Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Problem Solving: "Cukup!"
Oleh Riwon Alfrey
Merasa "cukup", seringkali membuat kita berhenti untuk mengharapkan "mujizat yang lebih besar" di antara banyak mujizat-mujizat yang sering tidak kita syukuri. Merasa "cukup" menghentikan kita untuk memikirkan 99,9% permasalahan hidup yang tidak penting.
Mengapa "Cukup"?
Pengalaman Paulus dalam doa-doanya saat menghadapi penyakit dan pergumulan pemenuhan kebutuhannya selama tugas pelayanannya adalah inspirasi yang baik untuk memahami kata "cukup" ini.
Suatu ketika, dalam pergumulan melawan "duri dalam dagingnya" ia berdoa, tetapi Tuhan menjawab Paulus, "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Kesembuhan yang diminta, tetapi kesusahan yang di dapat. Walaupun demikian, respon Paulus terhadap jawaban "cukup" ini adalah posisitf. Katanya, "Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku." (2 Kor. 12:9).
Di Dalam pergumulannya tentang kebutuhan, Paulus, secara jujur meneguhkan kata "cukup" ini. Katanya, "Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan." (Flp. 4:12)
Bukankah sebelumnya, di Perjanjian Lama, pengamsal, Agur Bin Yake dari Masa telah membuat analogi tentang "tidak pernah merasa cukup" ini? Dikatakan: "Ada empat hal yang tak pernah berkata: "Cukup!" Dunia orang mati, dan rahim yang mandul, dan bumi yang tidak pernah puas dengan air, dan api yang tidak pernah berkata: "Cukup!" (Ams. 30:15-16). Artinya, orang yang tidak pernah merasa cukup, analoginya sama dengan "dunia orang mati", "rahim yang mandul", "bumi yang tidak pernah puas dengan air" dan "api".
Kata "cukup", seringkali membuat kita berhenti untuk mengharapkan "mujizat yang lebih besar" lagi di antara banyak mujizat-mujizat yang sering tidak kita syukuri. Kata "cukup" menghentikan kita untuk memikirkan keinginan-keinginan yang tidak perlu. Apakah ini pasrah? Bukan! Tetapi sikap yang harus dimiliki oleh orang beriman! Sebab justru dalam kelemahanlah, kita benar-benar menghargai kasih karunia Tuhan. "Sebab jika aku lemah, maka aku kuat." (2 Kor. 12:10). Bukankah, Salomo telah mengingatkan, bahwa "segala jerih payah manusia adalah untuk mulutnya, namun keinginannya tidak terpuaskan?" (Pengk. 6:7). Apalagi, merasa tidak cukup adalah gejolak keberdosaan. Dalam hal ini, Paulus memperingatkan, "jangan lagi menuruti keinginan"; karena barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya (Rom. 6:12; 13:14; Gal. 5:24).
Firman Tuhan, "cukuplah!" dan pengalamannya Paulus "mencukupkan diri" dalam segala hal, bisa menjadi awal untuk instrospeksi diri; mengapa selalu "mengingini" sesuatu yang tidak sesuai dengan "kebutuhan"? Bukankah karena ingin "lebih" dan "tidak pernah merasa cukup", banyak orang telah dicobai, diseret, dipikat dan menyimpang dari iman sehingga tersiksa dalam berbagai-bagai duka? (Yak. 1:14; I Tim. 6:10). Jadi, belajarlah untuk merasa "cukup!" Karena jika tidak, berarti kita sedang lenyap dalam keinginan kita sendiri. Hanya dengan "merasa cukup", kita telah menyelesaikan 99,9% permasalahan hidup ini. Belajarlah untuk merasa "cukup!"
Sola Gratia
- Riwon Alfrey's blog
- 5404 reads