Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Definisi Cinta Ala Devil's Dictionary
Sebuah pergumulan yang berat untuk memulai blog ini, karena akan ada yang dengan penuh kemenangan merasa yakin mengenal diriku lebih dari aku mengenal diriku sendiri. Dimulai karena dengan yakin aku berkata tidak bakalan menulis blog tentang apa yang kami saksikan di gereja itu. Tetapi godaan itu tidak tertahankan dan aku menyerah. Apa yang kulihat Jum'at itu memberikanku sebuah ide untuk menulis sesuatu tentang cinta. Godaan itu begitu kuat sehingga ketika melihat sebuah buku "picisan" berjudul "Apa itu Cinta?" di depan Alun-alun, aku tidak tahan untuk tidak tawar menawar dengan penjualnya sehingga membawa pulang buku setipis buku tulisku waktu masih kelas satu SD.
Aku ditertawai karena membeli buku ini, sebuah buku yang bab pertamanya hanya membahas definisi cinta, lalu satu bab lagi membahas guna-guna serta cara pencegahannya. Cukup menghibur bagiku yang dibesarkan di sebuah suku yang percaya kalau sedikit sakit karena dibikin orang; kalau sedikit stress karena terlalu banyak belajar; kalau ada gadisnya bertingkah seperti kucing di musim kawin, artinya kena guna-guna. Tidak bermaksud membahas bukunya, hanya sebuah buku yang membuatku makin yakin tetap mempercayai buku yang diterbitkan oleh penerbit yang sudah punya nama, tetapi sebagai pengisi waktu senggang tidak menjadi masalah. Paling tidak menambah pemahaman sedikit tentang segala macam definisi cinta.
***
Sudah sering melihat prosesi pernikahan termasuk mendengar pengucapan janji nikah yang memang harus diucapkan sebelum gereja menyatakan sebuah pernikahan Kristen sah. Bagian pengucapan janji itu biasanya lewat begitu saja setiap kali menghadiri acara pernikahan, tetapi ada sebuah pengucapan janji pernikahan yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidup. Terjadi di sebuah pernikahan yang kusaksikan pada saat masih duduk di bangku sekolah dasar.
Pada masa itu, pernikahan yang selalu diadakan setelah panen menjadi alasan keluar rumah di malam hari serta main kejar-kejaran di sekitar tempat berlangsungnya hajatan. Rumahnya pasti terang benderang dengan puluhan lampu petromaks pinjaman sana-sini sehingga kami bebas bermain tanpa takut diculik hantu. Kalau sudah capek dan lapar, tinggal duduk manis mengikuti acara pernikahan adat yang biasanya diikuti pemberkatan nikah serta satu atau dua cangkir teh.
Masih segar dalam ingatan, karena bosan bermain petak umpet, aku membiarkan teman-teman tetap bersembunyi di balik rumpun pisang yang tidak kena cahaya lampu petromaks, lalu duduk manis di dekat pintu rumah tempat hajatan berlangsung. Menyaksikan sepasang anak manusia, seorang pria dengan satu-satunya jas di kampung serta seorang gadis dengan gaun pengantinnya yang sedikit kedodoran, berdiri di hadapan Pak Salomo, pendeta yang pernah mengadukanku karena menarik tali lonceng gereja. Sambil memegang Alkitab yang sudah sedikit lusuh, ia berkata kepada mempelai pria:
"Apakah engkau bersedia mengambil Rebu sebagai istrimu yang sah...? Jawablah dengan 'Ya' atau 'Tidak'!"
"Ya atau Tidak." jawab mempelai pria yang tidak pernah lulus SD.
Pendeta itu mengulangi lagi pertanyaannya, "Apakah engkau bersedia mengambil Rebu sebagai istrimu yang sah...? Jawablah dengan 'Ya' atau 'Tidak'!"
"Ya atau Tidak." jawab Si Bancoi, sang mempelai pria sekali lagi, mungkin berharap acara ini segera selesai. Saat itu akupun belum mengerti arti kata gladi bersih.
Untuk ketiga kalinya pendeta bertanya lagi dan mendapat jawaban yang sama. Seorang ibu yang juga ikut duduk di teras berteriak dalam bahasa daerah, "Nyewut 'Ya'!" artinya "Bilang 'Ya'!" tetapi teriakan itupun terbenam dalam gelak tawa."
Aku sama sekali tidak bisa mengingat berapa kali dan berapa lama tanya jawab itu berlangsung. Jawabannya selalu sama, padahal pendeta sudah merubah nada kalimat terakhirnya. Ia mengucapkan kalimat "Jawablah dengan 'Ya' atau 'Tidak'" dengan penekanan panjang dan keras pada kata "Ya", serta penurunan nada pada bagian "atau tidak"-nya sehinga hampir tidak kedengaran. Tetapi selalu jawabannya bernada sama, "Ya atau Tidak."
Seorang pria dari kampung lain tidak tahan lagi sehingga bangkit berdiri dan berjalan menuju kedua mempelai. Membisikkan sesuatu di telinga Bancoi. Semua orang diam, bahkan sudah lama gelak tawa itu berhenti.
"Apakah engkau bersedia mengambil Rebu sebagai istrimu yang sah...? Jawablah dengan 'Ya' atau 'Tidak'!" ulang pendeta setelah bapak yang berbisik tadi kembali duduk.
"Ya!" jawab Bancoi yang membuatnya saat ini memiliki beberapa cucu.
***
Insiden "'Ya' atau 'Tidak'" membuatku berpikir seolah-olah janji pernikahan sebagai sebuah prosedur yang memang harus dilaksanakan. Menunggu mempelai berkata "I Do" atau "Ya, saya bersedia", kalau tidak, baik yang memberkati maupun yang diberkati sama-sama belum boleh duduk. Sebuah prosesi ketika masing-masing pasangan berkata, "Aku menerima engkau ... sebagai istri (suami)-ku yg sah dan satu-satunya, dan aku berjanji akan senantiasa bersama dengan engkau baik dalam keadaan suka maupun duka, sehat maupun sakit, kaya maupun miskin, sampai maut yang dapat memisahkan kita." Lalu diakhiri dengan perkataan seorang pendeta, "...Dan apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak dapat dipisahkan oleh manusia..."
Lalu setelah itu, selama satu atau dua bulan, dunia menjadi milik mereka, kami hanya mengontrak. Selama satu atau dua tahun saling memanggil sayang-sayangan, kadang-kadang panggilan itu bisa bertahan karena menjadi sebuah nama. Itulah namanya cinta.
Cinta, terlalu banyak definisinya dalam buku yang kubeli itu, seolah-olah semua orang berlomba mencari definisi yang paling tepat. Buku itu tidak memuat definisi yang diberikan oleh Ambrose Bierce, tetapi aku masih bisa mendapatkannya dari kamus "The Devil's Dictionary". Ada peringatan disana bagi pengguna kamus yang terbit pertama kali tahun 1911 ini: "Karena bahan ini mewakili pandangan satu pribadi dan ditulis pada tahun-tahun pertama abad ini (abad keduapuluh), maka tidak meragukan jika Anda menemukan bahan ini memuat diskriminasi jenis kelamin, nasionalis, rasis, atau hanya sekedar penghinaan secara umum. Akibat dari penggunaan bahan ini menjadi tanggung jawab sendiri."
Cinta, menurut The Devil's Dictionary berarti:
Sebuah kegilaan sementara yang dapat disembuhkan dengan sebuah pernikahan atau menjauhkan pasien dari pengaruh yang menyebabkan penyakit tersebut. Penyakit ini, seperti gigi berlubang dan banyak penyakit ringan lainnya, lazim hanya di dialami oleh masyarakat maju yang hidup dalam kondisi tidak alami lagi; Bangsa barbar yang masih bernafas di udara murni dan makan makanan sederhana memiliki kekebalan tubuh terhadap penyakit ini. Penyakit yang kadang-kadang memang fatal, tetapi kefatalannya lebih sering hanya berlaku terhadap para dokter, bukan terhadap pasien.
Tentang pernikahan, The Devil's Dictionary memiliki definisinya juga:
Keadaan atau kondisi sebuah komunitas yang terdiri dari seorang tuan, seorang nyonya dan dua orang budak, ...
Sebegitu siniskah pandangan orang tentang cinta dan pernikahan itu? Aku tidak tahu. Seperti yang tertulis dalam peringatan bagi pembaca kamus online-nya, "Hanyalah sebuah pendapat seorang individu pada awal abad lalu," Semua orang boleh punya pendapat sendiri-sendiri, tergantung pengalamannya. Aku sendiri hanya kadang-kadang berpikir sebuah dongeng hanya akan tetap menjadi dongeng indah selama ceritanya berakhir sampai tokoh utama menikah dan "Hidup bahagia selamanya." Hanya sampai di situ, tidak boleh lebih.
Little Women, salah satu novel terbaik yang pernah kubaca, bercerita tentang kehidupan dan kasih di antara empat perempuan bersaudara yang bertumbuh ketika perang saudara berlangsung di Amerika. Novel karya Louisa May Alcott ini bercerita tentang pergumulan mereka membantu ibunya melawan kemiskinan pada saat sang ayah ikut berperang. Sebuah cerita dengan akhir bahagia ketika Jo yang Tomboi; Meg yang sangat cantik; Beth yang lembut, pendiam dan pemalu; serta Amy si bungsu akhirnya bertemu ayah yang sangat dirindukan. Sebuah cerita yang diakhiri dengan sebuah hadiah natal terindah, kembalinya si ayah yang terluka dari medan perang ketika Beth sembuh dari demam yang hampir merenggut nyawanya.
Betapa senangnya aku ketika menyadari karakter Meg, Jo, Beth dan Amy dalam novel "Good Wives" merupakan karakter yang sama dengan karakter dalam novel "Little Women". Ternyata novel itu merupakan kelanjutkan novel pertama, tetapi aku tidak pernah menyelesaikannya karena ternyata bercerita tentang kehidupan mereka setelah menikah. Aku melepaskan novel itu karena lebih suka Jo masih menjadi gadis tomboi yang selalu membela Beth; Meg tetap menjadi gadis sangat cantik yang begitu mempedulikan kehalusan dan kelembutan tangannya serta selalu membela Amy jika si bungsu ini bertengkar dengan Jo. Aku lebih suka Beth benar-benar sembuh dari penyakitnya sehingga tetap bisa menyayangi boneka dan kucing-kucingnya, lalu Amy tetap "dingin, suka menyendiri dan ambisius." Intinya, aku lebih suka keempat gadis itu tetap menjadi Little Women, bukan Good Wives dengan segala permasalahan rumah tangganya.
Entah mengapa pula, kadang-kadang aku merasa cerita pernikahan tidak cocok untuk sebuah cerita dongeng, hanya cocok untuk sebuah cerita detektif. Mungkin karena semua liku-liku cerita itu kebanyakan hanya mengarah ke satu hal, si pembunuh ternyata suaminya sendiri atau istrinya sendiri. Demi sebuah warisan atau seorang pria lain atau seorang wanita lain, sebuah alur yang cukup sederhana. Pernikahan juga sangat bagus untuk acara komedi, makanya aku suka menonton sinetron "Suami-suami Takut Istri". Walaupun stereotip kesukuan di sana terlalu berlebihan, tetapi cukup menghibur juga melihat keempat suami itu menggunakan berbagai cara mengakali istri masing-masing, sayangnya selalu saja ketahuan.
***
Jum'at itu aku melihat sesuatu yang lain. Janji pernikahan itu tidak bisa kutertawakan karena tidak diucapkan oleh sepasang manusia yang sedang dibutakan oleh cinta, tetapi diucapkan oleh dua orang yang telah membuktikan komitmen mereka melaksanakan janji itu selama 50 tahun. Bukan hanya mempelai yang menitikkan air mata, beberapa tamu yang hadir terpaksa menghapus air matanya ketika mendengar bagian terakhir dari janji itu, "Sampai maut memisahkan kita."
Ketika tadi acara itu baru dimulai, pendeta yang memimpin kebaktian mengakui jarang sekali orang mempunyai kesempatan merayakan ulang tahun pernikahan yang kelimapuluh. Teman yang duduk di sampingku menyelutuk, teryata sedikit sekali yang bisa merayakan ulang tahun pernikahan yang kelima puluh.
Aku mengiyakan dan menambahkan, "Memang sedikit, tetapi sebenarnya banyak yang telah mencapai usia pernikahan tersebut, hanya saja jarang ada yang mau merayakan lima puluh tahun hidup dalam sebuah 'neraka kehidupan'"
Sebuah pernyataan yang keluar mungkin karena hidup di lingkungan yang orang-orangnya sudah menikah selama lebih dari tiga puluhan tahun. Tetangga kiri, kanan dan depan rumah adalah teman-teman sepermainan yang orang tuanya sudah menikah cukup lama. Tidak ada acara ulang tahun pernikahan, bahkan aku hampir yakin sedikit sekali yang bisa mengingat tanggal pernikahan tersebut. Semuanya adalah rutinitas yang memang harus dijalankan.
Menikah adalah sebuah naluri alamiah. Tidak menikah di atas dua puluh lima tahun berarti ada sesuatu yang perlu diselidiki. Semua orang menikah, tidak ada istilah bahagia atau tidak. Sesuatu yang harus dijalani dimana faktor nasib memegang peran penting. Ada yang beruntung mendapat pria yang baik atau wanita yang baik tetapi ada juga yang sial, seperti sepupuku yang besar kepala ketika menikah dengan orang yang bisa menyetir mobil, tahunya hanya sopir sebuah perusahaan kayu.
Jika ada yang kebetulan belum mendapatkan pasangan yang tepat setelah 30 tahun, maka ada banyak orang yang dengan sukarela membantu mencarikan pasangan. Semua orang begitu peduli karena menikah adalah sesuatu yang harus dijalani. Banyak yang harus dipikirkan jika tidak menikah-nikah juga. Kalau sudah terlalu tua, bagaimana anak-anak nanti, baru masuk SD ketika sang ayah mau masuk kubur? Siapa yang akan memelihara pada masa tua? Siapa yang menguburkan kita nanti kalau tidak punya anak dan cucu? Pernikahan, sebuah jalan menjamin masa tua.
Tetapi kemarin aku melihat sebuah sisi lain. Seperti kata pendeta yang memimpin acaranya, banyak masalah, tetapi bisa mengekspresikan ucapan syukur atas penyertaan Tuhan selama 50 tahun itu merupakan sesuatu yang luar biasa. Apalagi aku cukup tahu mereka benar-benar bersyukur atas kelimapuluh tahun itu.
***
- anakpatirsa's blog
- 7058 reads
@anakpatirsa-Bisa minta Tuhan
Menikah adalah judi
Menikah?ok deh...
definisi cinta
Cinta adalah benih
Jesus Freaks,
"Live X4J, die as a martyr"
Jesus Freaks,
"Live X4J, Die As A Martyr"
-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-