Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Seorang abdi di lereng Merapi

Inge Triastuti's picture

Dua tahun yang lalu ketika Gunung Merapi kena batuk pilek, setiap pembicaraan tentang sakitnya pasti satu nama manusia ikut disebut. Bukan Presiden bukan Sri Sultan. Yes, kamu tak salah. Mbah Maridjan. Namanya meroket ketika semua manusia di lereng Merapi diungsikan, ia bergeming tak bergerak. Bahkan sejak tanggal 16 Mei 2006 ia menghilang. Ada yang melihat ia bersama 3 orang mendaki ke arah pos pengawas terdepan yang hanya berjarak 2.5 kilometer dari pucuk Merapi. Ia ingin memanjatkan doa di pintu gerbang Paseban, menyampaikan rasa syukur karena awan panas yang menyembur 4 hari terakhir tidak menimbulkan korban jiwa.

Bayangkan adegan ini. Seorang manusia sepuh 78 tahun berdiri tegak di tanah yang penuh bebatuan diselimuti abu putih dan di belakangnya Merapi sedang membuang ingus merah ke arahnya. Jika adegan ini ditayangkan oleh Discovery Channel, pasti anak-anak di Amrik akan berteriak, “Wow, Superman returns!”

Beberapa hari Mbah Maridjan menghilang dari orang-orang media yang ingin mengorbitkannya jadi seleb. Setelah ditemukan ia memberi “keterangan pers”. Ia menolak perintah Sri Sultan bukan karena berniat membangkang, tetapi karena masih ada ritual yang telah terjadwal yang harus dilakukannya. Ia sudah menemui junjungannya untuk menjelaskan tindakannya ini. Berapa sih gaji si Mbah ini sehingga ia tetap menjalankan tugasnya dengan taruhan nyawa? “Lima juta enam ratus ribu rupiah,” jawabnya. Tetapi, ia melanjutkan, “Itu gaji seribu bulan.” Lima ribu enam ratus rupiah sebulan dibelain dengan nyawa? Lalu mau berharap gaji berapa banyak bila junjungan mereka Sultan HB X menerima gaji Rp.200.000,- sebulan? Sementara itu GKR Hemas permaisurinya menerima Rp.12.500 dan para Pangeran sekitar Rp.30.000,- hingga Rp.40.000,- setiap bulan.

Jadi apa yang membuat si Mbah menomor-duakan nyawanya? Koran Kompas 03 Desember 2005 bercerita: “Upacara adat Gerebeg Maulud, 6 tahun silam, tak bisa dihapuskan dari ingatan Suyudono (28). Saat itulah ia bertugas sebagai prajurit pengiring untuk pertama kalinya, dan datang tiga jam sebelum acara dimulai. Pamannya bahkan memberikan hadiah sepatu pantofel dan ibunya menangis bangga ketika melihatnya memakai seragam prajurit keraton. Prajurit keraton adalah salah satu abdi dalem Keraton Yogyakarta. Sejak diangkat sebagai abdi dalem, Suyudono yang tinggal di nDalem Yudaningratan itu diwajibkan menjaga keraton 20 hari sekali. Waktu selebihnya dipakai Suyudono untuk mencari nafkah dengan berdagang dawet (cendol) dan membersihkan sampah. Kalau dihitung-hitung, penghasilan per hari ditambah kucah dalem (gaji sebagai abdi dalem) sebesar Rp 2.000 per bulan, tidak cukup untuk hidup. Tapi kok ya selalu ada rezeki tambahan yang bisa datang dari mana saja, katanya.”

Abdi dalem bangga jadi bagian sebuah kerajaan.

Dari kesaksian Suyudono, ternyata dorongan untuk menjadi seorang abdi dalem bukan karena uang. Kucah dalem hanyalah sekedar bukti pengakuan Keraton bahwa ia masih dicatat dan diakui sebagai abdi dalem. Dorongan utama adalah kebanggaan menjadi bagian dari sebuah kerajaan. Kebanggaan ini menular kepada anggota keluarganya sehingga mereka memberi dukungan nyata agar ia dapat menunaikan kewajibannya dengan optimal. Ibunya pasti menangis karena mensyukuri Sri Sultan berkenan menerima anaknya yang berpendidikan rendah dan dari rakyat melata sebagai bagian dari Keratonnya.

Pernahkah kita sebagai aktivis sebuah Kerajaan yang jauh lebih hebat daripada milik Sri Sultan tertempelak melihat kebanggaan para abdi dalem ini? Berapa banyak orang tua yang memanjatkan doa syukurnya kepada Allah dengan linangan air mata ketika anaknya berkata : “Bu, hari Minggu depan saya mulai mengajar Sekolah Minggu”? Berapa banyak orang tua yang rela mengorbankan uang dan waktunya untuk mengantar anaknya menunaikan kegiatan pelayanannya di gereja? Betapa banyak orang tua yang malah mengomel habis-habisan ketika anaknya meminta dibelikan seragam agar bisa tampil apik bersama teman-teman paduan suara remaja dalam kebaktian umum.

Suyudono dan Mbah Maridjan menyebut dirinya “abdi (hamba) dalem (saya)” yang berarti “hamba itulah saya” atau “saya hamba”. Dulu kata ini pernah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “hamba sahaya”. Dalam pembicaraan, mereka menyebut junjungannya “Sinuwun (paduka) Ngarso (depan) Dalem (saya)” yang bisa diartikan “Paduka yang selalu saya kedepankan”. Mereka mengakui dirinya bukan apa-apa bagi Sri Sultan. Mereka hanya seorang hamba yang mengemban tugas menjaga dan melestarikan kebudayaan Jawa yang mereka junjung tinggi.

Kita, para aktivis gereja adalah abdi Allah, hamba Allah. Mengapa kita belum bisa menyamai tingkat kebanggaan para abdi dalem ini? Jangan-jangan kita sering mengucapkan kata “abdi Allah” dengan lidah Sunda, di mana kata “abdi” berarti “saya”, ketika menunaikan tugas pelayanan dengan lebih mengedepankan diri sendiri daripada Junjungan kita.

Pernah mendengar seorang ibu berbisik-bisik ke temannya, “Lihat tuh yang main piano. Itu puteri saya. Bagus ya mainnya. Dia sudah saya kursuskan piano sejak batita. Jadi ndak usah diherani, Jeng, kalau mainnya jauh lebih baik daripada pianis gereja lainnya yang ndak bisa baca not balok”? Pernahkah Anda menggerutu, “Saya heran jumlah anak SM di pos itu waktu saya mengajar tidak pernah kurang dari 50 anak kok sekarang setelah saya tinggal merosot jadi 20-an”? Pernahkah Anda mengeluh “Saya sudah 10 tahun jadi penatua di gereja ini. Sudah lama saya ingin turun, tetapi saya belum bisa menemukan calon pengganti yang sanggup mengemban tugas yang berat ini”?

Ucapkanlah kata “abdi Allah” dengan dialek Jawa sehingga berati “hamba Allah”, tidak lebih tidak kurang. Lalu bandingkan diri Anda dengan Suyudono. Dia hanya tukang sampah dan dagang dawet. Tetapi tugasnya sebagai abdi dalem itu jauh lebih rendah (melihat kucah dalem-nya yang sangat amat kecil) daripada apa yang dikerjakannya sehari-hari. Mengapa ia menunaikannya? Karena ia telah berjanji menjalankan tugasnya sebagai hamba sahaya dengan segala konsekwensinya saat ia diwisuda menjadi abdi dalem. Bukannya malu, ia dan juga keluarganya malah bangga. Kata orang Jawa, “Ajining diri dumunung ono ing lathi, ajining rogo dumunung ono ing busono” (Kehormatan diri ada pada lidah, kehormatan tubuh ada pada pakaian). Sudahkah kita menepati janji kita kepada Allah ketika diwisuda (dibaptis)?

Apakah Anda merasa tidak bisa melakukan sesuatu untuk melayani Tuhan? Apakah Anda tidak mempunyai ketrampilan apa pun seperti yang dibutuhkan gereja karena Anda hanya berpendidikan rendah? Sementara Anda ngebet banget melayani Tuhan. Believe me, bukan ketrampilan yang menjadi dasar sebuah pelayanan, tetapi hati. Hati yang melayani, hati yang menghamba. Hati menghamba yang saat ini lebih nyaman dibawa dalam lagu daripada dibawa dalam gerak.

Jika musim hujan, jemaat yang datang ke gereja dengan mobil atau becak, walaupun membawa payung, akan kerepotan waktu turun dari kendaraannya. Pernahkah terpikir oleh kita untuk membentuk Pelayan Pembawa Payung? Kita menjemput mereka sambil membawa 2 payung. Satu payung untuk menaungi mereka waktu turun dari kendaraan, satu payung untuk melindungi diri sendiri. Aku pernah hanya membawa satu payung, e ada jemaat yang lupa rambut kepala pelayan juga butuh dipayungi. Dia ambil payung itu dari tanganku dan langsung jalan cepat ke pintu gereja. Dia kering, gw basah. Yaaa, namanya juga pelayan, baru basah kok sudah mengomel. Berani menguji kadar pengabdian kamu kepada Allah melalui kegiatan ini? Tidak harus setiap Minggu. Bebas kok, seperti abdi dalem yang tidak setiap hari masuk kerja. Bisa setiap 2 Minggu, atau sebulan sekali. Atau setahun sekali, juga boleh. Karena dari jumlah kegiatan menghamba ini kamu juga bisa menilai seberapa kuat pengabdian kamu kepada Allah. Sebelum kamu berkomentar, cobalah dulu kegiatan ini karena ini adalah kegiatan baru. A brand new activity! Kamu akan mendapat banyak pengalaman batin. Dari yang menjengkelkan, menggelikan, sampai mengharukan ketika ada yang berkata dengan tulus, “terima kasih ya Nik.” Dan ga nyombong, with all respect to your penatua gereja, jemaat lebih respek kepada kita daripada kepada yang hanya berdiri nyalami mereka di pintu gereja. So, let’s try it!

Di sebuah kota kecil dalam kotbah pemberangkatan jenazah jemaatnya, seorang pendeta berkata, “Tidak saja keluarga yang merasa kehilangan dengan kepergian Nenek ini. Saya juga kehilangan seorang rekan pelayan Allah. Waktu saya dipindah-tugaskan ke mari, saya baru tahu bahwa kebersihan ruang kebaktian juga menjadi tanggung-jawab pendeta karena gereja tidak sanggup mempekerjakan seorang pembantu. Saya tidak berkeberatan. Tetapi sering larut malam saya baru selesai mempersiapkan kotbah sehingga hari Minggunya saya terlambat bangun dan tidak sempat membersihkan bangku jemaat. Agaknya keluhan jemaat membuat Nenek ini menemui saya dan menawarkan bantuannya. Jadi bila selama 2 tahun terakhir ini Bapak-Ibu merasa nyaman berbakti karena bangku-bangku tidak berdebu dan lantai semen bersih tersapu, Nenek inilah yang mengerjakannya sebelum matahari terbit setiap hari Minggu. Saya tidak pernah menceritakan kegiatannya ini kepada jemaat karena permintaannya. Ia tidak ingin disangka mencari pujian. Padahal saya sendiri risih menerima pujian beberapa orang atas kebersihan ruang kebaktian yang bukan hasil kerja saya. Jika saya ikut bersama mengerjakannya, itu juga tidak lebih dari sepertiga ruangan karena Nenek ini lebih cepat dan trampil mengerjakannya.

Saya kehilangan Nenek. Ya, saya kehilangan bantuan tenaganya. Tetapi saya lebih kehilangan semangat pelayanannya yang selalu menjadi cermin bagi saya ketika semangat pelayanan saya melemah. Nenek mungkin tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya lebih dari sekedar membersihkan ruang kebaktian.”

Abdi dalem tak pernah hidup berkekurangan.

Keyakinan ini juga menjadi salah satu pendorong seseorang bersedia menjadi abdi dalem. Walau kucah dalem Suyudono hanya 2 ribu rupiah sebulan, ia punya keyakinan yang bisa dikatakan di luar akal sehat, bahwa ia tidak akan berkekurangan karena dia adalah seorang abdi dalem. Para abdi dalem yang bertugas di sektor wisata, misalnya sebagai pemandu turis di keraton atau makam Imogiri, bisa mendapat tambahan dari tip.

Tetapi bagaimana dengan Mbah Maridjan? Sebelum Merapi kena flu, berapa banyak pendaki gunung ini yang mampir ke gubuknya untuk bercengkerama dengannya? Seorang abdi dalem yang bertempat tinggal di dalam pagar tembok keraton, menyewakan sebagian rumahnya untuk gudang kepada perusahaan tempat aku bekerja. Tetapi itu pada saat ia berusia 70 tahun. Sebelumnya pekerjaan lain apa yang dilakukannya, ia selalu berkelit bila ditanya. “Yang penting,” jawabnya, “kita bisa nerimo ing pandum. Menerima pembagian berkat Gusti dengan mensyukurinya, tanpa protes atau membandingkan dengan yang diterima orang lain.” Lalu bagaimana bila pandum itu tak turun? Mereka melakukan tirakat, yang dalam tradisi Kristen boleh disejajarkan dengan doa puasa. Mereka memeriksa diri apakah ada kaidah hidup yang mereka langgar.

Tentunya lewat strategi ini, kepribadian mereka makin terasah. Ketaatan mematuhi ajaran-ajaran luhur yang ada dalam budaya Jawa membuat mereka lebih mudah mendapat pekerjaan. Seperti tercermin dalam alasan kepala unit pemasaran kota itu yang menyewa rumahnya untuk menyimpan barang dagangan dan beberapa mobil perusahaan. “Janji mereka bisa dipegang, bertanggung jawab, tidak serakah, jika protes disampaikan
dengan sangat santun.”

Kita meyakini kaidah hidup yang diajarkan oleh Tuhan Yesus jauh lebih tinggi daripada milik para abdi dalem. Tetapi apakah kita para abdi Allah ini sudah bisa menandingi kepribadian abdi dalem Sri Sultan itu?

Sudah berapa lamakah kita tidak mengadakan saat tirakat berendah-diri di hadapan hadirat Allah? Memeriksa diri adakah kaidah hidup yang telah Tuhan Yesus ajarkan masih kita taati? Seberapa dalamkah kerinduan kita untuk menjadi abdi Allah dengan kecemerlangan karakter kristiani? Seberapa sering Nama Tuhan Allah kita dipermuliakan orang lain karena melihat perilaku kita dalam hidup sehari-hari?

Yakinkah kita bahwa seorang abdi Allah tidak akan hidup berkekurangan? Apakah kita selalu mensyukuri berkat yang diberikan Junjungan kita berapa pun jumlahnya? Apakah kita bisa melihat orang lain mendapat berkat berkelimpahan tanpa pandangan curiga? Apakah tidak ada rasa cemburu dalam hati kita melihat abdi Allah lainnya mendapat fasilitas dari gerejanya jauh lebih baik daripada yang kita terima?

Lihatlah, keyakinan Mbah Maridjan telah terbukti benar. Kamera tivi dalam dan luar negeri merekam sosok dirinya, rumah dan kampungnya. Para calon pejabat pemerintah tingkat bawah sampai tingkat tinggi sowan ke rumahnya sebelum berlaga di arena pertandingan. Para siswa dan mahasiswa dari berbagai kota dengan bus-bus besar bila mau menengok Merapi tidak lupa mampir dulu ke rumahnya. Melalui layar kaca televisi ia memberikan kesaksiannya. Sambil senyum-senyum ia menunjukkan minuman superhero. Kucah dalem-nya tidak berubah. Tetapi sekarang berapa ya hasil side job si Mbah? Hehehe, ia cuma tertawa, di layar kaca. ***