Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
AND THEY DIE...
Satu jam menuju bencana… Entah mengapa akhir-akhir ini aku menyukai acara yang ditayangkan menjelang malam di suatu TV swasta itu. Padahal acaranya berkutat pada rekaman-rekaman bencana yang terjadi pada pesawat terbang, kapal laut, tornado, bahkan semalam tentang tsunami Asia.
Bencana dan kematian.Dua kata, yang mungkin paling tidak ingin didengar oleh banyak orang, bahkan tidak untuk dipikirkan. Dua kata ini erat kaitannya dengan duka, sedih, kehilangan, air mata dan juga akhir dari sesuatu.
Tetapi begitulah kehidupan. Disadari atau tidak, ditunggu atau tidak, dihindari atau tidak, dua kata ini suatu saat pasti akan muncul bahkan dalam diri setiap manusia. Jadi, jika itu pasti akan datang, mengapa harus dihindari.
Seorang sahabat, 3 hari yang lalu menelponku. Dia dalam kondisi kritis, kalau tidak mau dibilang sekarat atau diujung maut. Aku belum begitu mengenalnya. Bahkan aku hanya punya gambaran yang samar-samar tentang dirinya.
Seorang pria, yang entah karena apa menjadi menyimpang dari ke-pria-annya. Seorang pria, yang seharusnya menjadi sosok yang gagah, perkasa dan macho, tetapi
telah kehilangan sense of man-nya.
Aku masih mengingat waktu pertama berkenalan dengannya. Ketika mengetahui semua penyimpangannya itu, tidak ada yang bisa kulakukan dan tidak ada yang bisa kukatakan kepadanya jalan keluar yang lain, selain pertobatan dan penebusan sang Juru Selamat. Aku hanya bisa memberikan satu kepastian kepadanya, yaitu dia pasti akan masuk neraka, jika tetap berada di jalannya dan kehidupannya yang sekarang.
Namun sayang, dia berpendapat bahwa masih ada waktu untuknya. Hampir 1 tahun berlalu, dan persahabatan kami berlangsung aneh, karena aku tak boleh mengenalnya lebih dekat. Tiba-tiba 3 bulan yang lalu, dia datang kembali setelah beberapa bulan menghilang dengan kabar mengejutkan, hidupnya telah diujung maut. Ah….
Sejak itu, hatiku selalu berdebar jika mengingatnya. Jangan salah sangka, bukan karena aku jatuh cinta. Tetapi, karena aku tahu, akhir kehidupannya di kekekalan adalah tanpa
kepastian. Aku bisa mengatakan, membagikan Firman yang aku tahu, tetapi siapakah sang penguji hati? Bukan aku, ‘kan?
Aku selalu berharap ada anugerah dan kesempatan baginya… selalu,tetapi Sang Pemilik Waktu bukanlah aku.
Ketika 3 hari yang lalu, ia menelponku dari ruang ICU sebuah rumah sakit. Ia berbicara dengan kalimat yang putus-putus, ia berpamitan padaku…Pernahkah terbayangkan olehmu hal seperti ini terjadi dalam hidupmu juga…?
Aku hanya bisa membayangkan wajahnya penuh ketakutan, kesendirian, dan kecemasan. Ah…seandainya saja aku bisa ada di sampingnya.
Kematian, selalu membawa dampak padaku, entah itu baik atau buruk. Beberapa kejadian lain tentang kematian tak bisa terhapuskan begitu saja dari benakku.
Aku masih ingat perjalanan malam yang kutempuh 7 ½ tahun yang lalu. Aku kira, tak seorangpun inginkan hal itu terjadi pada dirinya.
Hari itu, hari yang sangat aneh bagiku. Semuanya seolah berjalan biasa, hanya siang itu dengan tiba-tiba jantungku berdebar sangat keras. Aku tak pernah tahu sebabnya. Sore berlalu dengan berbagai kesibukan. Namun perjalanku dimulai ketika malam menjelang. Dengan tiba-tiba, telepon di rumah temanku berdering, dan entah mengapa juga aku yang mengangkatnya.
“… apa, jangan becanda kamu…” hanya itu yang kukatakan pada adikku yang berbicara denganku diujung sana.
Aku seolah tak sanggup lagi berkata-kata. Aku masih bertemu dengannya satu minggu yang lalu, bahkan aku masih bisa mengingat ucapannya waktu itu, “Aku ke sini hanya ingin
bertemu denganmu, tak ada yang lain”
Aku juga masih mengingat lambaian terakhir tangannya, sebelum akhirnya aku hanya bisa menatap punggungnya yang berjalan menjauh.
Akhirnya malam itu, aku habiskan sendirian di atas ambulance yang mengangkat jenasah keponakanku tersayang yang berantakan. Ya Tuhan, dia masih 20 tahun, masih banyak hal yang bisa terjadi dalam hidupnya. Aku seperti bermimpi, mimpi yang sangat gelap dan pekat. Aku seperti merasa dipaksa menjadi dewasa tiba-tiba. Sampai berbulan-bulan sesudahnya, ingatan tentang malam mencekam itu tak bisa lepas begitu saja.
Itu kisah kematian jasmani, sudah sangat membekas bagiku. Namun bekas luka yang lebih terasa lagi adalah kematian rohani.
Ketika seorang meninggalkan perjanjiannya dengan Tuhan, memilih meninggalkan panggilan Tuhan untuk mengejar impiannya sendiri, bagiku itu adalah suatu kematian rohani.
Meskipun aku tahu, bahkan aku sendiri juga bisa melakukan hal yang sama dengan mereka (aku harap itu tak pernah terjadi). Namun, sampai sekarang, aku masih sulit untuk mengerti alasan orang-orang terdekatku yang berlari meninggalkan Tuhan.
Adakah tempat yang lebih baik, selain di jalanNya? Adakah tempat paling aman, selain dalam rumahNya? Adakah tempat terhangat selain pelukan kasihNya? Namun, ratusan orang memilih untuk meninggalkan tempat ‘luar biasa’ itu untuk meraih impian semu anak manusia.
Jika janji yang diberikan manusia adalah ‘ketidak pastian’, mengapa kita harus memilihnya,bukankah lebih baik memilih Dia yang janjiNya pasti hingga kekekalan??Namun sekali lagi, banyak orang lebih memilih kematian daripada kehidupan!
Adakah aku menjadi salah satu diantaranya? Aku berharap tidak! Meskipun mungkin jalannya gelap dan pekat, penuh air mata dan darah, jika itu menuju kepada kehidupan dan senyuman hangat Yesus Tuhanku… aku berharap akan sampai di sana!! Karena kematian bukanlah akhir, namun awal dari kehidupan di kekekalan….
Bagaimana dengan engkau, teman???
- iik j's blog
- 4002 reads