Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
300 vs Apocalypto
Dua hari berturut-turut saya menonton dua film yang berbeda, tapi ternyata sangat mirip satu sama lain, yaitu 300 dan Apocalypto.
*Perhatian, jangan lanjutkan membaca blog ini jika Anda mudah ngeri atau jijik.*
Dalam banyak hal jelas kedua film ini berbeda jauh. Yang satu berdasar kisah nyata, satunya fiksi dengan setting sejarah. Yang satu terjadi di Yunani, satunya di Amerika. Yang satu terjadi pada tahun 480 SM, satunya di akhir abad 15 atau awal abad 16 menjelang masa kedatangan conquistadores ke Amerika Tengah. Film pertama bercerita tentang perjuangan Leonidas dan 300 prajurit Sparta mempertahankan Thermopylae (Gerbang Panas) dari serbuan sejuta pasukan Persia di bawah pimpinan Xerxes. Sedangkan film kedua tentang perjuangan Jaguar Paw (Cakar Jaguar) menyelamatkan anak, istri dan dirinya sendiri dari kematian mengerikan akibat ulah para pembesar bangsa Maya.
Tapi, seperti sudah saya bilang di atas, ternyata banyak juga kemiripan dari kedua film ini. Yang jelas keduanya film "perang" alias film action. Satu kata yang saya pakai juga di atas untuk mendeskripsikan keduanya adalah "perjuangan", bedanya yang satu perjuangan sebuah bangsa, yang satunya perjuangan pribadi. Keduanya mengandalkan special effect untuk menghasilkan gambar-gambar yang mengundang decak kagum. Usaha (dan budget) yang tidak sedikit dikerahkan untuk menampilkan realisme yang luar biasa. Keduanya bisa dibilang film kolosal, dengan ratusan figuran dan stunt. Dan satu benang merah yang jelas-jelas menghubungkan keduanya adalah: kekerasan.
Kedua film mendapat kategori rating R untuk adegan kekerasan dan perang yang sangat graphic dan sedikit nudity. Dan memang sepanjang film, mulai dari menit pertama sampai terakhir, penonton disuguhi berbagai adegan kekerasan yang semakin lama semakin mencengangkan. Adegan potong kepala yang di film-film lama biasanya tidak ditampilkan dengan jelas, hanya diperlihatkan pedang menyentuh leher, dan sekilas kemudian tubuh roboh tanpa kepala, dalam kedua film ini ditampilkan sangat jelas, bahkan dalam slow motion, lengkap dengan ekspresi wajah korban saat pedang memisahkan kepala dari tubuhnya. Begitu pula adegan tangan terpotong, kaki terpotong, organ dalam tubuh terburai keluar, semuanya ditampilkan tanpa jeda, memaksa penonton yang bernyali ciut memejamkan mata atau memalingkan wajah.
Banyak adegan-adegan yang serupa dalam kedua film, misalnya scene ratusan mayat bertumpuk-tumpuk. Dalam 300, itu adalah mayat tentara Persia yang disusun membentuk tembok oleh tentara Sparta. Sedangkan dalam Apocalypto, mayat korban-korban tanpa kepala yang dibuang begitu saja di suatu lembah. Entah apa gunanya menampilkan semua adegan tersebut dengan begitu nyata, apakah hanya untuk pamer teknologi special effect? Atau ada alasan lain?
Memang kemajuan teknologi special effect sekarang sudah memungkinkan pembuat film untuk menghasilkan gambar apa pun yang diinginkannya. Adegan-adegan yang dulu hanya tersirat saja, dan mengandalkan imajinasi penonton untuk membayangkannya, sekarang bisa ditampilkan dengan sangat realistis. Jadi sudah tidak diperlukan lagi imajinasi untuk menonton film-film jaman sekarang. Orang hanya tinggal menonton sambil makan popcorn dan percaya bahwa semua itu benar-benar terjadi. Imajinasi ditumpulkan.
Ternyata bukan hanya imajinasi saja yang ditumpulkan, tapi juga telah terjadi desensitization - saya harus bolak-balik mengecek kamus, wiki, dan lain-lain untuk meyakinkan diri bahwa saya tidak salah tulis. Artinya, sense atau [panca] indera juga telah ditumpulkan, tidak lagi peka. Beberapa tahun yang lalu, untuk menampilkan kesan sadis, orang cukup menampilkan pisau dan beberapa darah yang menetes dari ujungnya; untuk menampilkan kesan horor, cukup dengan beberapa kelebat bayangan hitam dan suara musik pipe organ dalam nada minor. Untuk menampilkan kesan seksual, cukup dengan beberapa kerlingan dan pundak yang sedikit terbuka. Dan orang sudah bisa menangkap maksudnya dan merasakan kengerian, ketakutan, maupun kesensualannya.
Tapi sekarang, ada adegan seorang korban pembantaian yang terbelalak menyaksikan jantungnya sendiri yang masih berdenyut hangat di tangan seorang pendeta Maya, sesaat setelah si pendeta merobek dadanya dengan pisau batu, dan sesaat sebelum seorang pendeta lain memenggal kepalanya lalu melemparkannya bergulung-gulung melewati tangga piramida kepada kerumunan rakyat yang menonton dari bawah. Gambar yang mungkin tidak akan lolos sensor beberapa tahun yang lalu. Semua itu tentu tidak berubah dalam semalam, tapi melalui proses bertahun-tahun. Film demi film, adegan kekerasan demi adegan kekerasan, menumpulkan panca indera. Stimulus yang sama tidak lagi menggairahkan, setelah dialami berkali-kali, perlu yang lebih hebat lagi, lebih besar lagi, lebih luar biasa lagi.
Sebagai catatan pribadi, bagi saya film 300 masih lebih "baik" daripada Apocalypto. Alasannya? Dengan tata warna sephia, backdrop yang lebih surealis daripada realis, make up dan kostum yang berlebihan (lihat saja penampilan Xerxes dengan piercing dan rantai-rantainya yang lebih mirip banci daripada raja sebuah kerajaan besar, atau jubah merah para Spartan yang tetap mulus melambai walaupun tubuh mereka terkoyak-koyak) film ini lebih bisa saya nikmati sebagai sebuah fantasi. Darah yang muncrat berwarna coklat-sephia-kehitaman menyadarkan saya setiap saat bahwa ini hanya sebuah film dan bukan kenyataan. Sedangkan Apocalypto menampilkan kesederhanaan dan realisme yang tajam dan menusuk. Warna-warna alam dan tubuh manusia yang nyata, darah yang merah dan kental, semuanya seolah berusaha meyakinkan bahwa ini memang benar-benar terjadi, dan itu yang lebih mengerikan.
Tapi nyatanya, saya tetap tidak berkedip, tidak jijik dan tidak mual menyaksikan semua itu. Apakah saya juga sudah terkena desensitization? Penumpulan? Walahualam...
- Daniel's blog
- 11907 reads
recommended movie for daniel
kebetulan gue dah nonton kedua film itu.
menurut gue, "apocalypto" lebih layak tonton secara intelektual. "300", walau emang asyik adegan "bacok2-an" nya, banyak "bolong2 bin bodohnya" kalo dianalisa.
kalo kebetulan pengen nonton2 lagi, cobain deh "the brave one"-nya jodie foster. plot nya simple tapi endingnya nggak klise dan aktingnya si jodie mantep banget. very2 recommended.
Sama-sama Heroik
Sesuai saran Daniel, saya sudah nonton 300, sedangkan Apocalypto beberapa minggu sebelumnya sudah nonton. Dua-duanya memang film yang sadis. Kedua film sangat bagus, gak rugi keluar duit buat minjem. Belajar apa dari dua film ini? (kok jadi inget kantor ya :p), HEROIK !! Itu yang tertanam jelas sesudah nonton dua filim ini.
Apocalypto tentang kepahlawanan seorang suami yang sudah diujung tunduk akan dipenggal lehernya, tetapi masih ingat istri dan anaknya yang disembunyikan di gua bawah tanah sesaat sebelum pembantaian kelompok sukunya oleh suku lain. Semangat itulah yang membawa dia untuk tetap bertahan hidup sampai akhirnya bisa bertemu kembali dengan keluarganya.
Film 300 lebih ke sisi Heroik kepada negara yaitu Sparta. 300 orang prajurit Sparta bertarung melawan ratusan ribu pasukan Persia, ini gak terlalu khayalan lho, kalau melihat strategi dan kemampuan bertarung Prjarit Sparta, ini jelas bisa dilakukan. Semangat juang dan rela mati demi kehidupan keluarga dan bangsa Sparta menjadi semangat mereka.
Tonton aja deh, gak rugi. Saya pasti berkediplah, nanti mata saya kering kalau gk berkedip. Tapi semua adegan kutonton tanpa tutup mata. Apa saya juga sudah kena "desensitization" ? Saya malah lebih terpengaruh "heroik" nya ik ...
*yuk komen jangan cuma ngeblog*
*yuk ngeblog jangan cuma komen*
buat dennis & ari
@dennis:
tengkyu nis, saya akan tambahkan judul film itu ke dalam watch list saya yang udah makin panjang aja. tapi soal "layak tonton secara intelektual" sebetulnya baik 300 maupun Apocalypto sama saja bodongnya kok. banyak kesalahan anakronistik di Apocalypto yang sengaja maupun tidak sengaja dilakukan Mel Gibson demi alasan artistik. yang paling parah: piramida pengorbanan Maya sebesar itu hanya ada (aktif dipakai) sebelum abad 9, padahal setting film di akhir abad 15 yang ditunjukkan oleh kehadiran conquistadores menjelang akhir film. minimal 300 lebih setia dengan genre fantasinya.
@ari:
sedikit tip kalo mau mereview film: "jangan beritahu terlalu banyak detil, apalagi endingnya". kebanyakan movie-goers kurang suka kalau kita bocorkan akhir ceritanya. paling tidak tulis dulu peringatan "warning, spoilers ahead" :)
Hehe .. Maaf Terlalu Bersemangat
*yuk komen jangan cuma ngeblog*
*yuk ngeblog jangan cuma komen*
Baru nonton Apocalypto
Mas Daniel, waktu post ini muncul saya sudah lihat 300, tapi belum Apocalypto, jadi ngga ikutan komen. Kemarin di tempat sewa pas liat film ini jadi tertarik lihat, tertarik promosi si Ari. Saya memang termasuk pecinta movie spoiler seperti dia, makanya Tuhan memproses saya dengan sangat tidak mudah karena selalu mau tahu ending dulu dalam banyak hal, hehehe...
Soal ketumpulan sensitivitas, saya lebih ngeri nonton Apocalypto daripada 300 (dua-duanya ngeri!), tapi saya pikir rasa tumpul itu ada mungkin juga karena ada akal budi yang masih bicara kalau itu hanya film (Apocalypto). Waktu lihat Schindler's List itu bener2 buat saya teraduk-aduk karena tahu itu kisah nyata. Dulu saya selalu takut lihat adegan2 di film yang gimana gitu, tapi saya mulai belajar kadang film memanipulasi lewat panca indera dan saya jadi tidak terlalu takut lagi. Apa itu bisa disebut desensitization juga?
Dua-duanya saya lihat lebih dari sekali. Saya jauh lebih terpukau dengan 300, meskipun lebih suka ending Apocalypto. Soal rekomendasi, saya cuma pesen, jangan lewatkan melihat pelukisan catatan sejarah ataupun kisah nyata, terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja
Charlotte's Web
Another recommended movie for everybody
Satu film sangat menarik yang baru saja saya tonton: Freedom Writers.
Sama sekali bukan film jotos2an, juga bukan film anak2, tapi benar2 film berbobot. Sangat saya rekomendasikan untuk ditonton oleh semua blogger, penulis dan calon penulis, guru, dosen, mahasiswa, murid, pecinta bahasa, pokoknya siapa aja deh.
Saya jarang terharu nonton film, tapi film satu ini membuat saya menangis. Apalagi setelah tahu bahwa film ini diangkat dari kisah nyata perjuangan Erin Gruwell dan murid-muridnya.
Freedom Writers
Mas Daniel,
Saat ini saya sedang bekerja sambil "mendengarkan" lagi film Freedom Writers itu. Memang bagus filmnya meskipun saya ngga nangis waktu nontonnya (adik saya nangis hebat waktu nonton di pesawat bulan lalu padahal dia ngga mudah nangis dibanding saya).
Yang berkesan dari film ini scene saat Ms. G meminta murid-muridnya untuk step forward for every question they answered with Yes. Saya ingat satu episode di Oprah Breaking Down Barriers yang melakukan hal serupa. Film itu juga mengingatkan saya pada apa yang dikatakan James Dobson dalam Bringing Up Boys. Banyak fakta tentang anak-anak yang grow up jadi gang members dipaparkan disana. Di film ini saya melihat penggambarannya.
Jadi mikir, berapa lama lagi atau sudah berapa jauh Indonesia sebenernya sudah kayak gitu yah? =)
P.S. Tahu ngga ada berapa versi versi film The Diary of Anne Frank?
tidak jauh beda
Rasanya di Indonesia tidak jauh beda. We just have to look at the right spots. Film Denias dan buku Laskar Pelangi yang baru sempat saya tonton dan baca akhir-akhir ini membuktikan bahwa di negara ini masih ada orang-orang yang peduli di tengah keterbatasan mereka. Bagaimana caranya kita bisa mendukung mereka?
P.S. Saya hanya pernah nonton salah satu versi Anne Frank yang kuno, entah tahun berapa, tapi rasanya setelah itu sudah diadaptasi beberapa kali lagi. Ada yang tahu?
Masih Nanggrok di Harddisk
Duh Ris, sudah sebulan lebih film Freedom Writers nanggrok di harddisk komputerku dan belum aku sentuh lagi. Entah kenapa 2 bulan ini aku gak semangat lagi nonton film. Kasih semangat ke aku donk Ris ..
*yuk comment jangan hanya ngeblog*
*yuk ngeblog jangan hanya comment*
*yuk komen jangan cuma ngeblog*
*yuk ngeblog jangan cuma komen*
Aku Sudah Nonton "Freedom Writer's"
Finally, film Freedom Writers bisa kutonton kemaren malam. Yah, sedikit memaksa tapi setelah melihat, tak ada rasa kecewa. Benar-benar bagus dan menggugah semangat untuk menulis, semangat untuk lebih tegar menghadapi kenyataan hidup yang berat, semangat untuk lebih "care" terhadap sesama. Yang belum nonton? Saya sangat sarankan untuk menontonnya deh ..
*yuk comment jangan hanya ngeblog*
*yuk ngeblog jangan hanya comment*
*yuk komen jangan cuma ngeblog*
*yuk ngeblog jangan cuma komen*
Gunn Brothers
Cultural Ministry
Dear Mas Daniel,
Sudah mulai memarjinalkan diri belum =)? Belum tentu yang bekerja lebih memuliakan Allah dibandingkan dengan yang sedang beristirahat. Jadi memarjinalkan diri bisa negatif atau positif tergantung apa yang dilakukan toh? =) Anyway, saya mau kasih liat link ini, http://cultural-ministry.blogspot.com/. Mungkin aja tertarik =)
Thanks for the link
Halo Xaris,
Ternyata posting satu ini jadi semacam markas untuk menulis pesan2 buat saya ya? Hehe, lucu juga, tapi bolehlah... :)
Thanks buat link-nya, sudah langsung saya masukkan ke koleksi bookmark del.icio.us saya :)
Yah, tepatnya akhir Maret depan saya resmi jadi orang marjinal, karena sudah terlalu lama, 2 periode, bercokol di posisi terhormat, jadi sesuai peraturan harus turun dulu, minimal 1 tahun, digantikan orang lain yang lebih terhormat :)
Ada ide? Apa yang bisa dilakukan dalam masa 'reses' ini? :)
Mas Daniel: menikmati istirahat
Allo Mas Daniel,
Saya pikir mau lewat PM awalnya, tapi pikir lagi lebih baik di sini aja, siapa tahu ada orang2 lain yang juga tertarik lihat link-nya. Sesama orang yang suka nonton, kita musti rajin2 sharing info tentang tontonan, apalagi kalo abis menonton kehidupan yang sia2, hehehe...!
Soal "turun" posisi itu mengingatkan saya akan Bill Clinton dan apa yang dilakukan dia sekarang. Minggu yang lalu saya lihat di Oprah waktu dia mempromosikan buku barunya "Giving". Sejujurnya, terlepas dari apakah Hillary calon presiden yang ideal bagi rakyat Amerika atau tidak, saya rasanya lebih menyukai Bill Clinton yang ini (sejauh saya tahu dia) dibandingkan yang dulu. Karena apa yang dia lakukan untuk mendukung Hillary.
Reses? Pasti Mas Daniel lebih tahu gimana menikmatinya! Away from the spotlight, yet used by God =)
The Jane Austen Book Club