Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Namanya Erik Eka Putra

Ruth Lestari's picture

 

April 6, 2013 – Erik Eka Putra

    Aku meniti jalanan ini sekali lagi. Jalanan yang sudah lama aku tinggalkan. Saat itu hujan mulai turun, hanya rintikan setets demi setetes air dari surga sana. Andai aku bisa mengingat kapan terakhir kali aku merasakan air surgawi, hmmm....sepertinya sudah cukup lama aku tertidur. Setelah cukup jauh aku berjalan aku kembali terduduk, hembusan nafas ku keluarkan cukup dalam. Menghabiskan malam ditemani lampu hias ditaman kota dan segelas kopi di gelas sterofome, aku memandang jalanan, hanya ada bagian-bagian tertentu yang diterangi lampu hias. Kota tampak sunyi saat ini.Andai aku melihat bintang mala mini mungkin kesepian ini tidak terlalu mencekam, namun tidak kudapati apapun yang bisa membuatku sedikit terhibur, Tapi baiklah, tidak mengapa aku masih bisa berbicara dengan malam dan Tuhan.

 

Mendadak anganku melayang ke langit kota namun sesegera itu terjatuh lagi ke sadarku,

“sudah berapa lama disini?”tanyanya.

Aku begitu tersentak mendengar suara berat yang begitu menenangkan.

“Boleh saya duduk disini?”, dia menunjuk sedikit bagian bangkuku yang masih tak  bertuan.

Dan tetap tak ada kata yang keluar dari mulutku. Aku begitu terhipnotis dengan suara merdu itu. Suara lelaki yang selalu aku dapati dalam mimpiku. Suara bas ynag merangkak menuju gendang telingaku, suara lelaki dewasa yang memanjakan telinga wanitanya.

      Aku  menganggukan kepala tanda setuju.

”Hai, panggil aku Erik.”Dia mengulurkan tangannya kepadaku.

Aku melihat tangan itu, tangan lelaki dewasa yang penuh dengan kehangatan. Aku belum berani melihat wajahnya, yang aku tahu saat itu di menggunakan kemeja putih dengan lengan baju yang tegulung.

”Malam ini indah sekali ya, udaranya segar dan begitu damai.”

 Telinga ku tidak bisa menahan lagi deburan suara yang menggelora masuk dalam hati. Terlalu kuat gelombang itu masuk sehingga aku ingin sekali melihat wajahnya. Aku beranikan diri untuk sedikit saja melihat wajahnya, aku mulai menengadahkan wajahku dan aku tidak melihatnya, tanpa aku sadar dia sengan menunjukan aku sebuah gedung tua yang sangat historical di seberang taman ini.

 ”Iya…”jawabku.

“Jadi kita setuju. Oke bagus sekali. Akhirpekan ini kita akan menghabiskan waktu bersama melihatnya”itu kalimat terakhir yang bisa aku ingat.

      “Erik Eka Putra” setidaknya itu yang aku dapati dari sebuah kartu nama yang tersemat ditanganku. “Sabtu, 10 am meet me at this park”

      “Sabtu?! 3 hari dari sekarang.”seruku. “Kegilaan apa ini, apa kamu akan bertemu dia? Siapa dia Jol?”temanku Berta terus bertanya. Semua pertanyaan itu menggangguku terutama dengan pitch suaranya yang tinggi yang begitu asing ditelingaku. Aku terus saja mengerjakan pekerjaanku, aku tidakk tidak bisa menjawab apapun karena aku tidak tahu siapa itu Erik. Yang aku tahu aku ditemani lelaki dewasa yang deangan suara yang aku selalu impikan. Sejenak aku terdiam, tanganku berhenti untuk menulis dan aku mencoba kembali ke taman itu. Aku mencoba mengingat dari mana dia datang. Tapi sia-sia aku hanya membuat diriku tersesat.

Pagi datang, aku sudah bersiap dengan pakaianku, sepasang kemeja putih dengan renda bohimien dan rok biru tua diatas lutut. Aku kenakan sepatu high heelku dan memegang rotipanggangku berlari ke bawah mencoba mengejar bus. Bus itu dating, bus kuning bernomor 3, berhenti tepat di depanku.

“Ayo non cepat masuk!”Aku menghentikan langkahku, dahiku mengerenyit, hatiku bertanya-tanya “aku mengejar bus??”

      Aku melangkah kebelakang, mengangkat tangan kananku sebagai maafku. Bus itu melaju dengan pasti meninggalkans edikit aroma yang tidak menyenangkan hidungku. Aku sesegera mungkin menutup hidupku dengan bahuku karena asap-asap itu akan menggerogoti paru-paru seketika dia bisa masuk ke dalamnya.

      Aku akan kembali ke apartemenku dan mengambil mobilku, ya..aku punya mobil untuk pergi ke kantor itu yang biasa aku lakukan sejak setahun yang lalu. Tidak perlu berlari ke tempat perberhentian bus, berlari-berlari sehinga aku mencapainya. Dan ketika aku membalikkan badanku aku tertubruk badannya. Badan Erik Eka Putra.

“Ups…maaf”kataku. Kulihat kemeja putihnya ternoda oleh segelas kopi yang ku pegang.

”Tidak apa nona, aku tahu ini akan terjadi.”Suara nya masih tetap sama, selalu memanjakan telinga. Aku begitu sibuk membersihkan tumpuhan kopi itu dengan kain-kain bekas yang aku miliki. Aku merasa bersalah sekali telah menghambatnya pergi ke kantor.

“Sudahlah nona tak apa, it’s going to be fine.”

Dan aku tidak bisa melihat wajahnya. Namun hari ini menjadi indah. Aku masih terjongkok disitu, menikmati apa yang terjadi, tak peduli langkah kaki yang hilir mudik. Aku tetap berada disana tersenyum sendiri.

Kembali aku dapati pagi, Aku bergegas untuk pergi. Dengan kemeja putih dengan lengan pendek dan berenda disekitar dada dengan mengenakan celana cokelat muda aku berlari bergegas dengan roti panggang yang ada ditanganku. Kali ini aku tidak akan melupakan kunci mobilku. Ya kunci mobilku yang sudah aku miliki semenjak setahun yang lalu. Aku menyalakan mesinnya, memandang jalan di depanku dan kamu melaju menuju kantorku. Aku mengendarainya dengan keceppatan yang rendah, bahkan kakek tua pun bisa mendahuluinya, aku melihat kea rah kiriku, sebuah bangku taman dan kolam didepannya. Tempat paling indah dimasa sulitku. Disana aku menemukan teman, disana aku bisa melihat keindahan dan disana aku bisa menikmati hari yang tidak pernah ada. Setelah aku melewatinya aku naikkan kecepatannya, sangat cepat sehingga taka da yang menyadari bahwa hari berganti menjadi sabtu.

      Aku mencari kartu nama itu dalam tas tanganku. “Sabtu, 10 am meet me at this park”Iya ini harinya. Hari dimana aku akan bertemu dengan dirinya. Untuk yang pertama kali aku tidak hanya akan mendengarkan suaranya tapi aku akan menikmati wajahnya dengan jelas. Aku menata diri dengan sangat rapi. Kali ini dress bunga-bunga yang menjadi pilihanku, Dress bunga-bunga tanpa lengan dengan topi yang pantas aku gunaakan ke taman. Aku membawa sedikit makanan dan minuman di tas tamasya yang aku miliki.

      Taman itu tidak jauh, aku bisa berjalan untuk mencapainya. Pukul 9.30 aku sudah duduk disana. Menanti Erik Eka Putra untuk datang menemuiku. Hmmm...pagi ini udara begitu segar, burung-burung berkicauan. Bunga dengan berbagai warna menghiasi dunia. Terdengar anak-anak bermain dengan riangnya dan dia ppun datang... “Erik Eka Putra” tanganya disodorkan padaku. Aku melihat ke arahnya, namun matahari pagi utu terlalu banyak memberikan sinarnya sehingga aku kesulitan untuk melihatnya.Kami berbincang banyak hal, kami tertawa dan menikmati semua yang sudah tersedia, dengan suara lelaki dewasanya.

dia menceritakan semua pengalam hidupnya.Dan sungguh aku begitu terpesona. Angin berhembus dengan merdu namun membawa sedikit butiran-butiran debu ke arah mataku. Aku terpaksa menutup mata supaya aku bisa mengeluarkan debu itu dari mataku.

      Setelah cukup jauh aku berjalan aku kembali terduduk, hembusan nafas ku keluarkan cukup dalam. Aku melihat sekelilingku kota tampak sangat sunyi ini.Aku melihat keatas bintang yang aku ingini tetap tidak tampak. Aku dan kopi dalam gelas sterofomku dalam bangku taman. Hanya kami yang masih terjaga disana. Andai aku melihat bintang malam ini mungkin kesepian ini tidak terlalu mencekam. Tapi baiklah tidak mengapa malam sudah berbicara padaku dan mungkin kesempatan kali ini aku akan melewatkan tanpa berbicara kepada tuhan.