Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Bab 1: Mengapa Alkitab Perlu Ditafsirkan?
BAB 1
MENGAPA ALKITAB PERLU DITAFSIRKAN?
Pertanyaan paling utama, di dalam bagian ini adalah mengapa Alkitab perlu ditafsirkan? Kalau kita mau bersikap jujur terhadap diri sendiri, maka setiap hari kita mau tidak mau menafsirkan sesuatu, baik itu buku, perkataan seseorang, dll. Di dalam jurusan Sastra Inggris, saya mempelajari pelajaran Discourse Analysis, sebuah analisa wacana, baik dalam bentuk perkataan, bacaan, dll. Di dalam percakapan sekalipun, kita sering mengalami miscommunication, diakibatkan kekurangmengertian kita di dalam menanggapi perkataan orang lain. Kekurangmengertian kita itu pasti akibat dari tafsiran kita akan perkataan orang lain. Di dalam pelajaran tersebut, saya belajar tentang Speech Act yang dibagi menjadi tiga hal, pertama, Locutionary Act, kedua, Illocutionary Act dan ketiga Perlocutionary Act. Lalu, juga ada istilah Illocutionary Force yang berarti maksud orang yang berbicara agar orang lain dapat mengerti dan meresponi apa yang dikatakan oleh si pembicara dengan tepat. Misalnya, Ani berkata kepada Budi, “Saya lapar.” Ini dikategorikan sebagai Illocutionary Act yang berarti bahwa perkataan Ani tidak sedang memberikan informasi kepada Budi bahwa Ani lapar, tetapi ada maksud Ani dalam mengatakan hal tersebut, yaitu supaya Budi membelikan dia makanan atau menyiapkan makanan bagi Ani. Maksud Ani inilah yang disebut Illocutionary Force. Kalau di dalam kehidupan sehari-hari, kita menafsirkan sesuatu dan bisa terjadi miscommunication, maka Alkitab pun mau tidak mau tidak lepas dari penafsiran ketika kita membacanya. Lalu, apakah tafsiran kita terhadap Alkitab itu bisa salah ? Tentu bisa, seperti yang saya kemukakan di dalam pelajaran Discourse Analysis tadi khususnya contoh Ani dan Budi di atas, di mana Budi bisa saja salah menafsirkan perkataan Ani lalu hanya mengangguk-angguk saja tanpa meresponi perkataan Ani dengan tepat. Kemudian, bagaimana supaya tidak terjadi miscommunication ? Hanya satu, yaitu bertanya langsung kepada yang berbicara (dalam hal ini, Ani) agar pendengar (dalam hal ini, Budi) dapat mengerti yang diucapkan oleh yang berbicara. Demikian pula, supaya tidak terjadi misinterpretation terhadap Alkitab, kita perlu memahami kaidah-kaidah tafsiran Alkitab.
Alkitab adalah Firman Allah yang diwahyukan langsung dari Allah melalui sarana para nabi dan rasul-Nya. KeKristenan khususnya theologia Reformed mempercayai ketidakbersalahan Alkitab baik dari segi sejarah maupun pesan (inerrancy and infallibility of the Bible) di dalam naskah asli/autographanya. Mengapa harus naskah aslinya tidak bersalah ? Karena naskah asli itu yang asli langsung diwahyukan Allah melalui para nabi dan rasul-Nya. Lalu, apakah berarti terjemahan-terjemahan yang kita pakai sekarang mengandung kesalahan dan tidak dapat dipercaya seperti naskah aslinya ? Kita percaya bahwa naskah asli Alkitab sudah tidak ada, mengapa ? Itu adalah kedaulatan Allah yang mengizinkan segala sesuatu terjadi. Tetapi kalau mau ditafsirkan, naskah asli Alkitab sudah tidak ada, mungkin ada kedaulatan Allah sengaja membiarkannya dengan maksud agar orang Kristen tidak memberhalakan naskah asli tersebut, karena manusia cenderung mengeramatkan hal-hal yang dianggap “suci” (misalnya, kain kafan Tuhan Yesus dikeramatkan, lalu tempat Tuhan Yesus dilahirkan di Betleham dikeramatkan dan dibangun gereja, dll), padahal itu tidak sesuai dengan Alkitab. Memberhalakan sesuatu atau menganggap sesuatu yang “suci” sekalipun sebagai “ilah” itu melanggar Titah Pertama di dalam Dasa Titah (10 Perintah Allah) yang mengatakan, “Jangan menyembah ilah-ilah lain. Sembahlah Aku saja.” (Keluaran 20:3 ; Bahasa Indonesia Sehari-hari) Kembali, karena naskah asli kita sudah tidak ada dan yang ada pada kita sekarang hanyalah naskah-naskah terjemahan Alkitab, maka kita perlu mengerti satu prinsip yaitu ketika Alkitab diterjemahkan dari bahasa Ibrani (PL) dan Yunani (PB) ke dalam bahasa-bahasa lokal, maka pasti ada suatu gap bahasa, kebudayaan, dll.
Pertama, adanya gap bahasa. Misalnya, di dalam bahasa Yunani, kata “kebenaran” diartikan aletheia (=Truth) dan dikaiosune? (=Righteousness), sedangkan di dalam bahasa Indonesia, kata dikaiosune? (dalam Perjanjian Baru) mayoritas diterjemahan kebenaran, 9 ayat diterjemahkan sebagai keadilan (Kisah Para Rasul 17:31; Roma 3:25, 26; Efesus 5:9; 1 Timotius 6:11 ; 2 Timotius 2:22; Ibrani 1:9; 2 Petrus 1:1; dan Wahyu 19:11) dan 1 ayat diterjemahkan sebagai kebaikan/yang baik (Titus 3:5). Sedangkan kata aletheia terdapat di dalam 97 ayat Alkitab Perjanjian Baru, hanya 8 ayat Alkitab di dalam PB yang tidak diterjemahkan sebagai kebenaran, di antaranya : 4 ayat di dalam PB diterjemahkan sebagai jujur (Matius 22:16; Markus 12:14; Roma 2:2; Filipi 1:18), 3 ayat di dalam PB diterjemahkan sebagai sungguh/sesungguhnya (Lukas 22:59; Kisah 4:27; 10:34) dan 1 ayat di dalam PB diterjemahkan sebagai tulus (Markus 5:33). Kata “kebenaran” di dalam bahasa Indonesia bisa memiliki begitu banyak arti di dalam bahasa Yunani, demikian pula kata “kasih” yang dalam bahasa Yunani memiliki 4 kata yang berbeda, yaitu Agape, Philia, Storge dan Eros. Kalau kita tidak menyelidiki Alkitab sampai ke bahasa aslinya, kita akan kehilangan begitu banyak berkat Firman Tuhan yang dilimpahkan-Nya kepada kita. Banyak orang Kristen mengira bahwa studi Alkitab sampai ke bahasa asli atau menggunakan terjemahan bahasa lain (misalnya, Inggris, Mandarin, dll) adalah terlalu akademis. Anggapan ini adalah anggapan yang sama sekali tidak bertanggungjawab.
Kedua, adanya gap budaya. Ketika di dalam Roma 16:16, Paulus berkata, “Bersalam-salamlah kamu dengan cium kudus. Salam kepada kamu dari semua jemaat Kristus.”, maka beberapa kelompok sekte sesat di dalam “keKristenan”, yaitu children of “God” menafsirkan ayat ini lalu diterapkan ke dalam anggota jemaat gereja. Mengapa Paulus memerintahkan jemaat Roma untuk saling berciuman kudus ? Apakah ini budaya free-sex ala Alkitab ? TIDAK ! Kata holy kiss diterjemahkan secara harafiah sebagai cium kudus, tetapi kata kiss di sini dari bahasa Yunani phile?ma yang akar katanya dari phileo? yang merupakan kasih persaudaraan. Jadi, cium kudus ini berarti cium sebagai tanda persaudaraan, bukan berdasarkan kasih birahi atau eros. Lalu, ketika Paulus berkata kepada Timotius di dalam 1 Timotius 5:23, “Janganlah lagi minum air saja, melainkan tambahkanlah anggur sedikit, berhubung pencernaanmu terganggu dan tubuhmu sering lemah.”, apakah itu berarti bahwa anggur diperintahkan Paulus untuk diminum terus-menerus oleh Timotius dan kita juga? TIDAK ! Pada waktu itu, anggur dianggap sebagai obat. Begitu pula halnya dengan kata “minyak” di dalam Yakobus 5:14, “Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan.” yang jangan sembarangan ditafsirkan bahwa itu adalah minyak urapan seperti yang digembar-gemborkan oleh Pariadji/Tiberias. Kata “minyak” di sini dalam bahasa Yunaninya elaion berarti olive oil atau minyak zaitun dan minyak ini adalah sebagai obat. Itu adalah budaya setempat, jangan dipaksakan ke dalam budaya lain, termasuk Indonesia, lalu mengoleskan sembarangan minyak, yang penting minyak menurut Alkitab, itu salah. Kemudian, kata “Kerajaan Allah” di dalam Injil Matius hanya digunakan sebanyak 6x, sedangkan kata “Kerajaan Surga” dipakai sebanyak 34x di dalam Injil Matius (menurut Alkitab terjemahan baru Lembaga Alkitab Indonesia/LAI), mengapa ? Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. di dalam bukunya Alkitab dan Akhir Zaman mengungkapkan, “Alasannya, orang-orang Yahudi yang berusaha untuk menghindari nama Allah, telah memakai kata sorga sebagai ganti nama Allah ; ...” (Hoekema, 2004, p 57). Kalau kita tidak mengerti perbedaan kedua kata ini, kita tidak akan mengerti keseluruhan berita utama di dalam Injil Matius yang menekankan Kristus adalah Raja dan IA merekrut kita sebagai umat pilihan-Nya untuk menjadi anggota warga Kerajaan Surga yang melayani-Nya. Contoh lain, di dalam 1 Korintus 14:34, “Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat.” Seorang teman “Kristen” saya menafsirkan ayat ini dan tanpa pikir panjang langsung berkomentar bahwa Paulus itu melakukan diskriminasi. Inilah akibat tidak mempelajari gap budaya di dalam Alkitab. Perempuan tidak boleh berbicara di dalam surat Korintus ini dikarenakan di dalam kota Korintus, perempuan diidentikkan dengan pelacur (sebagian besar orang yang bertobat itu berasal dari latar belakang kafir/penyembah berhala—Handbook to the Bible,” 2002), karena banyak perempuan bekerja sebagai pelacur. Oleh karena itu, Paulus melarang perempuan berbicara.
Ketiga, adanya gap latar belakang. Semua kitab di dalam Alkitab ketika ditulis pasti memiliki latar belakang tertentu. Kalau kita tidak memahami dengan jelas, latar belakang setiap kitab, maka kita akan kehilangan makna aslinya yang akhirnya itu juga tidak membawa berkat bagi kita sebagai pembaca di masa sekarang. Seringkali banyak orang Kristen menganggap kitab-kitab di dalam Alkitab ditulis untuk kita di masa sekarang, lalu mereka mengabaikan konteks dan latar belakang yang ada. Oleh karena itu, Alkitab perlu ditafsirkan karena adanya gap latar belakang antara penulis kitab di dalam Alkitab dengan kita sebagai pembaca di masa sekarang. Misalnya, ketika Paulus di dalam Roma 10:13, “Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan.” Banyak hamba Tuhan Injili memakai ayat ini ketika memberitakan Injil dan menyuruh orang yang diinjili untuk berseru kepada nama Tuhan saja, nanti orang tersebut akan diselamatkan. Ini akibat dari mengabaikan latar belakang di dalam kitab Roma. Kecenderungan banyak hamba Tuhan yang dipengaruhi oleh Arminianisme/mayoritas theologia Injili adalah mengabaikan latar belakang yang ada dan langsung menyampaikan relevansi Alkitab terhadap kehidupan masa sekarang. Ini kesalahan di dalam penafsiran Alkitab. Kembali, Kitab Roma ditulis oleh Rasul Paulus kepada jemaat di Roma yang sedang mengalami penganiayaan oleh Romawi yang pada waktu itu melarang orang Kristen menyembah Allah selain Kaisar Romawi, jika melanggar, akan dihukum mati. Oleh karena itu, Paulus menyerukan kepada jemaat di Roma bahwa barangsiapa yang berseru kepada Tuhan, tentu dengan resiko mati, akan diselamatkan. Nah, kalau ayat ini dilepaskan dari konteksnya, akan berakibat fatal, lalu Injil yang diberitakan adalah “injil” murahan, seperti yang banyak diberitakan di dalam banyak gereja kontemporer yang pop di mana banyak “injil” palsu yang diberitakan, misalnya, yang miskin setelah percaya kepada “Kristus” pasti kaya, dll.
“Without knowledge of self there is no knowledge of God”
(Dr. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, Book I, Chapter I, Part 1, p. 35)
- Denny Teguh S-GRII Andhika's blog
- 11180 reads
SETUJU : KITAB SUCI PERLU DITAFSIRKAN
Jesus Freaks,
"Live X4J, die as a martyr"
Jesus Freaks,
"Live X4J, Die As A Martyr"
-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-
Tafsiran siapa yang paling benar?
SETUJU AL KITAB DITABSIRKAN