Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Punakawan
Percakapan itu berlangsung rabu siang, tanggal 30 November di pojok salah satu resto di Jabotabek. Di antara dua teman tersebut, yang satu adalah seorang teman sd dan satu lagi adalah teman sma. Kami sudah lama sekali tidak bertemu sehingga obrolan agak tidak keruan arahnya, maklum teman lama.
Namun, karena kami bertiga sama-sama pernah bekerja dalam berbagai profesi di wilayah ibukota, tentu sedikit banyak menyinggung kehidupan keras dan sangat kompetitif di ibukota.
Ibukota
Salah satu teman berkomentar bahwa sulit baginya untuk mencari pekerjaan yang halal dan tidak mewajibkan untuk terlibat dengan praktek korupsi kiri kanan untuk mendapat proyek. Akhirnya ia menemukan usaha ikan kecil-kecilan, yang penting halal dan cukup untuk keluarga.
Lalu yang lain menimpali bahwa di lingkungan universitas negeri ternama sekalipun, penelitian pesanan adalah lumrah, dan nilainya dapat mencapai milyaran. Akibatnya banyak doktor dan profesor yang hanya mengejar proyek penelitian pesanan tersebut, tidak peduli lagi dengan objektivitas apalagi etika sebagai ilmuwan.
Lalu saya menambahkan bahwa memang sulit mencari pekerjaan yang layak di ibukota namun dapat tetap berdamai dengan hati nurani. Saya sendiri sudah absen dari dunia profesional selama tidak kurang dari 7 tahun, dan baru beberapa bulan ini saja merintis suatu startup kecil dalam bidang energi terbarukan. Kami juga sempat mendiskusikan tentang korupsi di berbagai instansi, lalu akhirnya kami berpisah.
Ekonomi
Sesampai di rumah, saya jadi teringat bahwa pembicaraan ngalor ngidul kami ini barangkali dapat dianalogikan dengan kisah percakapan tiga pemabuk karya Nakae Chomin, yang dalam bahasa Jepang berjudul: Sansuijin Keirin Mondo.(1)(2)(3)
Yang jelas kami bertiga bukanlah pemabuk, jadi mungkin lebih tepat dibandingkan dengan percakapan Gareng, Petruk, Bagong. Dalam suatu pagelaran wayang, biasanya ki dalang amat piawai memberikan kritik sosial melalui guyonan punakawan ini.
Dalam hubungan ini, izinkan saya juga berkomentar sedikit layaknya para punakawan. Kalau diperhatikan, seperti sebuah film yang bagus tentu para pemeran telah bermain maksimal. Demikian juga dengan kabinet Kerja pak Jokowi, pasti sudah bekerja keras, hanya saja ada beberapa hal yang masih perlu ditingkatkan. Misalnya, pembangunan infrastruktur sangat dipacu di berbagai daerah, dan hal ini patut diacungi dua jempol, karena beberapa pemerintahan sebelumnya hanya fokus pada pembangunan di Jawa saja. Akibatnya semua penduduk Indonesia berlomba-lomba menuju pusat (sentral), bahkan Jakarta menjadi sangat padat. Kalau pola desentralisasi lebih serius digarap baik melalui program pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah, arus urbanisasi ini mungkin bisa direm sedikit. Walau memang tidak mungkin disetop.
Namun, pembangunan infrastruktur tentu menyedot banyak dana, dan mungkin itu akibatnya ekonomi jadi agak terganggu. Kiranya pemerintah mulai lebih memperhatikan roda ekonomi riil.
Prestasi kabinet Kerja selain infrastruktur yang dapat dibanggakan adalah amnesti pajak, yang kabarnya menuai hasil yang luar biasa. Tentu kita semua senang jika banyak orang lebih sadar akan pentingnya pajak, namun pemerintah khususnya bu Sri Mulyani perlu memastikan agar hasil amnesti pajak itu benar-benar digulirkan untuk melancarkan roda ekonomi. Kita mendengar bahwa amnesti pajak telah berhasil mengumpulkan sekian ratus trilyun, tapi kok ya ekonomi riil tetap lesu?
Selain itu, etika profesi para petugas pajak perlu juga ditingkatkan. Pelaku bisnis bukanlah anak kos, dan pejabat perpajakan bukanlah ibu kos. Jadi kalau ada pelaku bisnis yang beli televisi atau ponsel baru tidak perlu langsung disurati bahwa besok sewa kos akan naik.
Pengalaman saya sendiri, bulan februari lalu saya sudah melaporkan kewajiban pajak saya, dan karena penghasilan di bawah penghasilan kena pajak, maka saya bebas pajak. Lalu bulan oktober saya mulai merintis startup kecil-kecilan, bahkan omzet belum ada. Tapi minggu lalu ada surat dari kantor pajak ke rumah yang menyatakan dengan nada bahasa kurang enak, menuduh bahwa saya "belum pernah" membayar pajak. Lha kan memang saya sudah laporkan itu bulan februari?
Saya bercerita begini bukan untuk mengeluh, namun saya yakin banyak pengusaha yang merasa risih terus dikejar-kejar petugas pajak yang bertingkah seperti ibu kos tadi.
Menurut hemat saya, inovasi di tingkat industri sangat minim, meskipun banyak penelitian di tingkat universitas. Salah satu penyebabnya adalah pola berpikir pejabat termasuk petugas pajak tadi yang kira-kira prinsipnya begini: "kalau ada paku yang menonjol, itulah yang paling dulu harus dipukul dengan palu." Kalau caranya begini, orang-orang baik akan malas berinovasi, dan orang-orang pintar akan kabur ke luar negeri. Saya bersyukur bahwa sejak pak Joko Widodo menjabat presiden, kian banyak pejabat daerah yang bersih dan peduli akan kesejahteraan warganya, misalnya bu Risma. Jadi bukan pejabat yang paling besar upetinya yang akan bertahan, namun yang bersih dan kompeten. Tentu itulah yang kita harapkan dari pilkada langsung tahun depan. Namun ini mesti dikawal oleh rakyat di semua daerah, jangan pilih calon pejabat yang rekam jejaknya korup dan suka disuap. Semoga pilkada serentak tahun depan akan memberi kesempatan kepada orang-orang baik untuk berbuat yang terbaik bagi daerah masing-masing.
Hermeneutik Pancasila
Kini izinkan saya menulis sedikit tentang Pancasila. Karena saya berlatar belakang teologi, maka saya akan menggunakan hermeneutik terhadap teks Pancasila.
Pertama, kita sebagai bangsa Indonesia patut bersyukur memiliki falsafah bernegara yang begitu indah dan harmonis, tidak banyak negara di dunia ini yang memilikinya.
Kedua, saya sedih jika mendengar di kampung-kampung tertentu dipasang spanduk: "Pancasila sudah gagal, saatnya untuk mempertimbangkan negara agama." Apakah yang menulis spanduk semacam itu sadar resiko apa yang akan terjadi? Apakah mau sengaja melupakan pemikiran para founding fathers?
Dari pembacaan saya, Pancasila mengajarkan prinsip jalan tengah setidaknya dalam 3 hal:
a. Negara berke-Tuhan-an, namun bukan negara agama.
b. Demokrasi melalui musyawarah dan mufakat, bukan demokrasi liberal
c. Bangsa yang berjuang untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial, bukan sekadar sosialisme.
Dalam konteks ini, kita patut menyimak artikel Munir Majid bahwa Indonesia dan juga Asia Tenggara sedang berada dalam proses tarik ulur antara kepentingan USA dan RRC (6). USA mengusung ideologi kapitalisme dan demokrasi liberal, yang digadang-gadang sebagai ciri-ciri akhir sejarah oleh Fukuyama.(8) Namun di pihak lain, ada ideologi sosialisme komunis dari RRC, meskipun telah bermutasi dengan mengambil aspek-aspek kapitalisme modern.
Lalu bagaimana ideologi Pancasila ini dapat terus bertahan di tengah arus ideologi tersebut? Kalau mau jujur, mengusung Pancasila di negeri ini saja susah apalagi di Asia Tenggara.
Memang di beberapa sosial media ada rumor bahwa salah satu penyebab demo-demo akhir-akhir ini adalah adanya sinyalemen bahwa kabinet Kerja pak Jokowi terlalu memberi angin ke RRC. Benarkah demikian? Saya yakin pak Jokowi tidak segegabah itu.
Untuk mengimbangi tarik-menarik ideologi antara USA dan RRC tersebut, hemat saya perlu digencarkan revitalisasi Pancasila sebagai Jalan Ketiga, mirip "third way" yang digagas oleh Anthony Giddens beberapa tahun lalu. Namun juga perlu disosialisasikan secara konkrit dalam kehidupan ekonomi, misalnya melalui aktualisasi Pasal 33 UUD 1945. Tentu ini pekerjaan rumah besar bagi para ekonom dan filsuf. (7)
Pesan untuk KPK
Sebelum menutup artikel ngalor ngidul ini, izinkan saya memberikan saran kepada KPK. Prestasi gemilang KPK patut diacungi jempol, namun saya mendengar bahwa ada banyak bukti yang dihilangkan di BUMN-BUMN. Jadi supaya gerakan anti-korupsi menjadi masif dan berdampak, usul saya KPK perlu memberikan penghargaan kepada pejabat terbersih di Indonesia, polisi terbersih, pejabat pajak terbersih, wartawan terbersih, atau BUMN terbersih dan seterusnya.
Ada cerita tentang pelatih lumba-lumba, ternyata yang paling berhasil bukan pelatih yang paling sering marah, namun yang sering menghadiahkan ikan setiap kali lumba-lumba berhasil melompati lingkaran. Kiranya usulan sederhana ini bisa segera diterapkan, selagi menjelang akhir tahun 2016.
Penutup
Tentu ada banyak yang perlu dibenahi jika kita semua ingin menjadi negara maju di Asia Tenggara, dan bukan sekadar kuli di antara bangsa-bangsa. Izinkan saya menutup gerundelan punakawan ini dengan kalimat Confucius: "Lebih baik menyalakan sebatang lilin, daripada mengutuki kegelapan."
Versi 1.0: 3 desember 2016, pk. 11:34
VC
Referensi:
(1) https://irohastudies.wordpress.com/2016/03/27/book-review-a-discourse-by-three-drunkards-on-government/
(2) https://www.selasar.com/politik/orangorang-memperbincangkan-kekuasaan
(3) https://cambridgeforecast.wordpress.com/2011/03/15/a-discourse-by-three-drunkards-on-government-nakae-chomin-book/
(4) https://asianstudies.georgetown.edu/sites/asianstudies/files/files/upload/gjaa._2.2_osman.pdf
(5) http://www.niu.edu/cseas/outreach/pdfs/origins_religion.pdf
(6) http://www.lse.ac.uk/IDEAS/publications/reports/pdf/SR015/SR015Majid-China-vs-US.pdf
(7) http://sabdaspace.org/altruisme
(8) http://sabdaspace.org/hrod17
Dari seorang hamba Yesus Kristus (Lih. Lukas 17:10)
"we were born of the Light"
Prepare for the Second Coming of Jesus Christ:
http://bit.ly/ApocalypseTV
visit also:
http://sttsati.academia.edu/VChristianto
http://bit.ly/infobatique
- victorc's blog
- Login to post comments
- 4473 reads