Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

VERO

anakpatirsa's picture

Entah sudah berapa lama ia duduk di kursi samping, sama sekali tidak melakukan sesuatu untuk membuatku menoleh ke arahnya. Diam di sana, entah ikut melihat anak berangkat sekolah atau sedang merasa kecewa karena aku mencuekinya. Aku tidak tahu apa yang membuatku menoleh, menemukannya duduk memegang boneka anjing. Tiba-tiba aku merasa sangat senang, persis seperti orang yang menemukan gadis pujaan duduk di sebelahnya.

Sudah empat hari aku mengenalnya. Selalu menangis bila kusentuh, menjerit sekeras-kerasnya bila kupaksa gendong. Langsung mengibaskan tangan di kepala, seolah-olah mengusir lalat, bila kupegang rambut keritingnya

Tetapi sekarang ia duduk di sampingku atas kemauan sendiri.

Apakah ia langsung pergi bila tahu aku menyadari keberadaannya? Apakah ia langsung menangis bila aku menggendongnya? Aku tidak mau kehilangan saat-saat indah, ingin ia tetap di sampingku. Aku sudah mengenal tiga keponakanku yang lain, Diaz, Dio, dan Vany. Sama sekali tidak menemui kesulitan dengan mereka, tetapi Vero ini lain. Aku baru empat hari mengenalnya. Waktu ia lahir, aku hanya menerima SMS dari saudara-saudaraku yang isinya sama, Hanya forward SMS: "Tiara melahirkan, perempuan, namanya Veronica Carolina. Gundul."

"Hei, Vero," aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menegurnya.

Ia menoleh, membalas dengan senyum terindah yang pernah kulihat.

"Mau aku gendong?" kataku sambil menjulurkan tangan.

Ia mengangkat kedua tangannya.

Aku berharap ada orang yang mengabadikan saat itu.

"Ayo Diaz, kita bawa Vero jalan," kataku pada Diaz yang sedang bermain di sudut teras.

"Ayo," kata Diaz, "Vero itu memang bodoh. Dari kemarin-kemarin tidak mau jalan sama Om."

Aku sudah menghabiskan waktu bersama Diaz, kami sudah pergi ke bekas kebun belakang rumah; juga sudah ke bekas sekolahku; dan sudah ke kuburan ayah. Ia sudah melihat bagaimana Vero menjerit sekeras-kerasnya bila aku berusaha mendekatinya.

"Kita jalan-jalan melihat sapi ya?" sambil membungkuk mengambil sandal Vero.

Ada sapi tetangga yang sedang merumput lima puluh meter dari rumah. Vero menyukai binatang, ia punya dua boneka binatang yang tidak boleh berpisah darinya. Si Guguk, boneka anjing; dan Si Meong, boneka kucing. Tidak ada yang boleh menyentuh boneka ini kecuali ibunya. Boneka yang menemaninya saat tidur, Si Guguk yang menjadi guling dan Si Meong yang selalu tergeletak dekat bantal.

Vero diam saat kami menuruni tangga. Ia juga diam saat kucium pipinya ketika sudah di tanah. Bisa kulihat ia senang menyadari kami mendekati sapi yang sedang merumput. "Sapi.. Sapi..," gumamnya. Sudah sering kulihat ia berdiri di teras melihat sapi ini. Mulutnya mengeluarkan bunyi, "Sapi ... Sapi ..." yang belum sempurna.

"Ya, sapi," jawabku menanggapi gumamannya.

"Sapi ... Sapi..." gumamnya lagi.

Iseng aku ikut-ikutan, "Sapi."

Ia membalas, "Sapi."

Ingat babi yang kami makan, aku berkata, "Babi."

"Babi," balasnya.

Ingat bonekanya, aku berkata, "Guguk."

"Guguk," balasnya penuh semangat.

Ingat boneka kucingnya, aku berkata, "Meong."

Matanya berbinar. Aku kaget karena ia berteriak dengan nada tinggi, Meeeoooo...ooooongggggg."

Lalu ia tertawa.

Tiba-tiba aku melihat sebuah pola. Kuulangi lagi kata 'sapi' itu, ia membalas dengan mengucapkan kata 'sapi' juga.

"Babi." 

"Babi."

"Ayam." 

"Ayam."

"Guguk." 

"Guguk."

"Meong." 

"Meeeoooo...ooooongggggg!"

Lalu ia tertawa senang.

Ayahnya mendengar lengkingan 'meong' itu, ia langsung keluar rumah dan menyusul kami.

"Hei.. bagaimana caranya Vero mau kamu gendong, Dik?" tanyanya.

Kuceritakan apa yang terjadi.

"Vero memang tidak bisa langsung dekat orang baru," katanya menanggapi, "tetapi kalau sudah mau dekat, ia malu-malu mendekati orang itu."

Aku mengerti sekarang, mengapa ia diam tanpa suara waktu duduk di sampingku.

***

"Om... Om... Oooooooom."

Teriakan itu begitu keras. Biasanya aku malas bangun walaupun ada suara ribut, tetapi teriakan kali ini membuatku langsung bangkit.

Aku tahu siapa yang memanggil.

Hampir kutabrak Diaz yang sedang bermain magnet speaker rusak di depan pintu, Gorden membuatku tidak melihatnya. 

"Om..." suara itu kembali muncul begitu gorden tersibak.

Vero duduk di atas sofa ruang tamu, memegang boneka kucingnya. Boneka anjingnya tidak kelihatan. Ibunya duduk di sebelah, kakakku inilah yang sedang mengajari anaknya memanggilku. Ia tahu libur membuatku malas bangun pagi, dan sudah melihat Diaz sudah menyerah membuatku bangun lebih pagi.

"Aku mau masak, kamu temanin Vero, ya!" anak sulung suka memerintah, tetapi kali ini aku sama sekali tidak keberatan dengan tugasnya.

Vero langsung menjulurkan tangannya, ia tahu apa tugasku.

"Ayo Diaz, kita jalan keluar sama Vero," kataku sambil mencium pipi Vero yang juga belum mandi.

Seperti biasa, mendengar kata 'jalan',  Diaz langsung bangkit meninggalkan mainannya begitu saja. Lalu mengambil katapel yang juga tergeletak begitu saja di tengah ruang tamu.

Begitu kakiku menginjak aspal, Vero minta kuturunkan. Ia ingin berjalan sendiri, seperti kakaknya yang memegang katapel di tangan dan kantong yang menggembung penuh kerikil. Diaz sedang pura-pura berburu. Kepalanya tidak melihat jalan, tetapi mendongak ke atas, melihat pepohanan di pinggir jalan. Ia pasti berharap ada tupai atau burung di atas dahan-dahan itu.

Inilah salah satu pagi terindah dalam hidupku.

"Kamu mandikan Diaz, ya?" kata Tiara sambil mengambil Vero dari gendonganku saat kami kembali ke rumah.

Salah satu tugasku memang memandikan Diaz. Kalau Vero sendiri, aku sama sekali tidak boleh melihatnya mandi, orang lain boleh. Bila melihat batang hidungku saat ia dimandikan ibunya, Vero menjerit sekeras-kerasnya.

Ada kejutan lain saat sedang memandikan Diaz di karayan, teras tanpa atap di samping dapur. Vero berjalan ikut turun, berjalan di lantai yang licin. Aku diam saja, mengeluarkan suara malah bisa membuatnya kaget sehingga kehilangan konsentrasi.

Ia berhenti di samping kakaknya.

"Hei Vero," sapaku, "mau lihat kakak mandi?"

Ia tidak menjawab, malah langsung menurunkan celananya.

Tanpa suara, ia minta dimandikan.

"Mama Diaz," teriakku memanggil ibunya, "Vero minta aku mandikan."

"Kamu bisa mandiin dia?" ibunya yang sedang menggoreng sesuatu balas berteriak.

Aku sebenarnya mau, tetapi belum pernah memandikan anak yang masih belajar berbicara. Kali ini Tiara harus meninggalkan pekerjaannya. Terlalu beresiko membiarkanku memandikan Diaz sambil mengawasi anak di bawah dua tahun bermain di lantai ulin yang licin.

***

Saat terindahpun ada saatnya berakhir.

Sehari sebelum pulang, ayah Diaz mengajaku dan kedua anaknya main ke pinggir sungai. Kami duduk bekas sungai yang dangkal. Penuh kerikil kecil bekas tambang emas. Diaz sangat senang, karena ia bisa mendapat peluru katapel sebanyak-banyaknya dan boleh menembakannya kemanapun, kecuali ke arah kami. Vero juga senang, ia juga bisa bermain kerikil, melemparkannya ke sungai dengan tangan mungilnya. Tentu saja lemparannya tidak mengenai air. Lemparan terjauh tidak sampai satu setengah meter, dan lemparan terdekat mengenai kepala ayahnya.

Mereka akan pergi, menyisakan banyak kenangan, aku juga akan pergi. Aku tidak akan pernah melupakan saat menjaga Vero dari nyamuk saat ia bermain tanah. Ia menemukan sisa tanah dan polyback bibit bunga di bawah tangga, ia masukkan tanah itu ke polyback. Kulit Vero begitu putih, sehingga saat kena gigitan nyamuk, bekasnya langsung kelihatan. Akhirnya kuhabiskan waktu menemaninya dengan mengusir nyamuk-nyamuk yang mengelilingi tubuhnya.

Diaz juga meninggalkan kenangan. Ia tidak akan tidur denganku bila aku tidak takut 'hantu'. Setelah pemakaman, semua orang pulang. Aku harus tidur di bekas kamar jenazah, harus ada orang yang tidur di situ. Dua hari pertama aku sendirian, tetapi karena ada pemadaman listrik di hari ketika, aku mengajak Diaz.

Besok siangnya, tiba-tiba Diaz berbisik, "Om, nanti malam aku tidur sama Om lagi, ya?"

Perpisahan itu tiba. Satu jam sebelum mereka berangkat, aku pergi ke pasar. Kutemukan sebuah boneka kucing berwarna putih serta sebuah senapan mainan. Senapan itu untuk mengobati kekecewaan Diaz karena ibu tidak menginjinkannya membawa katapel. Ibu tidak mau merasa was-was karena cucunya nanti bermain sendirian dengan katapel di kampung orang.

Dua hari kemudian, aku mendapat SMS dari ibunya, "Vero suka sekali boneka yang kamu berikan. Selalu ia pegang terus."

Kembali aku teringat teriakan 'meong' itu.