Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Mereka Beruntung Belum Ada tapi Ada dan Akan Ada !
Bagaimana rasanya belum ada? How is feel being not existed yet?
Saya hanya merasakan segala sesuatu pada saat kelima panca indera saya berfungsi dengan normal dan otak saya mampu memproses semua kejadian yang terjadi yang terkirim melalui panca indera. Oleh sebab itu diluar itu semua, saya tidak bisa merasakan apa-apa. Jadi apabila ditanyakan bagaimana rasanya belum ada, maka jawabannya tidak ada. Mungkin pertanyaan bodoh atau mungkin juga pertanyaan aneh.
Tetapi yang lebih bahagia dari pada kedua-duanya itu kuanggap orang yang belum ada, yang belum melihat perbuatan jahat, yang terjadi di bawah matahari. (PENGKHOTBAH 4:3)
Pengkhotbah mungkin mabuk ketika menulis ini. Mabuk karena puyeng dengan pikirannya sendiri. Saya tidak akan menilai status si pengkhotbah, karena saya lebih tertarik dengan tulisannya yang unik tersebut. Didalam kalimat tersebut pengkhotbah mengambil standar kebahagiaan adalah ketika manusia tidak melihat kejahatan lagi. Jadi, pengkhotbah menganggap orang mati lebih bahagia daripada orang hidup yang menyaksikan kejahatan. Hal ini tercermin dalam ayat sebelumnya.
Karena pengkhotbah mengambil dasar bahagia maka sebenarnya orang hidup secara default adalah bahagia, namun kebahagiaan mereka masih kalah apabila dibandingkan dengan orang mati dan bahkan yang paling berbahagia adalah orang yang belum ada. Dengan struktur matematis sbb :
Orang Belum ada > Orang Mati > Orang Hidup note : > bahagia
Itulah kegilaan Pengkhotbah yang mencoba membandingkan sense orang hidup kepada sense orang mati dan orang yang belum ada. Sebenarnya mustahil membandingkan sense tersebut, sebab pengkhotbah belum pernah merasakan kematian ataupun merasakan belum ada (belum exist). Pengkhotbah dengan sadar menuliskan itu karena kegusarannya melihat kejahatan didunia. Walaupun bagi orang awam kalimat itu sangat non-sense namun pengkhotbah ingin membawa logika orang hidup kepada kondisi ketika mati dan belum exist.
Penilaian harus objektif, begitulah orang bijak berpendapat. Ada yang mengatakan perbandingan harus apple to apple, artinya rasa apel harus dibandingkan dengan rasa apel lagi, bukan rasa jeruk. Dengan kondisi tersebut, sang bijak anak Daud mesti tahu ketika membandingkan kebahagiaan, dia harus bersikap objektif, bukan ngarang atau berpolemik ataupun berintuisi. Dengan mengakui bahwa sang bijak memang yang paling bijaksana dari makhluk yang pernah ada, maka saya yakin bahwa perbandingan yang dibuat oleh sang bijak pastilah objektif!
Hidup itu ada, mati itu ada dan belum ada itu ada. Seperti kata pepatah didunia ini yang berkata isi adalah kosong dan kosong adalah isi. Ada itu belum ada dan belum ada itu ada.
Dalam suatu pergelaran drama kolosal seorang pahlawan yang tampil di panggung dikatakan exist di dunia drama, namun ketika dia belum tampil di panggung dia disebut belum exist di dunia drama, namun didunia nyata dia ada. Artinya dia ada namun belum ada dan dia belum ada namun ada.
Dengan membandingkan konsep diatas apakah pengkhotbah berbicara mengenai dunia-dunia lain yang tidak terjangkau oleh akal manusia? Apabila kita meyakini bahwa pengkhotbah memang objektif menilai maka sesungguhnya dunia tersebut pasti ada dan pengkhotbah mungkin pernah melihatnya dan merasakannya.
Bagaimana dengan kita yang masih hidup? Pernahkah merasakan belum ada? Pernahkah merasakan mati? Ibarat hidup dalam mimpi, ketika kita bangun kita lenyap dari dunia mimpi dan masuk ke dunia nyata.
-150911-
- josia_sembiring's blog
- Login to post comments
- 3648 reads