Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Pluralisme = Solusi atau Masalah ?

Erfen Gustiawan Suwangto's picture

Indonesia adalah negara pluralis. Plural (keberagaman) dalam negara ini adalah fakta. Akan tetapi, ketika menjelma dalam suatu paham yang dinamakan pluralisme, maka ketika menjadi suatu -isme hanya akan memfasilitasi golongan tertentu yang memiliki kepentingan tertentu pula. Terkesan bahwa pluralisme ingin menyatukan semua agama, bahkan terkesan sinkretisme (mencampuradukan semua ajaran agama) dan menganggap semua agama pada taraf kebenaran yang sama.

Belakangan muncul isu bahwa paham ini menjadi solusi konflik antarumat beragama, bahkan yang tidak menganut paham ini terkesan tidak nasionalis. Padahal nasionalisme tidak ada hubungannya dengan pluralisme. Apalagi ternyata pluralisme yang dewasa ini dikemukakan, ternyata hanya kedok dari ateisme. Suatu pemikiran yang ingin menyatukan dunia, sesuai dengan nubuat kitab-kitab suci bahwa paham ini akan muncul di akhir zaman. Mereka suka memakai isu bahwa negara ini satu, begitu juga dengan semua negara di dunia adalah satu, bahkan semua semesta adalah satu. Lantas di mana letak nasionalismenya jika mereka ingin melepaskan batas antarnegara ?
 
Nasionalisme sejati adalah nasionalisme yang berdasarkan kenyataan tatkala negara itu merdeka/berdiri. Kenyataan ada keberagaman di saat itu tetapi memiliki visi dan misi yang sama. Kenyataan bahwa keberagaman di saat itu terdiri dari agama & budaya asli maupun dari pendatang, termasuk kolonial. Ini menyebabkan lagu keroncong yang berasal dari kolonial bahkan menjadi lagu perjuangan di saat itu, termasuk lagu Indonesia Raya yang dimainkan dengan biola. Termasuk juga kenyataan bahwa perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia juga memakai perbendaharaan kata-kata asing termasuk bahasa kolonial Belanda. Bukan berarti kita mencontek budaya luar karena budaya sendiri juga ada. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kebudayaannya itu sendiri bukan hanya murni budaya nenek moyang, tetapi juga budaya Islam Melayu, bahkan budaya Tionghoa Indonesia yang bahkan sudah berbeda dengan budaya Cina.
 
Ini semua menunjukkan bahwa nasionalisme kita harus berdasarkan kenyataan saat Indonesia berdiri 17 Agustus 1945, bukan mengarah ke arah belakang sebelum tanggal tersebut. Karena jika ditelisik ke belakang, mungkin akhirnya hanya mengarah ke budaya Sindhu yang menjadi peradaban asli Sindhu, bukan budaya NEGARA INDONESIA. Jika ditelisik ke belakang lagi malah akhirnya mengarah ke peradaban Kerajaan Babel (menurut Taurat &Injil) di mana semua bersatu tetapi Kaisarnya yang bernama Nimrod menjadi sombong dan melawan Tuhan dengan membuat menara tinggi untuk sampai ke langit. Akhirnya, Tuhan menceraiberaikan manusia dengan kekacauan bahasa di antara mereka, akhirnya mengarah kepada keberagaman suku dan negara. Di akhir zaman, juga akan ada negara baru lagi di bawah kepemimpinan Antikris/Djajal yang juga disebut sebagai Kerajaan Babel jilid 2.
 
Tidak ada yang salah dengan persatuan dan perdamaian, tetapi ketahuilah bahwa di bawah satu kepemimpinan, akan timbul pemimpin seperti Nimrod, yaitu Antikris. Karena manusia bertabiat dosa dan gampang menjadi sombong jika berhasil memegang dunia. Justru dengan keberagaman, kita mengerti bahwa keinginan kita dibatasi oleh keinginan orang lain sehingga bisa membatasi hawa nafsu kita. Inilah Unity in Diversity yang sesungguhnya, dan bukan Unity in Uniformity. Keberagaman ini jika dimanifestasikan bukan dengan menyatukan dunia di bawah satu agama, tetapi justru memberi kebebasan tiap agama mengklaim kebenaran agama masing-masing asalkan tetap dalam koridor tidak mengganggu kepentingan umum.
 
Kesalahan kaum pluralis yang lain adalah dengan mengklaim bahwa paham mereka adalah benar dan yang lain salah. Terjadi standar ganda di sini karena mereka sendiri mengklaim bahwa mereka menghargai perbedaan. Pluralisme akhirnya juga menuju kesimpulan bahwa Tuhan tidak ada. Padahal ini tidak bisa diterima secara fakta dan logika.
Semua agama memang sama pada ajaran umumnya, tetapi berbeda pada ajaran khususnya. Ajaran khusus ini berkaitan tentang kehidupan sesudah mati yang tentu hanya bisa dibuktikan jika kita juga sudah mati. Oleh karena itu, ajaran khusus ini tidak bisa dipaksakan untuk sama. Perbedaan itu adalah suatu fakta, tetapi kaum pluralis seolah mengangkat isu besar bahwa agama-agama yang ada hanya menjadi pemecah belah.
 
Namun, umat beragama sendiri harus introspeksi. Karena pluralisme seperti ini juga muncul akibat ulah umat beragama sendiri. Pengklaiman kebenaran tiap agama jangan dijadikan alasan sebagai pemicu bentrokan karena tiap agama juga menjunjung tinggi KASIH DAN HAM. Yang menjadi masalah adalah para penganut agama belum menjalankan agamanya dengan benar terutama dalam masalah KASIH. Oleh karena itu, mari tebarkan KASIH yang lebih nyata. Cepat bertindak tatkala ada yang mengalami kesusahan, tanpa memandang SARA karena semua agama dan kepercayaan (termasuk kaum pluralis dan atheis) juga punya pandangan yang sama tentang hal ini. Karena altruisme dan volunterisme telah menjadi The Golden Ethic yang bahkan harus dipegang oleh kaum atheis sekalipun. Kasih menyatukan setiap perbedaan dan konflik, hiduplah Bhinneka Tunggal Ika, jayalah Indonesia Raya.