Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Chi Fan Le Mei You? Sebuah Kata Simpati China yang Tergeser Nilainya

ABC Tirai Bambu's picture

Chi Fan Le Mei You? (?????)/Sudah Makan Belum?

Chi fan le mei you dalam bahasa Indonesia berarti “Sudah makan atau belum?”. Pada waktu kami pertama kali datang di negeri ini (Tiongkok, propinsi HN kota CS), saya sering menerima pertanyaan orang?“Chi Fan le mei you?” Secara spontan saya menjawab ?Sudah Makan” atau kadang saya jawab “Belum Makan” sesuai kondisi waktu pertanyaan itu ditanyakan. Pertanyaan seperti itupun tidak jarang saya jumpai sewaktu di Indonesia, khususnya sewaktu mau mengerjakan seseuatu di saat jam makan. Maksud orang yang bertanya kemungkinan bisa berarti kalau belum makan sebaiknya makan dulu baru pergi atau mengerjakan sesuatu. Atau juga bisa berarti makan dulu dan berhenti sejenak dulu dari pekerjaan yang sedang dilakukan supaya ada cukup tenaga atau tidak sakit maag. Pertanyaan tersebut juga bisa berarti orang yang bertanya mau mengajak kita makan bersama, dan masih banyak arti lainnya. Sekarang kami melayani di Bei Fang (sebutan untuk Tiongkok bagian Utara), di propinsi Hebei, dan pertanyaan Chi Fan Le Mei You tetap kerap kami terima dan kami dengar.

Seringnya menerima pertanyaan tersebut dan juga sering memperhatikan seseorang bertanya kepada temannya chi fan le mei you, saya jadi berpikir betapa ramah, murah hati dan perhatiannya orang negeri ini. Bersama berjalannya waktu, saya jadi mengerti rupanya pertanyaan chi fan le mei you tidak berarti bahwa orang yang bertanya punya maksud untuk mengetahui apakah kita dalam kondisi sudah makan atau belum. Secara harafiah memang berarti sudah makan atau belum, namun pertanyaan tersebut rupanya hanya berarti?”Halo”. Ya seperti orang Indonesia yang bertemu dengan teman sewaktu di jalan dan berkata, “Halo” dan kita pun menjawab, “Halo”. Jadi kata tersebut hanya berupa salam, atau lebih tepat dikatakan sekedar menyapa, “Halo”.

Mengapa orang di negeri ini lebih sering menggunakan kata Chi Fan le mei you ketimbang Ni Hao yang memang sungguh-sungguh berarti Halo? Rupanya (Karena ketika mengikuti kelas kebiasaan dan budaya negeri ini, saya akhirnya mengerti) kata chi fan le mei you adalah bagian dari sejarah penduduk bangsa ini yang kemudian berubah menjadi suatu kebiasaan untuk menyapa. Beberapa puluh tahun lalu? khususnya waktu revolusi kebudayaan, umumnya penduduk negeri ini sangat menderita. Untuk makan saja, di banyak penjuru negeri, orang harus antri dan pakai kupon untuk mendapatkan jatah makan. Di banyak penjuru negeri orang tidak bisa makan nasi. Mereka biasanya makan bubur, dan dalam satu mangkok bukan buburnya yang banyak tapi kuahnya yang banyak. Sehabis makan umumnya orang tidak merasa kenyang dan tidak berapa lama akan merasa lapar karena mereka hanya makan bubur yang lebih banyak airnya. Sehingga jika orang bisa makan nasi satu mangkok maka itu hal yang luar biasa. Makan nasi putih saja sudah merupakan hal yang didam-idamkan orang penduduk negeri pada waktu itu. Gula, Misalnya, hanya bisa dapat setengah kilo per bulannya (entah itu membeli atau dapat jatah gratis). Waktu itu jatah makan adalah dua kali sehari, di luar jatah makan orang tidak bisa jajan. Biasanya orang yang sudah antri dan dapat jatah makan akan bertanya kepada orang yang lain yang mungkin tidak sedang antri untuk mendapat jatah makanan dengan kata,”Chi fan le mei you” Maksudnya adalah bahwa jika orang tersebut belum makan sebaiknya cepat antri sebelum waktu habis dan tidak bisa lagi mendapat jatah makanan. Pertanyaan chi fan le mei you juga bisa berarti jika kamu belum makan dan untuk mendapat jatah makan juga sulit (karena berbagai alasan) maka mungkin bisa membagi sedikit jatah makanan kepadanya. Mengapa, karena kalau harus tunggu waktu makan yang berikutnya, maka orang tersebut pasti akan sangat kelaparan. Kata ini juga berkembang karena situasi kemiskinan yang membuat orang sulit makan sehingga pertanyaan ini ketika disampaikan itu menunjukkan simpati yang serius kepada orang lain. Jadi pertanyaan ini semula memiliki arti yang dalam yakni memberi simpati bahkan sebagai awal untuk menolong kebutuhan utama (makanan) orang yang ditanya. Orang yang menerima pertanyaan tersebut umumnya merasa dihibur dan dipedulikan.

Sekarang, ketika negeri China umumnya orang sudah tidak lagi sulit mendapat makanan, pertanyaan chi fan le mei you ini diucapkan sambil lalu dan berubah arti. Tidak ada lagi indikasi simpati dan akan memberi pertolongan selain dari sapaan biasa. Sekarang chi fan le mei you hanyalah ucapan spontan dan kebiasaan menyapa saja. Orang yang ditanya chi fan le mei you dahulu akan merasa bahwa orang yang bertanya padanya adalah orang yang sungguh peduli terhadapnya, sekarang orang tidak peduli walaupun temannya bertanya kepadanya chi fan le mei you, karena itu hanya sekedar berarti “Halo”.

Perubahan makna seperti ini juga dalam banyak kehidupan keseharian kita. Orang yang mulanya tulus dalam melayani akhirnya berubah menjadi gila hormat, gila harta. Cinta yang menggebu sebelum pernikahan berubah menjadi kebiasaan tanpa arti dalam pernikahan, sehingga sering orang bertanya ke mana perginya cinta setelah pernikahan. Semakin panjang usia pernikahan semakin terasa hambar dan semua yang dilakukan hanyalah sekedar kebiasaan.. Gembala jemaat awalnya sering berkunjung di rumah-rumah jemaat, akhirnya tidak sama sekali melakukan perkunjungan kecuali kepada orang-orang yang kepadanya ia dapat menaruh harapan besar. Majelis dan pemimpin kategorial dalam jemaat awalnya mengucapkan janji untuk sungguh-sungguh melayani, tapi akhirnya hanya senang untuk duduk rapat di sini dan rapat di sana tanpa peduli bahwa seusungguhnya personal touch itu jauh lebih penting dan berarti dari segala rapat. Rapat itu perlu, tapi kita jangan jadi orang yang tahunya rapat tanpa mau melayani kebutuhan rohani dan kehidupan jemaat. Teman yang dulunya begitu perhatian dan baik tapi ketika memegang sebuah jabatan atau kedudukan berubah menjadi orang yang di atnaranya menusuk kita dari belakang. Ada orang yang dulunya begitu minder tapi ketika sukses dalam bisnis suka sekali merendahkan orang. Masih banyak lagi contohnya. Perubahan yang baik menjadi suatu kebiasaan tanpa arti itulah yang sering terjadi dalam hidup termasuk dalam hidup dan kehidupan orang percaya. Padahal pengenalan akan Kristus yang semakin mendalam harusnya merubah karakter hidup kita untuk semakin menyerupai Dia yang selalu punya waktu untuk Bapa-Nya yang di surga dan untuk orang-orang disekitar yang membutuhkan-Nya.

Firman-Nya kepada jemaat di Efesus up to date untuk selalu baca oleh kita sebagai suatu perenungan, “Aku mencela engkau karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula” (Wahyu 2:4). Uang, jabatan, ketenaran membuat kita terlalu mudah dan sering berubah dalam kasih, motivasi, karakter kristiani yang sungguh baik menuju hal yang negatif dan tanpa makna. Mari kita melakukan himbauan BAPA, “Bertobatlah dan lakukan lagi apa yang semula telah engkau lakukan” Ya, mari kita kembali memiliki kasih yang semula kepada BAPA, Istri/Suami/Keluarga dan kepada Sesama. Jemaat yang kita layani, murid yang kita ajar, keluarga kita, orang-orang di sekitar kita, seringkali mempunyai pergumulan yang serius namun tidak berani mengungkapkannya pada orang lain. Mereka-mereka itulah yang sedang menunggu kapan ada orang yang sungguh-sungguh peduli kepada mereka. Tepatnya, orang-orang di sekitar kita sedang menunggu kasih dan kepedulian kita.

Mari kita belajar bertanya secara tulus dan penuh perhatian kepada sesama kita seperti dahulu orang di Tiongkok bertanya, “Chi Fan Le Mei You?”

Salam

Shi Fan Da Xue di Yv Hua LU

Rusdy's picture

Kesimpulan Menarik

Wah, menarik juga ceritanya. Yang lebih menarik lagi adalah kesimpulannya. Kalau mau dipikir-pikir, betul juga, karena bangsa Indonesia (atau Timur pada umumnya) memang dikenal lebih ramah tamah. Tapi, seringkali pertanyaan basa-basi, yang merupakan bagian dari keramah-tamahan menjadi rutinitas, bukan berasal dari kasih.
hai hai's picture

Sudah Makan?

kata chi fan le mei you adalah bagian dari sejarah penduduk bangsa ini yang kemudian berubah menjadi suatu kebiasaan untuk menyapa. Beberapa puluh tahun lalu?

Saudara Hendra, nampaknya, walaupun agak ragu, namun anda mengajarkan bahwa tradisi saling menyapa dengan kata “sudah makan?” baru lahir di Tiongkok pada saat revolusi kebudayaan.

Tanpa mengurangi rasa hormat, namun menurut saya apa yang anda lakukan itu benar-benar ngawur. Anda beruntung memiliki kesempatan untuk mempelajari kebudayaan Tiongkok langsung dari sumbernya. Menurut saya, sebelum anda menulis seharusnya anda menguji apa yang anda tulis, ada kemungkinan ada ribuan orang yang akan membaca tulisan anda lalu mengajarkan kepada ribuan orang lainnya yang akan mengajarkannya kepada ribuan orang lainnya yang akan mengajarkan kepada ribuan orang lainnya lagi.

Revolusi kebudayaan baru berlangsung di Tiongkok pada tanggal 16 Mey 1966 sedangkan tradisi bertanya “Sudah makan?” sudah berlaku jauh sebelumnya. Di kampung saya, di Medan, tradisi saling menyapa cia pa boei? sudah makan? Sudah berlangsung jauh sebelum revolusi kebudayaan berlangsung.

Nah, silahkan anda mempelajari tradisi saling menyapa, “sudah makan?” lebih akurat lagi, untuk memperbaiki tulisan anda di atas, karena bila tidak, maka anda sedang menyesatkan para pembaca tulisan anda.

Selama ribuan tahun bangsa Tiongkok menyebut negerinya dengan nama Zhong guo (dibaca chung kuo). Mengenai Zhong guo, kebanyakan orang memahaminya sebagai negeri tengah dan melecehkan nenek moyang bangsa Tiongkok bodoh karena menganggap negerinya ada di tengah-tengah dunia, pusat dunia.

Ketika bangsa Tiongkok menyebut negerinya Zhong guo, mereka tidak sedang memaksudkan bahwa negara mereka adalah pusat dunia, baik secara geografis maupun secara politis, tetapi sedang menyatakan bahwa negara mereka adalah negara yang tidak menyimpang dari Tian Dao (jalan Tuhan), negara yang taat pada Tian Dao.

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

ABC Tirai Bambu's picture

Ngawur? Terimakasih!

Ngawur? Terimakasih!

Saudara Hai-Hai saya berterimakasih walau Anda bilang saya ngawur dan menyesatkan.

Karena ucapan Anda membuat saya koreksi apa yang salah dalam tulisan tersebut. Kata-kata ,”Beberapa puluh tahun lalu?”  memang membuat bingung. Dalam draft pertama saya di file seharusnya bukan tanda tanya (?) tetapi tanda koma ??? Tetapi mengapa akhirnya bisa muncul banyak tanda tanya termasuk dalam kalimat tersebut itu pasti karena saya ngawur dalam menekan tombol tanda baca dan ngawur karenaq belum tahun benar bisa mempost sebuah tulisan dan sudah dengan takabur mengirimnya.

Tetapi selain itu saya tidak ngawur dan menyesatkan. Karena saya tidak menekankan kapan waktu kata itu di mulai (karena kata ini sendiri sudah sejak dulu ada di sini) Saya hanya ingin tekankan perubahan makna yang ada. Dan soal makna, saya tidak ngawur.

Kalimat Chi Fan Le Ma oleh orang di sini di sebut Xi Yu (xi guan yu yan) ada banyak artikel yang sudah ditulis terutama dalam majalah-majalah kampus di beberapa universitas di negeri ini, termauk beberapa diktat yang diterbitkan oleh BLCU (Beijing Language and Culture University).

Menurut seorang pakar sosiologi budaya, Chi Fan Le Mei You sebenarnya sudah ada sejak 196 SM di mana Putri Wang, seorang putri yang dikenal baik hati sering bertanya kepada orang dengan kalimat ini dan orang yang ditanya pun merasa bahwa ia sudah dipedulikan. Bahkan seorang Dosen Budaya dari propinsi Hebei meyakini bahwa ucapan tersebut sudah pula diucapkan oleh Meng Zi seorang filsuf kesohor di China sekitar tahun 300 SM) Ia punya kalimat yang terkenal di negeri ini yang jika diterjemahkan bebas berbunyi, JIka kita punya banyak sebaiknya kita banyak pula memberi karena jika kita tidak memberi berarti kita telah kehilangan. Sejak kecil ia merasa begitu diperhatikan bila orang yang punya lebih banyak makanan lalu member padanya. Sehingga pelan-pelan iapun sekali-sekali bertanya chi fan le ma atau chi guo le sebagai wujud perhatian dia.

Bahwa kalimat Chi Fan Le Ma itu sudah ada sejak dulu, itu benar. Tetapi sama sekali tidak menjelaskan bahwa itu merupakan kebiasaan atau budaya orang negeri China pada umumnya.

Orang Hokian tidak sendiri, ada juga orang Hunan dan Henan yang punya kebiasaan yang baik tersebut. Tetapi sama sekali tidak menjelaskan itu merupakan kebiasaan orang di sini pada umumnya. Itu budaya sebagian daerah di negeri China, karena di beberapa propinsi yang saya kunjungi ada beberapa orang tua yang saya pernah Tanya dan mereka bilang dulu orang ditempatnya lebih senang berkata Tong Zhi NI Qu La (rekan, pergi ya) atau Tong Zhi Hui Jia le ? (rekanku, udah pulang ya) sebagai kata salam.

Tetapi kalimat Chi Fan Le Mei You mulai sering terdengar yakni sekitar dua puluh tahun sebelum revolusi kebudayaan, waktu itu ada dua orang terkenal yang suka sekali bilang kalimat ini. Seorang bernama Mao Ze Dong dan seorang lagi, yang juga orang Hunan bernama Lei Feng.

Namun banyak kesaksian orang tua yang menyebutkan dulu mereka tidak punya kebiasaan omong tersebut dan menurut mereka kalimat Chi Fan Le Mei You paling banyak diucapkan orang pada waktu revolusi kebudayaan. Saya, seorang dosen budaya di Hebei Teacher University pun setuju jika kalimat itu benar-benar membudaya atau marak diucapkan (hong) yakni ketika revolusi kebudayaan.

Karena alasan tersebut akhirnya saya tulis, “Beberapa puluh tahun lalu, khususnya pada waktu revolusi kebudayaan…”

 Namun karena yang saya ingin tekankan adalah perubahan makna maka saya pikir tidak perlu untuk menulis detail perkembangan kalimat Chi Fan Le Mei You menjadi budaya orang negeri China pada umumnya. Lagian saya pikir ini Blog dan bukannya jurnal ilmiah.

Tetapi sekali lagi, ketika Anda bilang Ngawur saya ingin tetap berterima kasih, karena sebenarnya tulisan tersebut kurang lebih 4 tahun lalu sudah saya berikan pada orang lain dengan implikasi yang berkaitan dengan kehidupan sosial. Pertama kali justru saya berikan kepada beberapa dosen di negeri China. Jadi soal makna asal kalimat tersebut, saya tidak ngawur. Namun dalam bahasa Indonesia kira-kira sudah sekitar dua tahunan. Dan ucapan Anda lah yang membuat saya harus lebih teliti lagi dalam memeriksa tulisan termasuk dengan tanda bacanya.

Tahun 1993 adalah awal saya menekuni budaya China, tetapi tentu masih belum cukup.

 

O ya jika Zhongguo harus dilafalkan chung kuo, itu tetap bisa dimengerti tetapi sebenarnya bunyinya pastilah tidak seperti standart Pu Tong Hua. Memang kita orang Indonesia jika datang ke propinsi Fujian dan Guangdong lebih pede karena ucapan bisa dimengerti oleh mereka. Tetapi jika ke daerah Utara dan Dong Bei ucapan kita orang Indonesia ada banyak bagian yang harus disesuaikan.

So  jangan bosan kritik ya, saya tahu pasti itu untuk baiknya saya dan juga agar tulisannya bisa dipahami oleh orang lain dengan lebih baik.

 

Terima Kasih

Hendra

(Lei)

 
hai hai's picture

Tidak Ngawur?

Saya tidak tahu bagaimana para pembaca lain memahami tulisan anda, namun saya memahaminya, bahwa anda sedang mengajarkan asal-usul tradisi saling menyapa, “Sudah makan belum?” di kalangan orang Tionghua muncul dari revolousi kebudayaan. Dan maknanya hanya sekedar saling mengingatkan untuk antri makanan dan saling menghibur sesama orang lapar.

Menurut saya, mengaitkan tradisi saling menyapa “sudah makan belum?” dengan revoulusi kebudayaan dan tradisi antri makanan, sama seperti mengaitkan pepatah, “Alon-alon angger kelakon artinya pelan-pelan asal kesampaian” dengan kerja paksa waktu jaman penjajahan Belanda atau Jepang. “Alon-alon angger kelakon” adalah cara orang-orang Jawa yang dipaksa kerja paksa oleh penjajah Jepang untuk saling mengingatkan agar tidak bekerja terlalu memaksa diri.

Melayat namun tak mampu menyokong, maka jangan bertanya tentang biaya penguburan. Membesuk namun tak mampu memberi oleh-oleh, maka jangan bertanya apa yang diinginkannya? Berjumpa dengan orang namun tak mampu memberi penginapan, maka jangan bertanya di mana dia akan beristirahat. Li Ji IA:IV:8:37 qu li

 

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak