Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Cerita yang tak Selesai
Alkisah, terdapatlah sebuah Kerajaan. Di sana bertahta seorang Raja yang memerintah bukan dengan tangan besi melainkan dengan kebijaksanaan. Tidak banyak hukum dan peraturan yang dibuatnya, kecuali sebuah Naskah Perjanjian yang disepakati semua warga Kerajaan. Setiap orang mematuhi Perjanjian itu dengan sukarela, karena mereka tahu, Perjanjian itu dibuat untuk kebaikan mereka semua, bukan demi kesenangan sang Raja semata.
Setiap warga Kerajaan tersebut bebas mengungkapkan pikiran dan perasaannya, selama hal itu memang merupakan ungkapan isi hatinya yang sejujur-jujurnya. Tidak ada yang takut berbeda pendapat, karena kebebasan berpendapat dan kreativitas dijunjung tinggi di Kerajaan itu. Dan memang untuk tujuan itulah diciptakan Naskah Perjanjian yang disepakati bersama itu tadi, agar setiap warga bisa mengekspresikan kebebasannya, tanpa melanggar hak-hak warga yang lain.
Memang kadang-kadang ada beberapa warga yang iseng atau khilaf dan mulai melanggar Perjanjian itu, tapi segera warga yang lain akan mengingatkannya, dan orang itu segera kembali ke jalan yang benar. Kegemaran saling mengingatkan dan bersedia diingatkan ini membuat Kerajaan itu tidak memerlukan banyak tentara atau punggawa.
Segera saja, Kerajaan yang masih berusia muda ini menjadi Kerajaan yang aman, tenteram, damai, tapi juga sekaligus hangat, ramai dan menyenangkan bagi warganya. Semakin banyak para pelancong, yang tadinya hanya sekadar numpang lewat, jadi kerasan dan bergabung menjadi warga Kerajaan tersebut, tentu saja setelah mereka membaca, menyetujui dan menandatangani Naskah Perjanjian itu. Hanya itu saja syarat untuk menjadi warga Kerajaan.
Hanya satu keanehan Kerajaan tersebut, yaitu: tidak ada seorang pun yang pernah melihat sang Raja. Tidak ada yang tahu apakah dia masih muda atau sudah tua, atau mungkin bahkan seorang wanita, atau lebih dari seorang. Tidak ada yang tahu. Yang mereka tahu hanyalah bahwa sang Raja sering menyamar menjadi rakyat jelata. Ada beberapa warga yang senang menduga-duga. Mungkinkah dia sosok pria tua berjenggot yang selalu duduk di sudut pasar, mengamati orang-orang yang lalu lalang? Atau mungkin dia adalah anak muda tampan yang suka menolong nenek tua menyeberang itu? Atau jangan-jangan malah si nenek itu sendiri, yang sedang menguji rakyatnya apakah mereka suka menolong? Tapi akhirnya semua merasa tidak penting mengetahui yang mana sang Raja. Yang penting mereka selalu bersikap sopan, baik, dan hormat pada semua orang. Bukankah sang Raja sendiri, dalam maklumatnya, sering mengatakan bahwa dia tidak mau dibedakan dari rakyat biasa?
Namun suatu hari, terjadilah "peristiwa itu".
Gendon, seorang warga Kerajaan, melakukan pelanggaran terhadap Naskah Perjanjian. Apa yang dilakukannya? Walahualam. Buku-buku sejarah di masa kemudian menuliskannya sebagai pelanggaran yang tak termaafkan, bahkan ada yang mengatakannya sebagai kesombongan. Tapi banyak yang tidak tahu bahwa pada mulanya itu hanya sebuah pelanggaran kecil yang bisa dengan mudah diperbaiki, seandainya saja Gendon mau mendengar. Seandainya saja...
Gemblung, temannya yang penuh perhatian, mulanya sudah mencoba mengingatkan agar Gendon segera menghentikan pelanggarannya. Namun Gendon tidak mau mendengar, bahkan ia semakin gigih melakukan aksinya, karena yakin bahwa ia melakukan hal yang benar. Menurutnya Naskah Perjanjian itu tidak ada artinya apa-apa dibanding manfaat dari apa yang dilakukannya. Pertengkaran di antara mereka merebak sehingga semakin banyak warga lain yang akhirnya tahu mengenai hal ini. Bilung, Togog, Limbuk, Cangik, dan warga-warga Kerajaan lain ikut memberi saran. Ada yang dengan sabar menjelaskan bahwa walaupun mungkin saat ini apa yang dilakukan Gendon nampaknya baik, tapi jika nanti semua orang meniru tindakannya, maka Kerajaan itu akan kehilangan jati dirinya, mereka akan jadi sama dengan kerajaan lain yang rakyatnya hanya bisa meniru dan membeo, tidak punya kebebasan dan kreativitas lagi.
Gendon tetap ngotot. Bahkan dia memanfaatkan dukungan dari warga-warga yang kurang mengerti duduk persoalannya, dan membela Gendon karena merasa mendapat manfaat dari pelanggarannya. Yang penting sekarang senang, perkara masa depan Kerajaan tidak usah digubris, begitu mungkin yang mereka pikirkan. Bahkan mereka mengatakan, bukankah Raja sendiri tidak mengatakan apa-apa mengenai hal ini, mengapa mesti repot? Tapi satu hal yang mereka lupa, bahwa ternyata Raja telah mendengar semuanya, bahkan dia telah mengirimkan beberapa punggawanya, yang hanya sedikit itu, untuk menyamar menjadi rakyat. Bahkan dia sendiri akhirnya menyamar menjadi rakyat untuk mencoba mengingatkan Gendon. Tapi beberapa orang malah menantang, jika memang Raja tidak senang, tunjukkan kuasamu!
Warga Kerajaan menjadi terpecah-belah. Sebagian menganjurkan agar Gendon bertobat, sementara yang lain membela Gendon dan menganggap Naskah Perjanjian tidak ada gunanya lagi. Di tengah-tengah keramaian, tiba-tiba Gendon menghilang dan terdengar kabar bahwa hasil karya Gendon sudah tidak nampak lagi. Mungkin Raja dan punggawanya yang akhirnya turun tangan melenyapkan karya-karya tersebut, tapi mungkin juga Gendon yang dengan kesadaran sendiri melakukannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana rakyat bisa berdamai kembali?
Cerita ini belum selesai. Mari kita coba selesaikan bersama...
- Daniel's blog
- 4437 reads
100d
Gendon dan Gemblung
Cerita bagus meskipun tak selesai.
Jika lebih diteliti, Gendon dan Gemblung sebenarnya patut dikagumi. Sedikitnya mereka berdua mempunyai keberanian untuk tampil berbeda. Salut untuk kedua warga kerajaan tersebut.
BTW, ketika saya periksa di dalam kamus, Amandemen ternyata berasal dari kata Amendment. Ya ampun, aku bodo amat ... engga nyambung tadinya. Thanks anyway.
Syalom,
John Adisubrata