Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Sekilas dari Keabadian (8)
Kesaksian Ian McCormack
Oleh: John Adisubrata
TERHAMPAR SEORANG DIRI
“Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku? Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.” (Mazmur 121:1-2)
Suasana di sepanjang jalan raya di pesisir pantai Tamarin Bay tersebut tampak hening sekali, … tidak ada kendaraan-kendaraan yang berlalu-lalang di sana. Maklum sekali, karena waktu tentu sudah menunjukkan lebih dari pukul 12 malam!
Oleh karena kegiatan-kegiatan yang saya lakukan di dalam lautan semenjak sengatan yang pertama, dan juga oleh karena pengaruh racun di dalam peredaran darah yang sudah menjalar ke mana-mana, seluruh tubuh saya terasa amat letih. Seolah-olah saya tidak berdaya lagi untuk bertahan membuka kelopak-kelopak mata saya, karena rasa kantuk yang telah menguasai mereka.
Bagian tubuh yang sebelah kanan, terutama tangan dan kaki saya, sudah hampir menjadi lumpuh sama sekali! Pada waktu itu saya masih belum menyadari keganasan racun Box Jellyfish yang dengan mudah bisa mengakibatkan kematian korbannya dalam waktu yang amat singkat!
Di luar kesadaran saya sendiri, ternyata tubuh saya sudah terbaring di atas aspal jalan, memandang ke atas, mengawasi sinar bulan purnama serta bintang-bintang di langit yang bergemerlapan tak terhitung banyaknya. Mereka menaburi langit cerah yang baru beberapa jam sebelumnya tertutup oleh gumpalan-gumpalan awan badai yang amat kelam.
Menatap keindahan langit yang syahdu itu, timbullah keinginan di dalam hati saya untuk beristirahat sejenak saja. Saya merasa tergoda sekali untuk mengatupkan kelopak-kelopak mata saya.
Namun … sebelum saya sempat melakukannya, tiba-tiba saya mendengar suara lembut seorang laki-laki, yang tampaknya sedang berdiri di sebelah kanan saya. Ia berkata: “Anak muda, jika engkau menutup kedua matamu, engkau tidak akan bangun lagi!” (1)
Peringatannya benar-benar menggugah hati saya, menyadarkan akan segala kemungkinan dan konsekuensi-konsekuensi yang bisa terjadi apabila saya meneruskan tindakan tersebut.
“Benar juga.” Saya menggumam sendiri: “Jika aku menutup kedua mataku, bisa-bisa aku jatuh pingsan yang berjangka panjang (‘coma’), dengan kemungkinan yang amat besar, … aku tidak akan pernah sadar kembali!”
Sebagai bekas sukarelawan lifesaver, saya biasa dengan keputusan-keputusan yang harus segera diambil pada saat menghadapi kasus-kasus kecelakaan fatal yang terjadi di dalam lautan seperti itu! Orang-orang yang sudah ‘sekarat’ oleh karena keracunan, tidak diperbolehkan tidur sebelum mereka menerima suntikan anti-toksin dari dokter.
Selain itu saya juga merasa heran, sebab tadi saya tidak menemui seorang pun di sana. Suara laki-laki tersebut memastikan, bahwa ternyata saya tidak sendirian lagi. “Mungkin ia bisa mengantarkan aku pergi ke rumah sakit.” Saya berpikir dengan hati lega.
Sambil membelalakkan mata dan menggeleng-gelengkan kepala guna mengusik rasa kantuk yang sudah menguasai penglihatan saya, saya berusaha untuk bangkit berdiri. Pada waktu itu saya merasa yakin sekali, seorang laki-laki tentu sedang berdiri di samping kanan saya. Harapan saya, ia akan segera menawarkan pertolongannya.
Tetapi setelah beberapa kali mengawasi daerah tersebut dengan lebih seksama, ternyata saya tidak bisa menemukan laki-laki itu di sana.
“Sungguh mengherankan.” Saya termangu-mangu tidak percaya: “Suara siapakah itu? Bukankah baru saja suara itu kudengar dengan jelas? Seolah-olah ia berdiri dekat sekali di sebelah kananku.”
Ketika saya sudah berhasil berdiri tegak, dan mengamat-amati daerah itu sekali lagi, untuk pertama kalinya saya menyadari adanya sebuah ‘petrol station’ milik Caltex di seberang jalan, kira-kira 100 meter dari tempat di mana saya berdiri.
Berbulan-bulan lamanya saya tinggal di pesisir pantai Tamarin Bay, dan sering kali saya berjalan mondar-mandir melewati jalan raya tersebut, tetapi sekalipun juga saya tidak pernah menyadari keberadaannya di tempat itu.
Mendengar kegaduhan gelak-tawa suara percakapan beberapa orang laki-laki dari dalam pekarangannya, timbullah kembali semangat baru di dalam diri saya untuk mencari bantuan. Kali ini saya akan mencobanya di sana! Bersusah-payah sambil mengandalkan kekuatan kaki kiri saya yang masih sehat, saya berusaha menyeberangi jalan raya yang amat lebar tersebut.
Ternyata di pekarangan depan pompa bensin itu saya melihat tiga orang laki-laki yang sedang asyik bercakap-cakap. Mereka berdiri tidak jauh dari tiga taksi yang diparkir berderetan. Paras wajah dan logat bahasa mereka menunjukkan, bahwa mereka adalah penduduk pulau Mauritius keturunan bangsa India.
Dugaan saya, mereka adalah supir-supir taksi yang sedang bertugas malam melayani para turis di daerah pesisir pantai tersebut.
Penuh harapan saya menghampiri mereka, dan bertanya: “Apakah Anda bisa mengantarkan saya pergi ke Victoria Hospital di kota Quatre Bomes?”
Sepintas mereka melirik diri saya dengan acuh sekali, tanpa menunjukkan kemauan untuk menjawab permohonan saya tersebut. Tetapi akhirnya sambil membuang muka, dalam waktu yang hampir bersamaan mereka menjawab: “Tidak, … kami tidak mempunyai waktu untuk mengantarkan engkau!”
Tentu belum apa-apa mereka bertiga sudah meragukan kemampuan saya, sebagai seorang yang masih berusia muda, untuk bisa membayar ongkos ‘service’ yang akan mereka berikan kepada saya.
Tanpa merasa tersinggung, saya memohon sekali lagi kepada mereka: “Tolonglah saya, Pak. Saya harus segera pergi ke rumah sakit, karena saya membutuhkan pengobatan saat ini juga.” Salah seorang dari mereka menjawab dengan ketus: “Tidak ‘white boy’, kami tidak mempunyai waktu untuk menolongmu!”
Mengetahui bahwa supir-supir taksi itu tidak mau mengubah pendapat mereka, saya mencoba menawarkan uang tunai kepada mereka. Aneh bin ajaib, … seketika itu juga sikap mereka terhadap saya menjadi berubah sekali!
Sambil menatap mata saya dalam-dalam mereka berkata: “Berapakah yang akan engkau berikan kepada kami, white boy? Berapa banyak uangmu?”
Saya menjawab: “Terserah Anda, … 50 Dollar, … 100 Dollar?” Sembari berkata demikian, saya meraba kantong celana saya. Seketika itu juga saya menjadi sadar, bahwa seperti biasa, jika saya pergi menyelam, saya tidak pernah membawa dompet atau barang-barang berharga lainnya!
Oleh karena itu dengan jujur saya mengakui, bahwa pada saat itu saya tidak memiliki uang sepeser pun juga. Tetapi saya berjanji kepada mereka, saya pasti akan membayar ongkos perjalanan taksi mereka, karena uang saya tertinggal di rumah.
Tertawa terbahak-bahak mereka memalingkan tubuh dan mulai melangkah pergi menuju ke taksi-taksi mereka yang diparkir beberapa meter jauhnya dari tempat di mana saya berdiri. Ketiga-tiganya meninggalkan saya sambil mengejek: “Engkau orang gila, white boy!”
Ketika saya masih tertegun merenungkan penolakan mereka, saya mendengar untuk kedua kali-nya suara lembut seorang laki-laki yang baru saja tadi menasehati saya di seberang jalan.
Dengan jelas sekali saya bisa mendengar ia berkata seolah-olah ingin menantang saya: “Anak muda, apakah engkau bersedia merendahkan dirimu sedemikian rupa, mengemis belas kasihan dari ketiga orang itu, agar engkau bisa mendapatkan pertolongan mereka?” (2)
“Mengemis pertolongan mereka agar aku selamat? Tentu saja aku mau!” Saya menjawab di dalam hati. Kali ini saya tidak berusaha lagi untuk menyelidiki asal-usul sumber suara tersebut!
(Nantikan dan ikutilah perkembangan kesaksian bersambung ini)
SEKILAS DARI KEABADIAN (9)
Kesaksian Ian McCormack
MENGEMIS BELAS KASIHAN
- John Adisubrata's blog
- 3885 reads