Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Apa konsep Anda Tentang Bekerja?
Beberapa hari yang lalu ketika saya dan seorang teman boncengan berhenti di sebuah perempatan yang ada lampu "bangjo" nya, tiba-tiba seorang pemuda yang menggendong anak mendekati kami. Dengan wajah sedikit muram dan kecut, pemuda itu mengacungkan tangan untuk meminta uang. Sebenarnya pemandangan seperti ini sudah biasa saya temui di beberapa perempatan atau perlimaan di kota Solo. Entah itu pemuda yang "malas" bekerja, ataupun anak remaja dengan "akting" wajah memelasnya, mengharapkan belas kasihan dari pengendara motor atau mobil yang sedang menunggui lampu hijau menyala.
Namun kali ini saya sedikit merenungkan apa yang terjadi di perempatan tersebut, teman yang saya bonceng pun seakan mengiyakan apa yang menjadi perenungan saya, "Eh, sudah baca artikel yang di majalah komputer itu gak?" tanyanya dengan penuh semangat. "Hehe, tentu saja sudah, saya jadi inget artikel itu pas di perempatan tadi."
Mmm .. ya, artikel singkat yang ditulis Zatni Arbi (Pengamat Teknologi Informasi) tersebut memang cukup menggugah saya untuk berpikir tentang pemuda di perempatan tadi. Artikel ini juga menggugah saya untuk lebih intropeksi diri, apakah saya juga layak mendapatkan gaji / upah di tempat saya bekerja sekarang ini? Sudahlah klien ataupun bos "puas" dengan apa yang saya kerjakan? Berikut artikel lengkapnya.
Suatu malam, saya diantar seorang teman dengan sepeda motor ke sebuah ATM. ATM ini berada di sebuah
kompleks pertokoan yang tidak jauh dari rumah saya. Karena sudah larut malam, lapangan parkir perkantoran itu kosong. Saya masuk ke ATM sementara teman saya menunggu di atas sepeda motor.
Setelah saya mengambil uang tunai dan bersiap-siap untuk meninggalkan kompleks itu, seorang anak muda menghampiri kami. Dia minta uang parkir. Saya agak kesal. Untuk apa dia minta uang parkir? Lapangan parkir kosong sementara sepeda motor ditunggui teman saya. Sama sekali tidak ada jasa yang diberikan si anak muda ini.
Tapi, tentu saja saya tidak berani bikin gara-gara hanya karena uang Rp.1000,00. Meski begitu, saya tetap penasaran. Apa yang membuat dia merasa berhak untuk memungut uang? Sambil tersenyum dan menyerahkan uang ke tangannya, saya bertanya, "Sudah malam dan sepi begini, mengapa kami masih ditagih uang parkir?" Dia menjawab, "Kalau tidak dapat uang parkir, saya tidak makan ..."
Di rumah, saya termenung. Memang benar, saat ini ada banyak sekali orang yang menganggur. Apakah benar pengangguran sepenuhnya disebabkan kesempatan kerja yang makin sempit?
Kalau ingin mendapatkan uang untuk makan, bukankah orang harus berusaha. Bukankah Tuhan sudah menjanjikan, rezeki akan datang kalau manusia mau berusaha?
Konsep Bekerja
Belakangan ini saya memang sering berpikir untuk melakukan penelitian mengenai konsep "bekerja" dan "berusaha" di kalangan masyarakat. Apakah mengamen di warung-warung di sepanjang Jalan Sabang, misalnya, bisa dianggap bekerja?
Herbert Applebaum, seorang antropolog, menawarkan definisi bekerja: "Bekerja adalah suatu aktivitas produktif yang mengakibatkan perubahan fisik dan sosial pada lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia."
"Kalau tidak ada uang parkir, saya tidak makan," kata anak muda di ATM tadi. Lalu, apakah dengan demikian dia berhak memungut uang parkir meski tidak ada kebutuhan kami yang dipenuhinya?
Orang bisa berkilah, setidak-tidaknya dia telah memberikan rasa aman kepada kami. Tapi, bukankah ancaman terhadap rasa aman kami justru berasal dari kehadirannya di tempat yang sepi dan gelap itu?
Ada satu hal yang tampaknya perlu diajarkan pada masyarakat, terlepas dari agama yang dianut, yaitu konsep "bekerja" dan "berusaha" yang benar. Rasanya, konsep yang benar adalah bahwa kita hanya berhak mengharapkan imbalan bila kita telah memberikan nilai tambah pada mereka yang telah menikmati hasil jerih payah kita.
Dulu, ketika Pasar Melawai di Blok M, Jakarta, belum terbakar, ada seorang pengamen yang menjadi favorit saya setiap kali saya makan siang di salah satu restoran Padang di sana. Dia pandai bermain gitar dengan irama keroncong yang manis, suaranya lumayan dan lagu-lagu yang dibawakannya sungguh mengasyikkan. saya selalu memberinya uang, karena ada sesuatu yang bernilai yang dilakukannya buat saya.
Tapi anak muda di tempat parkir tadi atau pengamen yang hanya bermodal rebana tetapi tidak akan berhenti merecoki kita sampai kita memberinya uang, atau Pak Ogah yang justru menghambat mobil kita ketika hendak berbelok sewaktu lalu lintas pas sedang sepi, atau siapapun yang melakukan hal semacam itu, tidak akan pernah menikmati uang yang saya berikan dengan penuh keikhlasan.
Prinsip "bekerja" seperti di atas seharusnya juga berlaku bagi setiap profesional, termasuk profesional di bidang teknologi informasi. Sama seperti pengamen favorit saya di pasar Blok M itu, seorang profesional sejati barulah berhak mendapat imbalan bila dia telah memberikan nilai tambah bagi kliennya.
Sebaliknya seorang profesional juga harus memiliki integritas yang tinggi. Dia tidak boleh ragu-ragu menolak proyek yang berada di luar lingkup keahliannya. Soalnya, bila dia gagal memenuhi kebutuhan klien, sesungguhnya dia tidak berhak mengajukan invoice-nya. (zatni(at)cbn.net.id)
Sumber | : | PC Media |
Edisi | : | 01/2008 |
Hal | : | 22 |
Penulis | : | Zatni Arbi |
- Ari_Thok's blog
- 7010 reads
Wah, tulisan Ari Thok ini
Wah, tulisan Ari Thok ini bisa-bisa membuat para pembacanya menjadi malas beramal kepada orang lain.
Kalau menurut pandangan saya, rasanya Ari Thok tidak ikhlas dalam bersedekah. Anda menceritakan bahwa anak muda di tempat parkir, pengamen yang merecoki, pak ogah yang justru menghambat, atau siapapun juga yang melakukan hal semacam itu, tidak akan pernah menikmati uang yang Ari Thok berikan dengan penuh keikhlasan.
Berarti Ari Thok mengharapkan agar mereka tidak bisa menikmati uang yang telah anda berikan. Jika Ari Thok memberikannya dengan ikhlas, maka mereka akan bisa menikmati uang yang anda berikan.
Lalu Ari Thok juga selalu memberi imbalan kepada pengamen favoritnya di Blok M, karena menurut anda seorang profesional sejati barulah berhak mendapat imbalan bila dia telah memberikan nilai tambah bagi kliennya. Menurut saya, itu bukanlah bersedekah, melainkan membeli jasa dari pengamen itu karena telah menghibur anda. Sama halnya seperti anda membeli kaset dari musisi papan atas, atau membeli rokok di pedagang kaki lima. Jadi Ari Thok memberikan imbalan kepada pengamen favoritnya karena ada hubungan timbal balik.
Yesus pernah memberikan cerita mengenai Lazarus dan orang kaya (Lukas 16:19-31). Lazarus tidak memberikan apapun kepada orang kaya itu, melainkan hanya bisa meminta saja dan orang kaya itu tidak memberikan apa-apa kepada Lazarus, sehingga orang kaya itu masuk neraka.
Jadi menurut saya, walaupun orang-orang yang seperti Ari Thok sebutkan diatas yang tidak memberikan keuntungan apapun terhadap kita, tetap saja kita harus beramal kepada mereka.
Saya pernah mendengar ucapan mantan gubernur DKI Sutiyoso, sebenarnya banyak pengemis dan pengamen jalanan yang sebenarnya ada sindikatnya. Jadi mereka dikumpulkan dari daerah-daerah, lalu dibawa ke Jakarta dan di drop diberbagai tempat di Jakarta untuk mengemis dan mengamen. Mungkin karena pernyataan itu, banyak orang yang tidak mau memberikan sedekah kepada mereka, karena berpikir bahwa mereka sebenarnya adalah penipu.
Pandangan saya mengenai hal itu, walaupun mereka ada sindikatnya, tetap saja mereka membutuhkan makan. Tidak mungkin sebenarnya mereka adalah orang kaya yang hidupnya berfoya-foya, lalu berpura-pura untuk menjadi pengemis. Jadi, walaupun berpura-pura atau tidak, mereka tetap saja membutuhkan makan dari sebagian yang disisihkan dari saku kita.
Saya hanya bisa mengutarakan pendapat saya mengenai hal ini (walaupun sebenarnya saya sendiri jarang memberi kepada mereka, soalnya saya sendiri uangnya pas-pasan).
Dalam perjalanan saya menuju kampus, saya juga sering menjumpai di dalam bis orang-orang yang mengamen dengan suara yang tidak jelas, dan juga anak-anak kecil yang bernyanyi teriak-teriak, para pengemis, dan musisi jalanan. Kira-kira dalam sehari perjalan pulang pergi, saya menemui 10 orang. Bayangkan saja, jika semuanya saya kasih uang satu orang Rp. 500, bisa-bisa saya sendiri harus mengemis untuk mencari ongkos pulang.
Tetapi kalau sedang dapat rejeki, maka saya pasti memberikannya. Bukannya saya sombong, tapi memang sombong (tangan kanan memberi, semua tangan kiri melihatnya). Tapi maksud dari kesombongan ini hanyalah agar orang-orang yang membaca tulisan saya ini agar mau berpikir untuk lebih banyak beramal kepada siapapun juga.
Matius 25:37-40
25:37 Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum?
25:38 Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian?
25:39 Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau?
25:40 Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.
Waduh Mod, Anda Salah Tangkap
Aduh Mod, Anda salah tangkap dalam membaca dan memahami blog saya. Yang pertama, tulisan dibawah Berikut artikel lengkapnya. Adalah copy paste dari tulisan Zatni Arbi. Ya maaf, kurang keliatan bedanya hehe.
Yang kedua, tujuan dan maksud tulisan diatas adalah bukan untuk mengajari pembaca jadi orang yang "itung-itungan" saat memberikan bantuan atau pertolongan.. Yang ditekankan dalam artikel Zatni Arbi diatas adalah mengajar manusia terutama yang muda-muda untuk lebih punya "harga diri", mau bekerja keras, tidak hanya cari jalan mudah. Secara pribadi kalau aku memberi ya beri saja dengan prinsip "buang hajat". Gimana gak sebel Mod, ketemu pemuda yang gagah, masih bisa jalan, tapi bertapa di pinggir jalan dengan pasang wajah memelas sambil mengacungkan tangan meminta sedekah. Duh .. bukannya kasihan sih aku, tapi malah bikin gregetan ...
*yuk comment jangan hanya ngeblog*
*yuk ngeblog jangan hanya comment*
*yuk komen jangan cuma ngeblog*
*yuk ngeblog jangan cuma komen*
Bingung mana yang kutipan