Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
50 DOLAR
Begitu dia memberitahu lewat SMS bis yang ditumpangi dari Losari ke Semarang telah melewati Gringsing, aku berangkat ke terminal Mangkang untuk menjemputnya beserta 2 puteranya. Perhitunganku tepat, kami tiba di Mangkang bersamaan.
Sudah 4 tahun dia bekerja di Singapore sebagai PRT. Dia mendapat cuti sebulan karena suaminya meninggal. Aku belum sempat bertemu dengannya Losari karena aku sudah kembali ke Semarang sebelum dia tiba di rumah duka.
Aku pangling. Wajahnya yang tanpa rias tampak lebih tua dari usianya. Rambut adik ipar istriku ini dipotong dengan gaya poni seperti perempuan desa Cina Daratan. Pakaiannya sederhana seperti lazimnya perempuan desa pesisir pantura. Tetapi dalam berbahasa Indonesia logat Tegalnya masih kental. Di dalam mobil dia mengangsurkan selembar uang kepada istriku.
"Cici, ini buat Cici. Alin hanya bisa beri ini untuk oleh-oleh."
Aku melirik ke samping dan melihat itu uang 50 SGD. Aku bertanya kepadanya, "Alin, itu uang beneran atau uang monopoli?"
"Itu uang beneran, Ko. Masih laku."
"Gak usahlah," kataku. "Itu 400 ribu rupiah lebih."
"Ndakpapa, tolong simpan saja, buat kenang-kenangan dari Alin."
Aku jadi ingat waktu pertama kali ditugaskan perusahaan ke luar negeri. Aku tanya kepada 2 puteriku mau oleh-oleh apa. Yang bungsu dan masih SMP menyerahkan secarik kertas berisi daftar asesori: kalung, gelang, cincin, bando, topi. "Jangan lupa ya," katanya.
Lalu aku minta catatan dari si sulung yang sudah SMA. "Gak perlu catatan," katanya. "Setiap Papa buka dompet pasti ingat. Aku minta contoh uang, setiap pecahan satu lembar."
Pintarnya anak ini. Ini nilainya lebih dari yang diminta adiknya. Waktu pulang aku memberikan lembaran mata uang itu: 1, 2, 5, 10, 20, 50, 100 dolar. Tetapi sekarang aku melihat nilai 7 lembar pecahan USD itu kalah dengan 50 SGD.
Tahun pertama di Singapore gajinya habis untuk melunasi hutangnya kepada agen. Tiga tahun kemudian untuk melunasi hutang-hutang dagang suaminya di Losari. "Sekarang semua hutangnya sudah lunas," cerita abangnya waktu aku di rumah duka Losari. Gajinya yang 700 SGD dia hemat. Semua dikirim ke desanya, sebagian saja dipakai sendiri untuk mengambil kursus-kursus di sana. Di lembar itu aku melihat keuletannya sekaligus kesetiaannya terhadap suami yang bangkrut dan kasihnya kepada kedua anak-anaknya. Sayang, ketika semua hutangnya lunas dibayar dengan cucuran keringatnya, suaminya mendadak meninggal.
Semua hutangnya? Ternyata tidak. Sesampai di rumah baru dia bercerita bahwa dia mengunjungi aku karena mau melunasi hutang suaminya yang adalah adik istriku. Aku sudah tak ingat lagi kapan dan berapa hutangnya. Tetapi ini tidak kukatakan, hanya -
"Alin, bayarkanlah hutangmu kepada 2 keponakanku ini," kataku sambil menunjuk 2 puteranya.
"Kamsia," katanya dengan suara tersendat.
(08.08.2013)
*catatan: blog ini sudah dipublikasikan di facebook.
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 5365 reads