Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Sepenggal Iri

Love's picture

"Dia bisa ini ... dia bisa itu!"

"Kok aku nggak bisa ini nggak bisa itu ya?"

"Ihh ... kenapa sih dia selalu lebih beruntung?"

"Harus berdoa seperti apa lagi agar aku pun mendapat jawaban doa yang sama seperti mereka?"

Pernyataan-pernyataan seperti itu kian hari semakin sering menari-nari di hati dan kepalaku, sampai hari ini. Betapa tidak? Aku melihat teman-temanku, baik itu teman sekolah atau kuliah dulu, bahkan teman
sekerjaku saat ini selalu mendapatkan hal yang menyenangkan dalam hidup mereka. Seakan-akan semua yang mereka rencanakan itu berhasil dengan mudahnya, seperti tinggal membalikkan telapak tangan.

Perasaan sesak semakin menjadi-jadi saat mendengar kesaksian yang luar biasa tentang bagaimana Tuhan menjawab doa teman-temanku secepat dan sesuai dengan apa yang mereka inginkan.

Berdosa? Ya, aku tahu adalah sangat berdosa saat aku mengungkapkan ketidakpuasan dan ketidakterimaan diriku akan apa yang menjadi bagianku saat ini. Aku juga tahu adalah sangat tidak layak melakukan aksi protes kepada Dia, Bapa yang mahabaik.

Iri? Ya, aku tahu ... ada benih iri dalam hatiku ... dan itu adalah benih si jahat .... iblis! Tapi kenapa rasa iri itu lebih kuat dari perasaan takut berdosa?

Kucoba untuk menghitung semua kebaikan Tuhan padaku, seperti yang sudah seringkali aku lakukan saat perasaan tidak puas itu datang dan datang lagi .... tapi untuk kali ini rasa itu terlalu besar .... Semua
kebaikan Tuhan bagaikan hilang ditelan bumi. Yang ada hanyalah perasaan ketidakberartian dan Ketidaklayakan.

Ha ... ha ... ha ... ha ... ha ....

Suara tawa itu mengiringi pandanganku yang tiba-tiba menjadi gelap! Sebuah kepala hitam dengan tanduk di atas kepalanya dan tangannya memegang sebuah tombak berlilitkan ular secara tiba-tiba pula memasuki
ruang maya di kepalaku.

Dia terus tertawa ... dan kali ini menghujam-hujamkan tombaknya di dasar kepalaku ... sampai kepalaku terasa akan meledak.

"Dia memang tidak adil ... susah ditebak. Katanya mintalah maka akan diberikan, carilah maka kamu akan mendapat, ketoklah, maka pintu akan dibukakan, tapi mana? Kata-kata itu hanya untuk orang lain ... bukan
buat kamu!"

Kupukul dengan lembut keningku, untuk mengembalikan terang dalam kepalaku. Kuhentikan sejenak uneg-unegku ini, kembali ke alam sadarku.

*******

Aku kembali lagi ... dalam pergumulanku ....

Tapi kali ini sudah kutemukan jawabannya .... lagi-lagi .... Dia tidak pernah marah kepadaku .... Setiap aksi protes yang aku lakukan selalu Dijawab-Nya dengan indah ....

Mengapa aku iri? Oh ... ternyata karena aku cenderung ingin hidupku senang dengan dianggap hebat oleh orang lain. Aku ingin bisa mendapatkan jawaban doa sesuai dengan yang aku inginkan karena ada kesombongan yang melata perlahan-lahan di hatiku. Semua permintaanku,
tidak ada yang aku tujukan untuk kemuliaan nama-Nya ... hanya untuk kepuasanku pribadi!! Sehingga saat kulihat orang lain bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, aku menjadi iri!

Mungkin Tuhan menjawab doa teman-temanku karena dalam hatinya mereka berkomitmen untuk mempersembahkan-Nya untuk Tuhan, dan kalaupun motivasi mereka palsu, Tuhan tetap tahu apa yang ada dalam hati mereka.

Pagi tadi aku adalah seorang anak yang tidak tahu terima kasih, tetapi siang ini, aku menjadi anak yang sedang meraung-raung di bawah kaki Bapanya, mohon pengampunan yang mungkin tidak layak aku terima.

Tulisan seorang "drunken priest" dalam sebuah milis merupakan teguran lembut dan indah dari Tuhan atas kebebalan hatiku hari ini. Rasa berdosa yang tadi hilang sekarang melandaku bak tsunami yang melanda
Aceh beberapa bulan yang lalu, hatiku menjadi luluh lantak.

Hidupku, walaupun tanpa apa-apa yang bersinar di mata manusia, jangan sampai menjadi tidak bersinar di hadapan Tuhan. Hidupku, yang menurut ukuran manusia tidak ada apa-apanya, harus menjadi hidup yang kaya di hadapan Tuhan. Itulah caranya aku harus memaknai hidupku. Dan, hidupku adalah untuk memuliakan nama-Nya. Oleh karena itu aku tidak memiliki
kemuliaan apa-apa di mata manusia, tetapi aku harus menjadi alat untuk kemuliaan-Nya.

Kupejamkan mataku sekali lagi, dan dalam bayangan hitam ... kulihat sosok hitam bertanduk, perlahan-lahan pergi, dengan gerakan bibir mengucapkan janji, "Aku pasti datang lagi!"