Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Indonesia-saram's blog
Retret: Membaca Diri Sendiri
Seorang berkebangsaan Skotlandia siang tadi menyurati saya. Dia banyak bercerita soal wawasan dan keindahan yang ada di daerahnya saat ini, Prancis Selatan. Salah satu cerita menarik yang ia sampaikan ialah tentang leluhurnya yang menyeberangi Laut Atlantik. Ia mengutip buku harian leluhurnya tersebut.
Saya tercenung. Betapa lengkap dan menariknya deskripsi yang ditulis oleh leluhurnya tersebut. Bukan deskripsi yang benar-benar konkret dan detail, tapi itu jelas deskripsi yang sering saya gunakan ketika dulu masih sering menulis buku harian dan juga surat.
D'ArtBeat dan Trilogi Panggung Kehidupan
Jakarta memang memberikan berbagai kesempatan. Salah satunya kesempatan menikmati kegiatan seni dan budaya. Setelah sebelumnya menikmati pagelaran wayang orang, Petroek Ngimpi yang dibawakan oleh Paguyuban Gumathok dan Wayang Orang Bharata di TIM, 26 Agustus 2010 lalu, kesempatan menikmati drama musikal pun hadir pula.
Adalah D’ArtBeat yang menyajikan drama musikal tersebut. Dalam pementasan mereka di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta, 25 September 2010 lalu, mereka mengusung drama bertajuk ”Satu Kata yang Terlupa”. Pagelaran ini merupakan kelanjutan dari Road Show Trilogi Panggung Kehidupan yang sebelumnya juga menampilkan drama musikal, ”Pulang”.
Empat Tahun Kepergian Gregorius Sidharta Soegijo
Empat tahun lalu, dunia seni rupa Indonesia harus kehilangan salah seorang senimannya. Gregorius Sidharta Soegijo tutup usia pada umur 73 tahun. Sosok yang dianggap sebagai pembaru dalam dunia seni rupa, khususnya seni patung ini, meninggal setelah mengalami sesak napas akibat kanker paru-paru, pada tanggal 4 Oktober 2006 di Rumah Sakit Dr. Oen, Solo.
Mengenang Mula Harahap
"Sudah tahu belum, Pak Mula meninggal?" begitu rekan di balik telepon memberi tahuku tadi siang (16/09). Tak kutanggapi informasinya secara serius. Tapi pelan-pelan, kutanya juga pada rekanku yang senior, "Pak Mula meninggal, apa betul?" Kontan sikapnya berubah. Ia segera memberi tahu, betapa ia merasa agak heran mengetahui ada beberapa temannya di Buku Wajah yang mengucapkan "selamat jalan" kepada Mula Harahap. Aku yang biasanya tak suka membuka Buku Wajah, terutama pada jam-jam kantor, segera saja membukanya. Penasaran dengan berita itu. Ketepatan pula aku baru "berteman" dengannya.
Dasar bandit! Begitu dibutuhkan, lama sekali halaman Buku Wajah itu terbuka. Dalam hati, Bandit satu ini mungkin balas dendam karena tak kuperhatikan selama di kantor. Tak mau menanti sampai seluruh halaman tampil sempurna, kuketik nama Mula Harahap di bagian "pencarian" itu, dan begitu tampil hasilnya, langsung kuklik. Sekali lagi butuh waktu lama. Dan begitu tampil sempurna, sudah tampak begitu banyak orang mengucapkan salam perpisahan maupun apresiasi kepada beliau. Aku masih tidak begitu yakin.
- 3 comments
- Read more
- 4979 reads
Antara Rawa Selatan dan Sarinah
Sudah berapa kali kami satu bis? Aku tidak begitu ingat. Semula aku memang tiada memperhatikan keberadaannya. Kukira beberapa kali aku memejamkan mata. Menikmati lengkingan gitar Hisashi dan lantunan vokal Teru. Atau ketika bis sudah agak penuh sehingga aku pun tidak dapat tempat duduk, dan aku berdiri memandang keluar bis sehingga tidak memperhatikan keberadaannya.
- 12 comments
- Read more
- 5815 reads
Sastra Goceng: Ditangisi atau Disyukuri?
Setiap kali ada pesta buku, salah satu jenis buku yang pasti saya cari ialah buku sastra. Memang saya tidak selalu menghampiri stan yang menjajakan buku-buku sastraNamun, saya pasti melihat buku sastra apa saja yang bisa saya temukan di berbagai stan.
Dalam kegiatan Kompas-Gramedia Fair yang baru lalu, saya cukup terpuaskan, salah satunya oleh sebuah karya Korrie Layun Rampan. Apalagi beliau merupakan salah seorang sastrawan favorit saya. Tidak hanya karena banyak mengangkat budaya suku Dayak, tetapi juga karena gaya bahasanya yang menurut saya cukup indah dan enak dibaca. Karya yang saya maksudkan ialah kumpulan cerpen berjudul Melintasi Malam.
- 8 comments
- Read more
- 5825 reads
Cerita Lain pada Hari Senin
Pagi ini, aku kembali melihatnya. Dan sekali ini, ia berada jauh lebih dekat daripada biasanya. Mengenakan setelah hitam yang menawan. Parfumnya yang beraroma terapi benar-benar memikat. Kontan pikiranku menjadi kacau.
Aku sama sekali tidak mengenalnya. Ia pun sama sekali tidak mengenalku. Tapi kami sering mengantri di halte yang sama. Sering berada dalam satu bis. Menuju ke tempat kerja masing-masing. Ini sedikit lucu. Kalau di Jawa, setiap orang yang rutin bertemu, minimal akan bertegur sapa. Tapi ini Jakarta. Mau ribuan kali bertemu, jangan harap ada sapaan.
- 2 comments
- Read more
- 4769 reads
Melongok Exposigns 2009
Pada tanggal 25-30 November lalu, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta mengadakan pameran seni bertajuk Exposigns. Diadakan di Jogja Expo Center, pameran ini sekaligus sebagai peringatan 25 tahun ISI Yogya. Mungkin karena itu pulalah pameran ini diembel-embeli pameran besar dalam promosinya.
Internet dan Dampaknya bagi Komunikasi Berbahasa Indonesia
Tahun berapa untuk pertama kalinya Anda mengenal internet? Jika mengenal internet pada periode 1990-an, mungkin Anda akan beranggapan bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa universal di dunia maya. Mayoritas situs web menggunakan bahasa Inggris. Tidak hanya pada isi situsnya, tetapi juga pada setiap menu yang digunakan. Bandingkan dengan Yahoo! yang belum sampai lima tahun menyediakan layanan berbahasa Indonesia. Apalagi yang namanya blog. Mempertimbangkan hal itu, apa yang saya bahas berikut ini jelas tidak akan relevan pada masa tersebut.
Namun, seiring perkembangan, situs-situs berbahasa Indonesia pun bermunculan. Internet relay chat pun mewabah pada periode akhir 1990-an. Lalu muncul pula instant messenger. Fenomena blog merebak dalam tahun-tahun kemudian. Semua ini ternyata memberi dampak bagi perkembangan bahasa Indonesia.
- 2 comments
- Read more
- 6566 reads
Sang Bundar dan Akhir Masaku
Sekali lagi untuk kesekian kalinya, aku lunta-lantu di depan kantorku. Tak jelas hendak ke mana kuarahkan langkah kakiku. Ingin lekas tiba di rumah, tapi itu mustahil. Jarak yang jauh, jalan yang macet, bis yang sesak penuh, angkutan yang berjalan lelet. Semua itu selalu menghiasi.
Ada pula tempat bernaung lain. Tapi ke sana pun sama. Harus mengantri Transjakarta di halte yang sesak. Meski telah dihias kipas raksasa, tak jua memberi kelegaan. Lagi pula, naungan ini masih akan merepotkan temanku. Maka semakin lunta-lantulah aku.
- 3 comments
- Read more
- 4673 reads
Miryang: Ketika Iman Bertemu Realita
Namun, kita agak sulit menyebutkan film-film itu sebagai film yang bertema religius Kristen. Sebab daripada mengisahkan perihal kekristenan, film-film tersebut lebih banyak berbicara soal kondisi psikologis (”Beautiful Sunday”) dan upaya mendapatkan kebebasan (”Jail Breakers”). Tentu terlepas dari simbol-simbol yang digunakan dalam film-film tersebut.
- 4 comments
- Read more
- 6684 reads
Balada Sang Bundar Besar
Tidak biasanya bis hijau itu disesaki penumpang sedini ini. Belum sampai Pasar Baru, sudah berjubel penumpang yang berdiri. Nona-nona yang biasanya mendapat tempat duduk, kini memutuskan turun dan menanti bis berikutnya sambil berharap tidak seramai bis yang satu ini. Ibu-ibu yang biasanya duduk di bangku depan samping kiri supir itu pun kini harus berdiri pula. Tak lagi ia mendapatkan duduk di tempat favoritnya itu.
Aku sendiri tidak terpengaruh oleh itu semua. Aku sudah duduk dari Senen. Berbincang-bincang ngalor-ngidul dengan temanku. Mulai dari masalah perbukuan, penerbitan, kebijakan ini-itu, sampai urusan pelayanan, aktivitas gereja, masa-masa SMP, masa-masa SMA(U). Tidak ada pembicaraan yang terlalu rumit. Karena kami sama-sama tahu, hari ini cukup melelahkan.
- 3 comments
- Read more
- 4991 reads
Mengidentifikasikan Penulis Blog Kristen
Sering kali kita bisa melihat masalah pengidentifikasian dari berbagai sudut pandang. Artinya, hampir sulit untuk mengidentifikasi sesuatu berdasarkan satu sudut pandang baku. Ini mungkin menunjukkan betapa relevansi sepertinya merupakan hal yang wajar terjadi.
Kita bisa ambil contohnya dari dunia sastra. Sastra feminis bisa diidentifikasikan dalam sebagai (karya) sastra yang mengungkapkan hal-hal yang bertemakan perempuan. Atau (karya) sastra yang pemeran utamanya adalah perempuan. Novel-novel karya N.H. Dini bisa mewakili kelompok ini. Hanya saja, hal ini berarti bahwa siapa pun pengarangnya, selama mengangkat hal-hal seputar perempuan, ia bisa digolongkan sebagai karya sastra feminis. Namun, sastra feminis bisa juga dipandang sebagai sastra yang dihasilkan oleh para pengarang perempuan. Selain N.H. Dini, Ayu Utami bisa mewakili kelompok ini.
- 9 comments
- Read more
- 8209 reads
Suatu Malam (Hampir) Seperti Malam Biasanya
Rasanya baru saja langit tampak cerah. Tiada tampak awan berarak. Bahkan sinar rembulan terasa menyeruak. Menembus kelam yang merambah.
Suasana yang wajar. Bukankah hujan baru saja turun? Katanya, sebelum pukul empat sore ia turun. Kalau berharap malam ini cerah, rasanya wajar bukan?
Hujan Kesiangan
Pagi ini, aku terbangun tiga kali. Dua kali untuk membunuh alarm. Yang ketiga terbangun oleh deru hujan deras dan tersadar, ini telah pukul lima pagi. Kupaksakan untuk berdoa sejenak, doa yang umum, tidak ada yang spesifik, kecuali untuk mereka yang kutahu sakit dan sakit-sakitan.
Buru-buru aku turun dari tempat tidur yang sering berderit-derit menahan beban tubuhku yang tidak seberapa. Menyambar handuk, mengoles odol pada sikat gigi, lalu mandi. Hujan masih menderu.
- 2 comments
- Read more
- 5761 reads
Maukah Dirimu
Maukah dirimu
menemani diriku
memetikkan senar demi senar
dalam lantunan irama lagu?
- 3 comments
- Read more
- 4600 reads
Seberapa Baik Kemampuan Berbahasa Indonesia Anda?
Sayangnya, apabila kita hanya sampai pada "yang penting pesan tersampaikan" dan mengabaikan struktur dan susunan penyampaian, kita hanya ada pada taraf yang primitif dalam berbahasa. Artinya, tidak ada bedanya dengan manusia zaman purba yang mengomunikasikan sejarah dengan corat-coret di dinding.
- 2 comments
- Read more
- 8089 reads
Dari Seni Rupa sampai Linguistik: Membuat Prakarya
Waktu SD, ada mata pelajaran Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Yang dipelajari macam-macam. Mulai dari urusan menghormati orang tua, sampai urusan dapur. Namun, sering kali pelajaran ini mengajak siswa untuk membuat kerajinan tangan.
Saya ingat dulu pernah membuat kotak pensil dari tripleks. Tripleks waktu itu masih seharga sekitar dua ribuan. Kalau dapat yang bagus, kerja pun lebih menyenangkan.
- Read more
- 9343 reads
Dari Seni Rupa sampai Linguistik: Menjual Komik
Sewaktu SD, film kartun yang populer adalah Teenage Mutant Ninja Turtles. Ada juga Saint Seiya. Dua-duanya favorit saya. Saat duduk di kelas 4 SD, saya suka menggambar tokoh-tokoh Kura-Kura Ninja itu. Ada beberapa tokoh yang mampu saya gambar, tapi saya tidak bisa menggambar Splinter, April, Krang, dan dua tokoh jahat lainnya. Saya cuma suka menggambar keempat kura-kura ninja itu dan Shredder.
Teman-teman saya yang memang doyan Kura-Kura Ninja pun mengantri. Mereka meminta saya untuk menggambarkan tokoh-tokoh Kura-Kura Ninja itu di buku gambar mereka. Ada beberapa yang saya gambar di sekolah, ada juga yang saya gambar di rumah. Yang jelas, akan ada yang cemburu kalau porsi gambar yang saya berikan ternyata tidak seimbang. Kalau sekarang, saya mungkin akan memandang hal ini sebagai merepotkan. Tapi waktu itu saya memang sangat suka menggambar sehingga tidak keberatan melakukannya.
- 4 comments
- Read more
- 6569 reads
Dari Seni Rupa sampai Linguistik: Periode Awal
Beberapa orang yang pernah mengenal saya pernah menanyakan alasan mengapa saya memilih Sastra Indonesia daripada bidang lainnya. Tapi terus terang, itu juga bukan bidang yang saya pilih sejak awal. Memang pilihan tersebut merupakan pilihan utama ketika mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Tapi sekali lagi, saya sendiri tidak pernah berpikir hendak mengambil jalur ini. Tulisan saya kali ini memang cerita masa lalu, sekaligus lebih menjawab keingintahuan teman-teman blogger lain.
Sejak kecil, saya gemar mencorat-coret. Sebelum mengenal yang namanya sekolah, saya belajar menggunakan pensil dan pena sendiri. Saya meniru papa dan abang saya yang menulis. Saya ingat sekali ketika minta dibelikan buku tulis dan pena. Saya hanya ingin menulis seperti yang dilakukan oleh papa dan abang saya. Tentu saja saat itu saya belum mengenal alfabet. Jadi, tulisan saya hanya menyerupai gerakan naik turun seperti yang terlihat pada layar alat pendeteksi denyut jantung. Karena di mata saya yang masih kecil, rangkaian kalimat terlihat seperti itu. Sehingga "detak jantung" yang saya tuliskan pun saya putus-putus setelah merasa panjangnya sudah cukup.
- 4 comments
- Read more
- 6017 reads