Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

BAGIAN I. Bab 1: Pendahuluan dan Latar Belakang

Denny Teguh S-GRII Andhika's picture

Bab 1

Pendahuluan dan Latar Belakang

 

 

Kita hidup di suatu dunia yang penuh perubahan. Jika di abad Pertengahan (menurut Colin Brown: abad 5 s/d 151), manusia masih menghargai Tuhan dan meletakkan theologi sebagai ratu ilmu pengetahuan, maka zaman bergeser ke arah rasionalisme, empirisme, deisme, yang akhirnya berpuncak pada Pencerahan (Enlightenment) di mana manusia menganggap rasio dan diri merekalah (rasionalisme dan humanisme atheis) menjadi standar penentu kebenaran. Tidak heran, jika “theologi” liberal yang muncul di zaman postmodern ini sebenarnya merupakan pengulangan sejarah di era modernisme. Ironisnya, zaman di mana manusia mengagungkan diri ini diakhiri bukan dengan perdamaian, tetapi dengan peperangan dunia, yaitu Perang Dunia 1 (1914-1918) dan Perang Dunia 2 (akhir 1930-1945) yang memakan banyak korban jiwa. Oleh karena kegagalan pengilahan rasio ini, maka banyak manusia mulai sadar, tetapi herannya bukan kembali kepada Tuhan, melainkan kepada sesuatu yang bukan Tuhan. Zaman modern yang menekankan rasio digeser oleh zaman postmodern yang me“mutlak”kan kerelatifan. Kalau di zaman modern, rasio ditekankan, maka di zaman postmodern, perasaanlah yang ditekankan. Hal ini dimulai pada abad 19 melalui seorang tokoh, Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834) yang mengajarkan, “Esensi agama terletak di dalam perasaan bergantung mutlak (“sense of absolute dependence”) di dalam diri kita.” (Schleiermacher, The Christian Faith, hlm. 12)2 Lalu, filsafat ini menuju kepada pengajaran Marx Ludwig Feuerbach (1804-1872) di dalam bukunya The Essence of Christianity yang berani mengajarkan, “...teologi tidak lain dari antropologi – pengetahuan tentang Allah tidak lain dari pengetahuan tentang manusia!” (hlm. 207)3 Kemudian, zaman postmodern mulai ditunggangi oleh spiritualitas Gerakan Zaman Baru (New Age Movement) yang dimulai di Amerika sejak tahun 1980-an (http://en.wikipedia.org/wiki/New_Age). Gerakan ini tidak lagi mengakui adanya penggunaan rasio, tetapi lebih menekankan hal-hal “spiritual” misalnya meditasi, bersatu dengan alam/makrokosmos (monisme), kesembuhan batin, dll. Gerakan ini diadopsi oleh semua agama, tidak terkecuali Kekristenan. Mungkin gejala ini disamarkan di dalam gereja dengan berbagai pengajaran, misalnya: kesembuhan batin (inner healing) “rohani” (dalam nama “Yesus”), dll, sehingga secara tidak sadar, banyak orang Kristen mudah ditipu oleh ajaran-ajaran yang seolah-olah “rohani”, tetapi esensinya justru melawan Alkitab. Dari fenomena di atas, kita dapat menangkap semangat (Jerman: zeitgeist) dari suatu zaman. Jika di zaman modern, rasiolah yang diilahkan, maka ketika zaman modern diganti dengan zaman postmodern, maka rasio digeser dan spiritualitas ditekankan. Seperti yang dituturkan oleh Pdt. Sutjipto Subeno, spirit zaman kita seperti sebuah pendulum yang bergerak dari satu ekstrim ke ekstrim lain. Bagaimana dengan Kekristenan sendiri? Kita akan membahasnya pada Bab 2.

 

1. Colin Brown, Filsafat dan Iman Kristen-1, terj. Lena Suryana dan Sutjipto Subeno (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1994), hlm. 10.

2. Ibid., hlm. 153.

3. Ibid., hlm. 186.

__________________

“Without knowledge of self there is no knowledge of God”

(Dr. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, Book I, Chapter I, Part 1, p. 35)