikiran kita juga bisa berasal dari kekaguman yang berlebihan. Sesuatu yang tidak terpikir sebelumnya oleh saya. Terima kasih Oma untuk masukannya. ***

Puput Manis's picture

Gereja Tempat Ibadah Raya

Dear Inge,

Artikelmu bagus-bagus. Aku sudah kopi semua buat dibaca-baca lagi klo pas offline. Setahuku gereja itu tempat ibadah raya. Makanya seminggu sekali. Kalau pertemuan-pertemuan ibadah yang dimaksud di Ibrani 10:24-25 itu koq sepertinya pertemuan di rumah-rumah(komunitas sel)seperti yang digambarkan di Kisah Rasul 2:46-47 itu. Dalam pertemuan ini, komsel terkecil dan terpenting sebenarnya adalah keluarga. Jadi ada persekutuan juga dalam keluarga (ada yang menyebutnya mezbah keluarga). Untuk pribadi ada saat teduh (meditasi) --> persekutuan kita pribadi dengan Tuhan, seperti yang dicontohkan oleh Yesus dalam Markus 1:35. Jadi pada hari Minggu semua komsel bergabung dan merayakan hari Tuhan.

Prihatinnya, yang terjadi sekarang, banyak individu tidur malam, bangun siang, ga sempat saat teduh. Sibuk kerja dari pagi sampai sore, ga sempat mezbah keluarga, apalagi ikut komsel, Minggunya pengen rekreasi, jadi Ibadah Raya hanya untuk setor muka saja (sekedar ritual). Kalau ga ketemu Tuhan, ya rasanya ampang. Yang penting motivasi ke gereja jangan untuk sekedar ritual, tapi dilandasi kasih kepada Tuhan (yang harus dengan segenap jiwa/emosi, segenap hati/ kehendak, segenap akal budi/pikiran, dan segenap kekuatan).

Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,

__________________

Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,

Inge Triastuti's picture

Mbak Puput, matur sembah nuwun

untuk koreksinya. Tambahan informasi yang Mbak tulis menambal lubang-lubang di blog saya. See you.***

Chinansha's picture

Zhen Xin

Benar Mbak Inge, (zhen xin =)tulus, segenap hati, konsentrasi dalam ibadah itu sulit, tks untuk saran-saran praktisnya.
Inge Triastuti's picture

Pak Chinasha terima kasih

untuk komennya. Kapan membukukan catatan-catatan Bpk dalam berkarya di “ladang yang begitu luas dengan sedikit penuai” menyusul Xueli agar makin banyak yang tergerak untuk berangkat menyusul? Saya berdoa untuk Bapak dan teman-teman di sana. Christ for all, all for Christ. GBU.