Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Memperdayakan atau Memberdayakan?

Purnawan Kristanto's picture

Siang itu ada yang memanggil handphone-ku. Nomornya 081282904477, tidak tersimpan dalam buku telepon.

"Nama saya Suroso, "si penelepon memperkenalkan diri. Namanya khas suku Jawa, tapi logatnya jelas sekali berasal dari Indonesia Timur.

"Saya dari kementerian agama propinsi Jawa Tengah." Mendengar dia menyebutkan tempat kerjanya, aku langsung waspada. Pertama, "kementerian agama" itu tidak lazim untuk lembaga setingkat propinsi. Biasanya nama yang digunakan adalah Departemen Agama. Kedua, ini modus lama. Akan kuceritakan nanti. "Kami mengundang bapak mewakili Sekolah Minggu GKI untuk mengikuti Seminar Teologi. Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi bapak Suwasono di nomor 0812-8440-7191.

 

 

Aku lalu berlagak bego dan menunjukkan kalau berminat dengan mengajak bicara berlama-lama. Setelah puas mempermainkan dia, aku membual: "Saya kenal semua pegawai di kementerian agama di propinsi Jawa Tengah. Tak ada yang namanya Suwasono.

" "Siapa yang bapak kenal?" tanyanya dengan nada tinggi.

"Tidap perlu saya sebutkan namanya. Tapi yang jelas, tidak ada yang namanya Suwasono atau Suroso yang bekerja di sana," kataku menggertak dia, "Kamu jangan coba-coba menipu aku,"

"Tut...tut....tut...." Tiba-tiba sambungan telepon terputus.

Beberapa hari sebelumnya, ada kiriman SMS dari nomor yang tidak dikenal. Dia mengaku bernama Sucipto dan meminta minta transfer pulsa sebesarr 20 ribu ke nomor 0852-9831-6068 . Alasannya untuk menghubungi saudaranya yang kecelakaan. SMS itu dikirim menggunakan nomor 0831-3901-6552.

***

Teknologi komunikasi itu seperti pisau dapur. Di satu sisi bisa untuk membantu pekerjaan manusia, di sisi lain dapat disalahgunakan untuk mencelakai orang lain. Pada kasus pertama, si pelaku memanfaatkan fasilitas menelepon murah ke nomor sesama operator. Mereka menggunakan fasilitas TalkMania Simpati untuk menelepon nomorku.

Pola serupa sudah diterapkan pada tahun 2006. Waktu itu, aku melibatkan diri pada posko kemanusiaan untuk korban gempa di Klaten. Untuk mempermudah komunikasi, maka setiap relawan dilengkapi dengan hp fren.

Pukul 17:11, telepon Fren-ku berbunyi. Di layar HP tertera nomor 08886320127 yang memanggil. Nomor ini belum masuk dalam phonebook. Isteriku yang mengangkat.

"Halo, nama saya Drs. Wawan Setiawan dari Fren," kata si penelepon,"dengan siapa saya berbicara?"

Isteriku menyebutkan namanya.

"Ibu tinggal dimana?" tanya si penelepon.

Isteriku menyebutkan kota tempat kami berdomisili.

"Kami mengucapkan selamat. Nomor Ibu ini telah memenangkan undian dalam rangka bulan Ramadhan," kata si penelepon dengan suara yang bergembira.

Sampai di sini, aku mulai curiga. Maka kuambil alih telepon.

"Halo, Bapak siapa?" tanya orang yang mengaku Wawan Setiawan.

Kujawab bahwa aku suaminya.

"Nama Bapak siapa?"

"Joko" jawabku berbohong.

"Saya dari Fren, memberitahukan bahwa Bapak Joko memenangkan hadiah undian dalam rangka bulan Ramadhan. Hadiah ini bebas pajak. Apakah Bapak punya buku tabungan untuk mentransfer hadiah?"

"Tunggu dulu," aku menyela,"bagaimana saya bisa memastikan bahwa Anda benar-benar dari Fren dan ini bukan penipuan. Apa buktinya?"

"Kalau Bapak tidak percaya, silakan lihat di LaTivi nanti malam," jawab Bapak itu.

"Saya tidak mau menunggu nanti malam,"sergahku," Sekarang saya minta Anda meyakinkan saya bahwa Anda benar-benar dari Fren dan bahwa ini bukan penipuan!"

"Ya buktinya sekarang ini kita sedang saling mencocokkan data. Pembicaraan ini direkam, makanya jangan sampai pembicaraan kita ini putus," jawab orang di seberang. Kelihatannya dia mulai jengkel.

"Sekarang saya ingin tahu, apakah Bapak punya buku tabungan? Di Bank apa?"

"Saya tidak punya buku tabungan" jawabku berbohong.

"Bagaimana kalau kartu ATM?" tanya orang itu.

"Tabungan saja tidak punya, apalagi kartu ATM," jawabku.

"Bagaimana kalau Bapak mengambil sendiri hadiahnya? Bapak bisa mengambil di kantor kami di jl. Kebun Sirih" kata orang itu.

"Rumah saya jauh dari Jakarta," jawabku.

"Apakah Bapak tidak punya Saudara di Jakarta?" tanya si penelepon.

"Tidak punya" jawabku, lagi-lagi berbohong. Padahal mertuaku ada di Jakarta. Tidak terdengar suara dari seberang. Rupanya dia telah memutuskan sambungan telepon.

Sejak semula saya sudah mencurigai bahwa ini adalah usaha penipuan karena ada beberapa kejanggalan:

1. Si penelepon menanyakan nama orang yang ditelepon. Mestinya, kalau ingin memberitahukan kemenangan, dia sudah tahu siapa yang akan ditelepon. Ketika saya mengaku dengan nama "Joko", si penelepon percaya begitu saja. Padahal nomor telepon itu terdaftar atas namaku. Kalau dia benar-benar dari Fren, dia mestinya bisa memeriksa database-nya.

2. Si penelepon melakukan blunder dengan menyebut nama LaTivi. Kalau mau membuat acara pengundian pemenang, maka Fren pasti akan memilih stasiun TV yang masih "bersaudara" dengannya yaitu group MNC (TPI, RCTI, Global). Pemegang saham Fren adalah pemegang saham MNC juga.

3. Pengambilan hadiah bisa diwakilkan oleh orang lain. Memang dengan surat kuasa bisa saja dilakukan, tapi biasanya penyelenggara undian berharap pemenang menerima langsung. Ini untuk kepentingan publikasi.

Si penipu berani menelepon karena ongkos telepon antar Fren memang murah. Biasanya jika sang mangsa terpikat, dia digiring untuk pergi ke ATM terdekat. Selama itu, hubungan telepon tidak boleh terputus. Dengan teknik persuasi yang tinggi, si penelepon menggiring sang mangsa untuk mentransfer uang ke rekeningnya.

***

Kembali ke cerita yang pertama. Orang yang mengaku Suroso ini telah mengerjakan PR dengan baik. Nampaknya dia sudah mempelajari lebih dulu profil calon korbannya. Itu sebabnya, saat menelepon dia sudah menyebut namaku dan asal gerejaku.

Darimana dia mendapatkan data-data ini? Kemungkinan besar dari internet, atau lebih spesifik lagi dari facebook. Di situ, data profilku memang diisi dengan sebenarnya. Teknik ini sebenarnya juga tidak terbilang baru.

Pada tahun 2007, telepon di rumah kami berdering.

"Apa betul ini (menyebut nama gereja kami)?" tanya penelepon.

Dari suaranya, kelihatannya berdialek dari Indonesia bagian Timur.

"Ini rumah pastori. Silakan Bapak telepon kantor gereja," jawabku.

"Apakah bisa bicara dengan pendetanya?" si penelepon tidak menggubris jawabanku.

"Ini darimana?" tanyaku.

"Saya dari Depag," jawab suara di seberang [Cling.....! Aku teringat peristiwa serupa setahun sebelummnya]

. "Apa yang bisa saya bantu?" tanyaku.

"Apa bisa bicara dengan pendetanya?"

"Ya saya pendetanya," jawabku berbohong.

Padahal yang menjadi pendeta itu isteriku.

"Nama Bapak siapa?" tanyanya [Lho...Anda yang menelepon, tapi Anda tidak tahu siapa yang akan Anda telepon, batinku].

"Lho Anda mencari siapa?" tanyaku mengelak.

"Saya mencari pendetanya"

"Ya saya pendetanya." [Isteriku melihat sambil tersenyum-senyum]

"Oke, kalau begitu Bapak diminta untuk menelepon Dirjen Pembimas Kristen, Bapak....(menyebut seorang nama Jawa dengan nama baptis)."

"Ada perlu apa saya harus menelepon beliau?" tanyaku.

"Ada urusan yang sangat penting" jawabnya.

"Yang punya kepentingan itu 'kan dari Depag. Kalau memang itu sangat penting, mengapa bukan bapak dirjen Pembimas sendiri yang menelepon ke sini. Mengapa saya yang harus menelepon?" jawabku.

Tuuuut...tuuuuut....tut!!! Telepon dimatikan.

Mungkin saya telah bersikap ketus dan kasar. Tapi ini bukan pengalaman yang pertama. Setahun sebelumnya, isteriku menerima telepon yang mengaku dari Depag. Si penelepon mengatakan bahwa gereja kami akan menerima bantuan dari Depag. Namun ujung-ujungnya, mereka minta duit.

Saat itu isteriku menjawab, "Kalau bantuan itu memang benar, silakan kirim surat resmi ke Majelis Jemaat gereja. Nanti kami akan menanggapinya secara resmi." Saat itu juga telepon diputus.

***

Meski dapat disalahgunakan, tetapi teknologi komunikasi ini juga dapat dimanfaatkan untuk kebaikan. [Dan memang mandat asli untuk teknologi memang untuk menyejahterakan umat manusia]. Contohnya adalah layanan SMS massal untuk komunitas. Dengan memanfaatkan tarif murah untuk SMS, maka kita dapat mengembangkan sistem informasi berbasis SMS. Biayanya cukup murah. Hanya dengan membayar Rp. 10.000,-/bulan, maka kita bisa mengirimkan ratusan ribu SMS ke semua operator. Paparan selengkapnya dapat dilihat di sini.

Teknologi SMS juga dapat dikembangkan untuk kepentingan sistem peringatan dini kegempaan. Begitu terjadi gempa, maka dalam hitungan menit kita langsung menerima info gempa mulai dari lokasi dan kekuatannya, serta apakah berpotensi tsunami. Sistem sederhana ini memanfaatkan layanan SMS dari Twitter. Berikut caranya: Twitter

  1. Daftarkan diri dan log in ke Twitter.
  2. Pada dashboard Twitter klik tab "Mobile."
  3. Pada menu dropdown "Choose your country", pilih Indonesia
  4. Pilih operator HP Anda (3, Esia, Indosat, Flexi, Telkomsel, XL)
  5. Masukkan nomor HP Anda
  6. Klik tombol "Start" untuk melakukan verifikasi nomor.
  7. Ambil HP Anda, kirim SMS dengan teks "GO" ke 89887
  8. Tunggulah sampai mendapatkan konfirmasi dari Twitter.

Langkah berikutnya adalah mem-follow akun Twitter milik BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) atau search dengan kata kunci "infogempabmg". Klik tombol follow. Selain lewat web, Anda juga dapat mem-follow dengan mengirim SMS ke 89887 dengan teks: "FOLLOW infogempabmg." Sampai di sini, Anda sudah menjadi pengikut infogempabmg Twitter Untuk mendapatkan update informasi gempa via SMS. Ada dua pilihan cara: Cara pertama, klik tombol dengan simbol HP di bawah logo "infogempabmg." Jika warnanya berubah hijau, berarti berhasil. Pilihan lain kedua dengan mengiriman SMS ke 89887 dengan teks "GET infogempabmg." Twitter Sudah begitu saja. Tinggal tunggu saja terjadinya gempa (bukan berarti mendoakan agar terjadi gempa, tapi pada kenyataannya kita ini hidup di atas sarang gempa).

Begitu terjadi gempa dengan kekuatan di atas 5 SR, maka BMKG akan otomatis mengirim pesan ke Twitter untuk update status "nfogempabmg.". Begitu status ter-update, maka kita akan secara otomatis akan mendapatkan pemberitahuan dari Twitter. Silakan coba!

__________________

------------

Communicating good news in good ways